JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA – Ketua Pengurus Harian PH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Jayapura Benhur Wally, menegaskan bahwa Putus MK 35 /PUU- X/2012 , namun nasib dan kepastian masyarakat adat di atas hak ulayatnya masih terus di hantui dalam bayang-bayang perampasan Tanah adat dan Investasi.
Benhur mangkui bahwa meski Negera telah mengakui Tanah Adat Bukan Milik Negara melainkan milik masyarakat Adat. Tetapi pernyataan itu tidak menjamin bagi kepentingan dak keberlangsung hidup masyarakat adat di atas tanah, Hutan dan sumberdaya alamnya. “ masyarakat adat masih terbelenggu, belum ada kepastian bagi nasib dan kehidupan mereka “ tegas Benhur Wally selasa,(14/5/2024).
Meski sudah tiga belas (13) tahun Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan soal hutan adat bukan lagi hutan negara lewat Putusan Nomor 35/PUU-X/2012MK No. 35. Kata negara dihapus dari rumusan Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan hingga menjadi, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Menurut MK, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan, maka status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.”
Eforia putusan MK-35 ini disambut berbagai kalangan. Putusan ini makin mengukuhkan keberadaan masyarakat adat. Waktu berjalan, kini memasuki dua tahun setelah putusan itu, terkesan tidak bisa berjalan di lapangan. Putusan MK belum bisa memenuhi harapan masyarakat adat terhadap hutan adat di kawasan hutan dalam hutan negara.
” Siapapun yang sengaja datang dan mau mengancam eksistensi Masyarakat adat di atas hutan Adat mereka kami akan lawan ” ujar Benhur Wally
Memperingati 13 tahun perjuangan panjang masyarakat adat itu, selaku Ketua PH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN Jayapura ini memgakui, saat ini wilayah Papua sudah memiliki 6 sertifikat Hutan Adat, yang telah di keluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK pada 2022 lalu, sehingga secara hukum keberadaan masyarakat adat telah di akui oleh Negara.
” Adanya 7 SK hutan. Adat, dengan sendiri pengajuan Negara terhadap masyarakat adat dan wilayahnya ingkar” Ujarnya.
Lanjut Benhur Wally Tujuh hutan adat itu terdiri dari enam Surat Keputusan (SK) Hutan Adat di Kabupaten Jayapura, atas nama Marga Syuglue Woi Yonsu seluas 14.602,96 hektare, Yano Akura 2.177,18 hektare, Yano Meyu 411,15 hektare, Yosu Desoyo 3.392,97 hektare, Yano Wai 2.593,74 hektare, dan Takwobleng 404,9 hektare, lainnya Marga Ogoney di Kabupaten Teluk Bintuni seluas 16.299 hektare.
Sehingga dengan penetapan dan pengakuan hutan Adat ini, Perjuangan masyarakat Adat melalui Putusan MK -35 tahun 2012 sudah harus menjadi rambu-rambu bagi pihak manapun yang hendak menganggu otonomi dan konstitusi masyarakat adat secara utuh.
” Jangan lagi mengobrak abrik konstitusi, otomi masyarakat adat, biarlah mereka bersatu dan menjaga legitimasi mereka ” tegas Wally.
Tokoh perempuan adat suku Namblong Regina Bay, mengharapkan dengan putusan MK 35 tahun 2012, kiranya memberikan jaminan hidup, bagi keberlangsungan masyarakat adat di atas tanah adat mereka, sehingga eksistensi masyarakat adat itu nyata, tetap ada tumbuh dan lestarikan bagi keberlangsungan hidup umat manusia di atas Negeri Cenderawasih ini.
” Keputusan ini, sebuah jaminan, pagar bagi kita masyarakat adat, bagi wilayah, tanah, sumberdaya manusia, dan sumberdaya alam kami tetap lestari” Katanya.
Selain itu dirinya juga berharap ini bisa berdampak luas bagi wilayah lain, di tanah Papua, sehingga hutan Papua tetap terjaga dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab yang akan merusak hutan. Apa lagi modus Investasi saat ini menyasar wilayah pedalaman hutan Papua yang memiliki wilayah dengan tutupan hutan paling luas
” Ini bisa di perluas, pemerintah harus mengeluarkan SK yang sama untuk wilayah lain, yang berdampak dari investasi yang condong merugikan masyarakat adat” tuturnya. (Nesta)