Penulis
Hamim Mustofa
( Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Papua)
JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA – Perdebatan isu kepala daerah dan wakil kepala daerah harus orang asli Papua yang hingga kini masih menjadi isu yang menarik. Bahkan muncul pandangan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah harus orang asli Papua belum bisa dilakukan, karena belum memiliki payung hukum. Berbeda halnya dengan Gubernur dan Wakil Gubernur orang asli Papua, secara jelas diatur dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tentang Otonomi Khusus Papua.
Dalam tulisan ini penulis tidak mewakili komunitas, tetapi hanya mewakili pikiran pribadi untuk menuangkan pikiran kedalam opini ini. Sebab, isu ini cukup menarik perhatian banyak kalangan dan menjadi perdebatan di dunia maya dan dunia nyata.
Bila dicermati latar belakang otsus Papua, salah satunya adalah mengakomodir aspirasi politik orang asli Papua. Maka otsus bagi orang asli Papua, harus dimaknai sebagai hak politik kesulungan orang asli Papua, karena ada sejarahnya. Bukan saja hanya jabatan gubernur dan wakil gubernur, tetapi juga jabatan bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil wali kota adalah orang asli Papua.
Aspirasi di atas adalah aspirasi yang muncul kembali setelah tahun 2007 MRP pernah mengusulkan hal yang sama, begitu juga sebagaimana dikutip dari https://mrp.papua.go.id tahun 2020 Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) juga mendeklarasikan Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil harus orang asli Papua. Kemudian, melalui hasil Rakor Sembilan (9) Majelis Rakyat Papua se-Tanah Papua di Sorong pada 28 Maret 2024 yang menghasilkan 9 point rekomendasi. Salah satu rekomendasi MRP Se – Tanah Papua adalah meminta agar Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota harus orang asli Papua. Rekomendasi ini dikeluarkan oleh MRP, lembaga yang memiliki mandat mewakili budaya, agama dan perempuan serta simbol otonomi Khusus Papua, oleh karena itu layak untuk didengar dan diakomodasi oleh seluruh masyarakat Papua.
Apakah aspirasi tersebut berlebihan? Menurut hemat penulis, ini hal yang wajar dan bukan hal yang berlebihan sebagai konsekuensi otonomi khusus
bagi orang asli Papua. Sebab, aspirasi orang Papua untuk menjadi pemimpin di daerahnya adalah sebuah harapan dari hak politiknya. Bukan saja sebagai kepala daerah, tetapi untuk wakil kepala daerah juga harus orang asli Papua.
Kemampuan Orang Papua Menjadi Pemimpin
Kalau semisal ada pandangan, bahwa orang Papua belum cukup mampu menjadi pemimpin, karena SDMnya belum mampu, sehingga diperlukan wakil dari saudara non Papua. Untuk menjawabnya, maka kita perlu mengetahui dan kita lihat bahwa sudah sangat banyak SDM Papua yang memiliki Pendidikan yang mumpuni. Ada yang menempuh Pendidikan di perguruan tinggi di dalam dan luar Papua, bahkan di luar negeri. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya cukup banyak SDM Papua yang sudah memiliki Pendidikan yang mumpuni untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Sehingga, alasan atau pandangan bahwa orang Papua belum mampu menjadi pemimpin di daerahnya Papua sudah terjawab.
Sebagai contoh, di beberapa kabupaten seperti Puncak Jaya, Puncak, Nduga dan lain sebagainya adalah bupati dan wakil bupati adalah orang asli Papua dan terbukti mampu walapun belum sempurna. Sedangkan, kabupaten-kabupaten tersebut adalah kabupaten yang cukup banyak persoalan dan tantanganya. Seperti kondisi geografis, layanan publik yang belum maksimal, begitu juga terkait dengan masalah politik dan keamanan. Contoh tersebut seyogyanya sudah memberikan gambaran keyakinan dan jawaban atas aspirasi orang Papua melalui MRP se- Tanah Papua, agar kepala daerah dan wakil kepala daerah orang asli Papua.
Untuk itu, kita perlu bijak untuk tidak berlebihan memberikan stereotype bahwa orang Papua belum mampu menjadi pemimpin di daerahnya. Pandangan ini perlu untuk disingkirkan dan memberikan kesempatan memimpin. Dengan kesempatan tersebut, orang Papua akan belajar dan membuktikan kemampuannya menjadi pemimpin di daerahnya. Meminjam pernyataan Prof. Avelinus Lefaan Sosiolog Uncen saat diskusi Update Situasi HAM di Papua yang dilaksanakan oleh Aliansi Demokrasi untuk Papua pada tanggal 29 Mei 2024 di P3W kurang lebih mengataakan bahwa” janganlah kita menghakimi orang Papua tidak mampu menjadi pemimpin, biar orang Papua sendiri yang mengatakan kalau seandainya tidak mampu dan selama orang Papua mengatakan mampu, kita sebagai non Papua harus memberikan kesempatan dan ini adalah etika moral tertinggi kita”.
Dari pernyataan tersebut sangat jelas bahwa kita harus dengan lapang dada untuk memberikan kesempatan itu dan yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat adalah bagaimana memberikan asistensi bagi kepala daerah yang ada di Tanah Papua dan Masyarakat memberikan dukungan dengan menghapus diksi “belum mampu”. Hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan Masyarakat Papua kepada pemerintah pusat, Masyarakat pada umumnya dan begitu sebaliknya.
Konsensus Politik Calon Pasangan Kepala Daerah
Konsensus politik diantara calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah adalah hal yang sulit untuk dihindari agar pencalonan pasangan dapat terwujud. Konsensus politik calon untuk berpasangan dilakukan bisa karena untuk mengakomodir kepentingan masing-masing. Hal ini menjadi sesuatu yang lazim dilakukan.
Memang pengaruh entitas sebagai basis pendukung terhadap calon-calon akan sangat berpengaruh dalam pemilukada di Papua. Dimana ada dua kelompok besar sebagai fakta sosial yakni kelompok Orang Asli Papua dan Non Papua. Secara khusus kelompok besar ini cukup berpengaruh terutama pada kabupaten yang jumlah non Papuanya cukup signifikan seperti Merauke, Kota Jayapura, Timika, Kota Sorong dan lain sebagainya. Di daerah-daerah tersebut, sangat dimungkinkan memiliki peluang besar untuk pencalonan kepala daerah berpasangan antara Orang Asli Papua dan Non Papua terjadi. Sudah menjadi kebiasaan yang berulang bahwa di daerah yang jumlah penduduk non Papua signifikan, maka non OAP dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Apakah ini juga menjadi konsensus politik di kabupaten/Kota?
Payung Hukum Atau Kebersaran Hati
Apakah harus diperlukan payung hukum untuk merealisasikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota orang asli Papua? Mari kita telaah, sebagaimana UU Otsus Nomor: 21 Tahun 2021 pada BAB I Ketentuan Umum pasal 1 pada poin b. “Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua”. pada pasal 1 Poin b apabila kita menelaah lebih dalam, bahwa dalam otsus ada kata kunci penting seperti kewenangan khusus, mengatur dan mengurus, menurut prakarsa, aspirasi hak-hak dasar Masyarakat Papua. Kata-kata kunci tersebut kalau kita hubungkan dengan aspirasi yang berkembang terkait dengan usulan kepala daerah orang asli Papua cukup relevan. Sebab ada kewenangan yang diberikan, ada prakarsa yang berasal dari Masyarakat atau perwakilan orang Papua sebagaimana untuk merespos aspirasi, dan itu menjadi hak politik orang asli Papua, walaupun tidak secara eksplisit disebutkan tetapi poin tersebut sudah sangat jelas posisinya. Berbeda dengan gubernur dan wakil guburnur sebagaimana bunyi pasal 12 “Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat sebagaimana poin a. orang asli Papua”.
Kita juga bisa belajar dari pemilihan kepala daerah periode tahun 2006- 2011 di Kabupaten Jayapura. Pada saat itu pasangan Habel Mekias Suwae dan Zadrak Wamebu dinyatakan sebagai pemenang dengan meraih suara terbanyak dari pasangan lainya, yang mana kabupaten Jayapura merupakan daerah yang cukup heterogen masyarakatnya dan jumlah masyarakat non Papua cukup signifikan.
Terus bagaimana dengan daerah lain yang jumlah masyarakatnya non Papuanya cukup signifikan seperti Kabupaten Jayapura, apakah diperlukan payung hukum untuk pilkada serentak tahun 2024 ini dengan perdasus? Sebab belajar pilkada 2006 kabupaten Jayapura produk atau payung hukum untuk kepala daerah harus semua orang asli Papua di Kabupaten Jayapura belum ada. Hal tersebut membuktikan bahwa, kepala daerah yang kedua- duanya orang asli Papua sangat bisa diterima oleh kelompok masyarakat pada umumnya. Ketika payung hukum seperti perdasus belum ada, maka yang diperlukan adalah kesadaran bersama bagi semua masyarakat baik orang asli Papua dan khususnya non Papua dengan besar hati untuk memberikan kesempatan Kepada putra putri terbaik Papua menjadi pemimpin di daerahnya sendiri dan dengan tidak mengecilkan kontribusi besar Masyarakat non Papua dalam pembangunan di Tanah Papua. Tetapi juga, payung hukum yang dapat menjadi pegangan bersama bisa rekomendasi MRP yang mengikat secara kultural, ditempatkan menjadi landasan etis bagi seluruh politisi di Tanah Papua baik OAP maupun non- Papua. Perlu kampanye publik yang luas untuk sosialisasikan isu ini dan lobby ke Pemerintah Pusat tentunya. Sebagai kesimpulan uraian singkat di atas untuk menjadi kepala daerah baik provinsi dan kabupaten/kota harus orang asli Papua adalah hal yang mungkin. Hal ini perlu adanya kesadaran bersama untuk membuka kelapangan hati Masyarakat Non Papua, dengan memberikan kesempatan Orang Asli Papua menjadi pemimpin di daerahnya sendiri. Karena ini adalah salah satu penghargaan dan penghormatan bagi saudara kita orang Asli Papua sebagai pemilik hak kesulungan. ( nesta )