Jayapura, – Pada era 1970-an program transmigrasi yang dilaksanakan di daerah Kentuk Gremsi , Kabupaten Jayapura, Papua oleh pemerintah Papua (dulu Irian Jaya) hingga kini masih meninggalkan luka yang mendalam. Kebijakan pemerintah tersebut dengan mengambil alih lahan masyarakat adat secara paksa dilakukan oleh pemerintah dibantu dengan aparat keamaan saat itu.

Seperti diutarakan oleh Ruben Irem saat ditemui Rabu (29/01) di Biara Maranatha Waena, Kota Jayapura mengatakan bahwa pelepasan dilakukan oleh para tokoh yang ada dilembah. Hingga saat ini pemilik tempat masih menyatakan diri sebagai korban dan menuntu ganti rugi atas hak mereka, beberapa fam diantaranya adalah : Beno , Nasadit (Kemtuk Gremsi) , Bali , Bemei, Sangrangbano, Sangrangguai, Masa.

Tanah mereka dalam satu areal tapi berbatasan, dan yang melepaskan tanah bukanlah para marga marga ini , tapi oleh para tokoh dan Ondoafi yang saat itu mereka dekat dengan camat. Hal ini menyebabkan masyarakat adat pemilik tanah melakukan protes dengan menyuarakan tuntutan mereka  saat itu namun tuntutan mereka ditanggapi dengan pendekatan keamanan.

“Karena mereka mengajukan ganti rugi atas tanah ulayat yang dipakai hingga selua sekian hektar. Hingga sekarang tidak ada tanda-tanda penggantian. Transmigrasi adalah program dari pemerintahh pusat, walau operasi militer sudah berakhir namun mereka  di kawal khusus oleh Kopassandha. Sehingga kalau masyarakat melakukan aksi , mereka terkadang diteror dan ditekan” ujar Ruben Irem.

Luka yang hingga kini masih terasa selain perampasan tanah juga terdapat warga yang hilang.  “Saaat menuntut hak mereka,  ada juga yang disiksa dianiaya, peristiwa ini terjadi pada tahun 1974. Beberapa warga yang hilang hingga saat ini adalah Lamek Tecuari, Ferdinan Bali, Ferdinan Sem, Pilemon Bali. Hingga saat ini mereka tidak diketahui keberadaannya” tukas pria yang berprofesi sebagai petani.

Saat ini terjadi hal yang sama yakni di   Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Upaya pengambilan lahan masyarakat  atas nama pembangunan telah terjadi juga. Seperti yang disampaikan oleh Yohanis Mambrasar dari Tambrauw yang menjelaskan bahwa rencana pembangunan kembali bandara di Distrik Tambrauw akan menggusur 3 kampung yakni : Werur (Kampung Tua), Wertam, Werwaf dengan total penduduk kurang lebih . “ Pembangunan bandara akan menggusur tiga kampung dan para penduduk akan direlokasi ke wilayah hutan. saat ini telah terjadi pengggusuran yang dilakukan oleh kontraktor” ujar Yohanis Mambrasar.

Yohanis Mambrasar menyampaikan beberapa alasan penolakan pembangunan bandara pertama, adalah Kampung Werur merupakan Kampung sejarah Injil di Tanah Karon. Yang mana awalnya injil masuk melalui dari Kampung Werur dan disebarluaskan ke seluruh daerah Karon dan hingga sampai saat ini Kampung Werur merupakan basis dan tulang punggung penginjilan di Tanah Karon. Hal ini membuat masyarakat tidak menyetujui pembangunan bandara di wilayah tiga kampung tersebut karena nantinya dampak dari keberadaan bandara masyarakat setempat akan dipindahkan ke lokasi lain maka kampung sejarah Injil tersebut akan hilang dan hanya tinggal nama dan cerita dan masyarakat tidak lagi aktif dalam penginjilan dan dapak lain yang akan  terjadi adalah perubahan tatanan sosial kehidupan masyarakat. , kedua,  adalah Kampung Werur merupakan kampung tertua di tanah karon dan merupakan tempat sejarah perang dunia ke dua yang perlu di lestarikan., ketiga, adalah masyarakat tiga kampung yang mayoritas adalah masyarakat suku BIKAR (Biak-Karon) yang telah menetap di Kampung Werur lebih dari seratus (100) tahun yang merupakan pembawa Injil di Daerah Karon sehingga masyarakat karon telah maju. Sampai saat ini masyarakat BIKAR tidak di akui sebagai masyarakat setempat dan di katakan sebagai pendatang. Hal ini membuat masyarakat suku BIKAR yang merupakan penduduk tiga kampung tersebut manjadi tidak nyaman dan apalagi jika nanti pembangunan bandara di tiga kampung mereka maka nanti masyarakat akan kehilangan tanah-tanah mereka yang merupakan tempat hidup mereka.

 “Pembangunan bandara bukan merupakan  kebutuhan masyarakat saat ini, yang saat ini menjadi kebutuhkan masyarakat adalah jalah, jembatan dan kapal perintis, kami masyarakat tambrauw khususnya yang berada di kampung-kampung di pesisir pantai mayoritas adalah masyarakat petani. Jalan di butuhkan untuk menghubungkan antara kampung-kampung ke distrik dan kabupaten. saat ini masyarakat di kampung-kampung masih terisolir dari jangkauan pembangunan,” ucap pria kelahiran Tambrauw.

Ditambahkannya bahwa saat ini masyarakat membutuhkan jembatan dan kapal perintis untuk mengangkut hasil tanaman ke Sorong dan Manokwari guna memenuhi kebutuhan ekonomi kelurga, namun saat ini kami kesulitan karena hanya ada satu kapal yang beroperasi dan tidak ada jembatan di setiap kampung untuk di pakai oleh masyarakat. Seharusnya hal ini yang yang menjadi prioritas dari pemerintah dalam membangun kabupaten ini. “Bandara akan di bangun di kemudian hari jika kita masyarakat sudah mampu secara ekonomi dan SDM sehingga nantinya kami masyarakat yang menikmati bandara tersebut” tegas alumni FH Uncen .

Wirya

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *