COROCOM-BIG-GOSSAN

Jayapura, 15/2 (Jubi) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis temuannya terhadap kasus runtuhnya terowongan Big Gossan tahun lalu yang menewaskan 28 pekerja tambang Freeport Indonesia.

“PT Freeport memiliki kemampuan untuk mencegah hal ini terjadi tapi tidak. Kurangnya upaya membahayakan kehidupan orang lain. Gravitasi kasus ini serius, “kata komisaris Komnas HAM Natalius Pigai, Jumat (14/2), dikutip dari kompas.com.

Pigai mengatakan, Komnas HAM menilai sudah ada bukti cukup untuk membawa PT Freeport Indonesia ke ranah hukum, dalam hal ini kepala teknik tambang, pengawas operasional dan penanggung jawab teknis. Mereka yang bertanggung jawab, kata dia, bisa dijerat secara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Dalam KUHP pasal 359 disebutkan barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun,” tuturnya.

Penyelidikan yang sama, kata Natalius, juga sudah dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah daerah melalui Dinas Pertambangan, dan kepolisian. Namun entah kenapa, pemerintah hanya diam saja.

“Mereka semua sudah melakukan penyelidikan, tapi setelah itu diam. Bahkan, kesimpulan kepolisian menemukan adanya kelalaian, tapi hanya diberikan kompensasi,” kata Natalius.

Laporan hasil investigasi Komnas HAM ini, lanjut Natalius, akan diserahkan ke pihak Freeport di Amerika Serikat.

Dari data yang dikumpulkan Jubi, diketahui ada tiga faktor bahaya di dalam terowongan di lokasi under ground mining yang seharusnya diperhatikan oleh pihak Freeport Indonesia, yakni pergerakan bebatuan dalam terowongan; kedua, bahaya gas beracun di dalam terowongan dan; ketiga adalah bahaya banjir. Pihak Freeport Indonesia tampaknya mengabaikan pergerakan bebatuan dalam terowongan. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan eternit dari setiap ruangan kelas dalam terowongan di tamabang Big Gossan ini.

Menanggapi insiden Big Gossan ini, Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (FSPKEP-SPSI), Subiyanto mengatakan tidak ada pertambangan underground manapun yang atapnya diberi eternit.
“Supaya jika retak bisa ketahuan,” katanya.

10 pekerja yang selamat juga mengakui pada saat kejadian sudah terdengar suara batu-batuan yang jatuh di atap. Tapi, pihak manajemen tak menggubris kekhawatiran itu.

Big Gossan diyakini merupakan tambang bawah tanah yang memiliki deposit bermutu tinggi yang terletak dekat kompleks pertambangan Freeport Indonesia  di  Grasberg. Big Gosan dikembangkan menjadi open stoping mine dengan menggunakan hasil pengurukan tailing dan semen, sebuah metodologi pertambangan baru buat Freeport sendiri. Produksi, yang dimulai pada kuartal keempat 2010, dirancang mencapai puncak hingga 7.000 metrik ton bijih per hari pada pertengahan tahun 2013.  Ini setara dengan rata-rata agregat produksi tambahan tahunan, 125 juta pon tembaga dan 65.000 ons emas. PT Freeport Indonesia menerima 60 persen dari jumlah ini. Investasi modal untuk proyek ini diperkirakan sekitar $550.000.000, dimana saham PT Freeport Indonesia mencapai total nilai sekitar $518.000.000. Biaya proyek $494.000.000 telah dikeluarkan hingga 31 Desember 2011 ($50.000.000 selama 2011).

Meski Big Gossan merupakan metode tambang yang baru bagi operasi Freeport Indonesia, namun Freeport sangat percaya diri selama beberapa tahun ini. Freeport menganggap Big Gossan sangat kokoh dan mapan karena sebagian besar keahlian digunakan di situs Big Gossan. Dan mineral yang akan ditambang kompatibel dengan fasilitas pabrik yang mereka miliki. Metode pertambangan di Big Gossan juga menyediakan profil produksi yang fleksibel yang bisa dimulai dan berhenti, tanpa berdampak kepada cadangan modal kerja, karena permintaan tenaga kerja dan peralatan yang berfluktuasi oleh blok gua yang lebih besar lainnya yang juga sedang dikembangkan oleh Freeport.(Jubi/Victor Mambor)

Sumber : Tabloid JUBI OnLine

By Admin