KINERJA WIJAYA SENTOSA JAUH LEBIH PARAH DARI WMT

oleh
Pietsau Amafnini

Dusner-Wijaya-Sentosa-Jasoil-Tanah-Papua-565x400Manokwari, 7/3 (Jubi) – Perusahaan berganti perusahaan, nasib masyarakat adat tetap sama saja. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga lagi. Kayu jerat pun dibawa pergi, hanya perusahaan yang sentosa, sedangkan masyarakat tetap merana di tempat.

PT. Wijaya Sentosa (Sinar Wijaya Sentosa Group) adalah sebuah unit management sektor kehutanan di Dusner, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. PT.WS mengantongi IUPHHK dengan SK. HPH No.SK.33/Menhut-II/2013 tertanggal 15 Januari 2013 dengan luas konsesi 130.755 Ha. Perusahaan ini beroperasi di bekas lokasi konsesi HPH PT. Wapoga Mutiara Timber Unit-I Teluk Wondama. Awalnya sangat membingungkan masyarakat adat di Dusner, apakah perusahaan ini merupakan PT. Wapoga Mutiara Timber yang kembali dalam nama lain, atau memang perusahaan yang berbeda? Cek punya cek akhirnya ada perusahan senama di Yapen dengan nama PT. Sinar Wijaya Sentosa, sebuah perusahan industri kayu (playwood). Namun tak seorang pun mengaku kalau perusahaan pengganti WMT adalah SWS yang ada di Yapen.

Kebingungan ini akhirnya mendorong masyarakat adat di Dusner melayangkan surat kepada Bupati Teluk Wondama dan Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Wondama untuk menanyakan status perusahaan baru yang menggantikan WMT. Maklum, WMT meninggalkan luka yang sangat mendalam. Isi hutan sudah diambil semuanya, tapi masyarakat tidak mendapat apa-apa, selain gedung gereja yang selalu dijadikan alasan bahwa WMT telah berbuat sesuatu di Dusner. Bahkan kepada menteri kehutanan pun masyarakat menyurati melalui peran LSM PUSAKA Jakarta dan mitra-mitranya. Namun, toh pada akhirnya jelas kepada permukaan umum berupa sebuah papan nama milik perusahaan baru ini. PT.WS mengantongi IUPHHK dengan SK. HPH No.SK.33/Menhut-II/2013 tertanggal 15 Januari 2013 dengan luas konsesi 130.755 Ha.Sedangkan jauh sebelumnya, perusahaan WS ini tidak pernah bernegosiasi dengan masyarakat adat soal harga kayu dan kompensasi yang seharusnya mereka terima. Kelakuan WMT jangan sampai terulang, oleh karena itu harus sesuai prinsip-prinsip FPIC.

Selanjutnya terjadi pertemuan beberapa kali antara pihak masyarakat adat Dusner dan pihak perusahaan WS. Akhirnya disepakati bahwa perusahaan bersedia membayar kompensasi yang sesuai, tetapi entah sesuainya bagaimana menurut versi perusahaan, itu masyarakat adat tidak tahu.

Jack Imburi, tokoh masyarakat adat dan pemilik hak ulayat di Dusner menerangkan bahwa setiap tiga (3) bulan PT. Wijaya Sentosa melakukan pengapalan dengan kapasitas 14 tongkang. Setiap 14 tongkang per tiga bulan itulah masyarakat menerima Rp.1 Miliar. Setiap tongkang biasanya memuat 5000 batang. Tidak hanya kayu yang ukurannya sesuai aturan, tapi kayu-kayu jerat juga dia bawa pergi. Menurut informasi dari perusahaan, kayu yang mereka bawa itu tujuan ke Serui/Yapen karena ada industri playwood di sana, sedangkan lainnya dibawa ke Surabaya. Hal ini jelas bahwa kayu jerat pun ditebang karena mungkin untuk memenuhi kebutuhan bahan baku playwood di Serui. Intinya, SWS jauh lebih parah dari WMT dalam operasinya, sehingga perlu ada proses pembinaan atau mungkin teguran dari pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan. Sayangnya, tidak ada perhatian juga dari pemerintah.

Konon PT. Wapoga Mutiara Timber (WMT) Unit I adalah sebuah unit manajement IUPHHK-HA di Teluk Wondama. WMT mendapat izin dari pemerintah pusat pada tahun 1990 berdasarkan Keputusan IUPHHK Pada Hutan Alam No.744/Kpts-II/1990, tanggal 13 Desember 1990, dengan luas wilayah konsesi di Teluk Wondama adalah 178.800 Ha. Saat itu, wilayah Teluk Wondama masih menjadi bagian dari wilayah administratif Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua/Irian Jaya. WMT beroperasi hingga pasca pemekaran Teluk Wondama (2003) dan berada di dalam wilayah Provinsi Papua Barat.

Pada tahun 2004 hingga tahun 2006 adalah waktu dimana semua unit manajement kehutanan di Tanah Papua menjalani masa ‘opname’ sebagai akibat dari kuatnya operasi illegal logging. WMT tidak melakukan akitifitasnya. Sejak saat itu, ketika ditanya tentang aktifitasnya, pihak WMT selalu mengatakan bahwa tidak melakukan aktifitas pengusahaan hasil hutan kayu sejak tahun 2004. Padahal dalam kenyataannya, di wilayah konsesi WMT masih terus terjadi aktifitas penebangan hutan kayu.

Pada tanggal 31 Desember 2008, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat mengesahkan dokumen Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam Tahun 2009 dengan Nomor pengesahan No. KEP 5221./1011. Keputusan pengesahan ini sebagai tanggapan pemerintah atas usulan RKT oleh IUPHHK PT. WMT Unit I Teluk Wondama sesuai dari manager Pegusahaan Hutan WMT unit I Nomor. 97/WMT-I/XII/2009 tanggal 15 Desember 2008.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat mengeluarkan Surat Keputusan No. KEP-522.1/1011 tentang Pengesahan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Alam Tahun 2009 dengan tetap mempertimbangkan: Kepmenhut No. 744/kpts-II/1990 tanggal 13 Desember 1990 kepada PT. WMT Unit I bahwa telah diberikan izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam atas Areal hutan seluas 178.800 Ha di Provinsi Papua Barat. Selain itu, berdasarkan Permenhut No. P.40/Menhut-II/2007 tanggal 17 September 2007, telah ditetapkan kewajiban pemegang IUPHHK dalam Hutan Alam untuk membuat RKT Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKTUPHHK) dalam Hutan Alam. Sebelum dikeluarkannya surat keputusan, pihak DInas Kehutanan Provinsi Papua Barat juga telah telah meneliti dan mempelajari kebenaran dan kelengkapan persyaratan pengesahannya berdasarkan Permenhut No.P.40/Menhut-II/2007 tanggal 17 September 2007. Selain peraturan ini, adapun peraturan lokal provinsi Papua Barat seperti Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 2 Januari 2008 tentang Pengaturan Peredaran Hasil Hutan Kayu; Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor: 144 Tahun 2007 tanggal 30 Oktober 2007 tentang Standar Pemberian Kompensasi Bagi Masyarakat Adat atas kayu yang dipungut pada Areal Hak Ulayat di Provinsi Papua Barat; Pertimbangan Tekhnis Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Teluk Wondama No. 522.2/603/2008 tanggal 10 Desember 2008 tentang Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Teluk Wondama. Pertimbangan lain adalah Surat Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor: SK.432/VI-BPHA/2008 tanggal 17 Desember 2008 tentang Penetapan Jatah Produksi Kayu Bulat Nasional Periode Tahun 2009 yang berasal dari IUPHHK-HA/HPH di setiap provinsi se-Indonesia, dimana menyebut jatah provinsi Papua Barat sebanyak 1,225,000 meter kubik.

Sesuai Surat keputusan Pengesahan RKT PT. WMT Unit I di atas, Tebagangan Tahunan seluas 3,950 Ha dan jumlah pohon sebanyak 16.915 pohon dengan volume sebesar 55.528,92 meter kubik yang tersebar di 40 Blok Petak Tebangan. Penebangan dilakukan juga pada Blok Tebangan Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) seluas 12,80 Ha dengan jumlah pohon sebanyak 418 pohon serta volume sebesar 729,51 meter kubik. Selain itu pemanfaatan Limbah Tebangan dengan volume sebesar 8.438,76 meter kubik.

Pihak perusahaan WMT Unit I, selalu tidak mengakui kalau pada pasca OHL I dan II masih terjadi pengusahaan kayu di areal kawasan konsesi Teluk Wondama. Namun selama proses pemantauan, sejumlah bukti sekunder dan fakta menunjukkan bahwa pada pasca OHL, masih terjadi penebangan dan pemanfaatan hasil hutan kayu. Pada tanggal 13 Mei 2008, di Rasie-Teluk Wondama, Dinas kehutanan kabupaten mengeluarkan surat rekomendasi No. 522.2/344/2008 kepada perusahaan industri kayu yakni CV. Aitumeri yang beralamat di Kampung Tandia, Wasior. Dalam rekomendasi ini, CV. Aitumeri membuat kesepakatan kontrak kerjasama untuk pemanfaatan kayu limbah sebanyak 8.920,78 meter kubik di areal konsesi PT. WMT Unit I sesuai arahan SK. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Nomor. KEP-522.1/7 tanggal 08 Januari 2008 tentang Pengesahan RKT Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Dalam Hutan Alam tahun 2008. Lokasi terkait rekomendasi ini adalah kawasan di kampung Obo, sesuai Surat Kesepakatan antara CV. Aitumeri dan Masyarakat Adat Obo (marga Riensawa dan Werbete) tanggal 24 Mei tahun 2008.

Pada tanggal 3 Februari 2009, pihak WMT Unit I Basecamp Dusner di Wasior, Teluk Wondama bersama Direktur CV. Aitumery menandatangani perjanjian kontrak Suplay bahan baku industri berupa Limbah Kayu pada areal RKT 2009 milik WMT untuk kebutuhan bahan baku industri CV, Aitumery. Jumlah yang diperlukan disesuaikan dengan RKT Limbah yang disetuji Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat sebeasar 8.438,76 meter kubik (JPT merbau x 15%). Pihak WMT juga bersedia mensuplay limbah penebangan sebesar 2000 meter kubik dan 1800 meter kubik (3,800 meter kubik) dari limbah penebangan pada areal RKT 2008. Atas dasar ini, maka pada tanggal 30 Mei 2008, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Teluk Wondama mengeluarkan surat No. 522.3/321/2008  perihal pertimbangan tekhnis dalam rangka pemberian rekomendasi persetujuan prinsip kepada CV. Aitumeri di kabupaten Teluk Wondama. Surat ini dialamatkan kepada Bupati Teluk Wondama setelah membaca surat dari CV. Aitumeri No. 03/AM/V/2008 tanggal 30 Mei 2008 dengan tujuan agar Bupati memberikan rekomendasi kepada pihak Aitumeri agar mendapatkan Izin Usaha Industri (IUI) dari Gubernur Provinsi Papua Barat.

Pada tanggal 20 Desember 2008, pihak masyarakat adat di kampung Nanimori – Dusner, distrik Kuri Wamesa, Teluk Wondama, Masyarakat Adat Nanimori bersama pihak CV. Aitumeri menandatangani Berita Acara Perjanjian Pengolahan Kayu Limbah. Dalam Berita Acara ini disepakati bahwa pihak CV. Aitumery berkewajiban membayarkan hak ulayat kayu limbah kepada masyarakat adat Nanimori sebesar Rp. 200,000 per meter kubik yang dibayarkan pada setiap pengapalan. Selain itu disepakati bahwa pihak perusahaan akan membayar retribusi ke kas pemerintah kampung, memberikan bantuan kepada pihak gereja dan memberikan bantuan pada kegiatan gotong royong di kampung. Namun pada kenyataannya, tidak ada sama sekali. Hal ini yang sangat disesalkan oleh masyarakat adat di kampung Nanimori.
Pada tanggal 15 April 2008, pihak WMT bersama Masyarakat Adat di kampung Nanimori menandatangani Berita Acara mengenai penyelesaian perbaikan dan renovasi kegiatan PMDH berupa proyek air bersih di kampung nanimori yang merupakan tanggung jawab PT. WMT Unit I. Untuk pelaksanaannya, pihak perusahaan menyetujui melakukan pembayaran berupa ongkos kerja sebesar Rp. 40,000,000,- kepada pihak masyarakat adat melalui perwakilan Kuasa Masyarakat Adat. Namun kenyataannya, tidak ada realisasinya.

PT. WMT memperoleh sertifikasi PHPL pada tanggal 15 September 2010 dengan Nomor Sertifikat 02/A-SERT/IX/2010 oleh Ayamaru Certification. Proses sertifikasi PHPL ini dilakukan dalam kerangka untuk pemenuhan persyaratan perpanjangan izin IUPHHK-HA. Sertifikasi PHPL ini dinyatakan Lulus sesuai aturan main SVLK Permenhut 38/2009. Namun pada tanggal 24 Mei 2012, Sertifikat PHPL WMT dibekukan oleh Ayamaru Certification. Selanjutnya WMT ”menggulung tikar” dan meninggalkan Teluk Wondama. Hingga pada akhirnya datanglah Sinar Wijaya Sentosa sebagai pemain baru dengan cara-cara lama di bekas wilayah konsesi WMT.

Pada akhirnya Jack Imburi seorang pemilik hak adat atas hutan di Dusner Teluk Wondama hanya bisa mengatakan bahwa “Perusahaan Wapoga dalam bekerja masih bisa menetapkan tebang pilih, walaupun tidak tanam kembali. WMT dalam operasinya tidak sapu rata kayu yang ada di hutan, ada ukuran-ukuran yang kalau sesuai aturan bahwa dilarang, dia tidak tebang. Tetapi sekarang ini, Wijaya Sentosa jauh lebih parah dalam cara kerjanya. Sampai kayu-kayu jerat yang ukurannya masih kecil pun ditebang dan dibawa pergi oleh Wijaya Sentosa. Perusahaan ini namanya juga bagus, hanya dia akan sentosa sedangkan masyarakat adat setempat akan tinggal merana di tempat.*

Penulis adalah Koordinator JASOIL Tanah Papua

Sumber : Tabloid JUBI (klik)

By Admin