Pulau Kimaam begitu terkenal dengan keindahan alamnya yang khas. Pekikan warga asli dikala senja makin menambah keasyikan jika Anda berada di sana.

 Pulau Dolok atau Kimaam di Merauke, terdiri dari empat distrik, yakni Tabonji, Waan, Ilwayab, dan Kimaam. Untuk menuju Kimaam, anda bisa melaluinya menggunakan pesawat regular selama 45 menit, jalan darat atau dengan kapal kayu kecil selama belasan jam.

Distrik Kimaam memiliki sejumlah kampung. Kampung-kampung tersebut terletak berjauhan. Sebagian daerahnya berdataran rendah.Seperti masyarakat Papua pada umumnya, Orang Kimaam juga memegang teguh adat istiadat. Kepercayaan pada tokoh adat sebagai personafikasi leluhur, sangat berpengaruh dalam menjaga keseimbangan hidup merekabersama alam.

Pulau Kimaam memiliki luas kurang lebih 1,5 juta ha. Sebagai daerah besar di Merauke, Kimaam menjadi idola investor untuk menanamkan modalnya. Dorongan tersebut dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan ekonomi Kabupaten Merauke yang tercermin dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik besaran nominal maupun pertumbuhan ekonominya. Dalam kurun waktu 2000 hingga 2005 misalnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi Merauke telah mencapai 9,46 %.

Faktor lain yang ikut menjadikan investor ‘tergila-gila’ adalah dengan indikator PDRB per kapita. Dalam kurun waktu 2000 hingga 2005 saja, rata-rata pertumbuhan PDRB per kapitanya 15,91 % atau sebesar Rp 8.684.980. Belum lagi dilihat dari besarnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencapai 63,33 pada 2004.

Namun sayangnya, niat muluk investor menggarap Kimaam, kerap tak mulus. Bukan saja selalu ditolak oleh masyarakat adat, namun dipengaruhi pula ketidakaktifan pemerintah mengelola sumberdaya alam. Tak pelak, warga Kimaam selalu kekurangan beras yang berujung sering terciptanya kondisi rawan pangan.

Warga Kimaam sementara beraktivitas. Foto JUBI
Warga Kimaam sementara beraktivitas. Foto JUBI

Masalah di Kimaam

Masyarakat Kimaam memenuhi kebutuhan hidupnya mengandalkan kemurahan alam. Karena Kimaam memiliki perairan yang sangat kaya, maka di sebelah utara daerah tersebut, Wanam Camp, dibangun sebuah pabrik pengalengan ikan.

Dalam beberapa literatur disebutkan, persoalan yang terjadi di Pulau Kimaam, dimulai sejak berdirinya pabrik pengalengan ikan PT Djarma Aru (Djayanti Group) di Wanam Camp. Kondisi ini terus diperburuk oleh tindakan aparat yang kerap mengintimidasi warga. Aparat dinilai memihak perusahaan sehingga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat.

Benarlah apa yang dikatakan Deutch,dalam Hamidi, 1995, bahwa konflik  dapat muncul apabila ada beberapa aktifitas yang saling bertentangan. Di Kimaam, aktivitas tidak sejalan itu adalah hadirnya perusahaan yang mengabaikan pemilik tanah untuk hidup layak. Hal ini memicu peristiwa tewasnya ABK KM Kimaam 15 pada 23 Juli 2001, dibunuh sekelompok warga.  Kapal Kimaam 15 adalah milik PT Djarma Aru. Insiden tersebut ungkap beberapa sumber tidak dapat dipisahkan dari tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan dan aparat keamanan.

Kejadian itu kemudian berujung pembakaran Kapal dan pembunuhan ABK KM Jala Perkasa pada 12 Agustus 2001, pembakaran DesaKawe yang mengakibatkan warga harus mengungsi, pembakaran bevak-bevak di sekitar aliran Kali Kontuar, pembakaran sembilan rumah di Kampung Sibenda, enam rumah di Kampung Wetau serta 64 rumah di Desa Kawe Barui.

Rentetan insiden ini belakangan menyebabkan pecahnya kasus Maskura, 28 November 2001. Sejumlah aktivis Merauke kemudian membentuk Forum Merauke untuk Demokrasi (FORMED) yang bertindak sebagai Tim Pencari Fakta.

Warga Kimaam sementara beraktivitas. Foto JUBI
Warga Kimaam sementara beraktivitas. Foto JUBI

Korupsi

Kimaam tidak adem ayem. Ada juga tindak korupsi di daerah itu. Misalnya terkait dugaan penyelewengan dana proyek pembangunan rumah layak huni di Kampung Kimaam dan Kampung Kiworo, Distrik Kimaam pada 2010. Polisi langsung menciduk tujuh tersangka. Yakni, AS selaku kuasa pengguna anggaran pada Dinas Cipta Karya Pemukiman dan Tata Ruang Kabupaten Merauke dan IL sebagai kontraktor.

Lima lainnya, ME berperan sebagai Ketua Panitia lelang proyek dan BA selaku konsultan proyek. Lalu, Y, Pejabat Pembuat Komitmen (PPTK), A selaku calo proyek dan F, rekanan.

Proyek perumahan itu menyebabkan kerugian negara sebesar Rp.463.641.082. Perkara korupsi itu terkait pembangunan 40 unit rumah rakyat tipe 36. Proyek itu menggunakan anggaran APBD tahun 2009 yang dikucurkan tahun 2010.

Tak hanya korupsi, ada pula permainan BBM. Bahan Bakar Minyak (BBM) premium bersubsidi untuk memenuhi kebutuhan warga diduga telah ‘diproyekkan’ oleh pengelola Depot BBM Kimaam.

Anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke,  Soter Kami Awi mengatakan, kasus itu terjadi lantaran depot BBM yang dipercayakan menyalurkan BBM subsidi pemerintah, tidak langsung mendistribusikannya kepada konsumen. “Tetapi dijual kepada pedagang, selanjutnya, pedagang menjual lagi kepada masyarakat dengan harga tinggi,” katanya.

Dikatakan,  jatah premium bersubsidi dari Pertamina kepada Distrik Kimaam sebesar 10 ton, sementara untuk Distrik Wan, 5 ton dalam sebulan. Namun, BBM tersebut selalu habis dalam tempo tiga hari. Diduga, BBM telah dijual kepada pedagang.

Soter mengungkapkan, kesulitan BBM bersubsidi di Distrik Kimaam dan Wan, terjadi tiap tahun. “Untuk itu kami meminta pemerintah daerah melihat ini dengan serius. Yang bersalah, dipidanakan jika itu menyalahi aturan undang-undang yang berlaku,” kata Soter.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *