Kasus penularan penyakit HIV AIDS di Papua makin mengkhawatirkan. Kondisi ini mulai mengancam keberlangsungan hidup suku asli di Papua.
“Saya datang ke Kabupaten Paniai, di sana dilaporkan sudah empat marga penduduk asli punah gara-gara HIV,” ujar Pangdam XVII Cendrawasih, Mayjen TNI Fransen G Siahaan, pada acara tatap muka dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, di Nabire.
Menurut dia, setidaknya terdapat dua faktor utama yang menyebabkan penularan HIV di Papua tumbuh begitu cepat. Pertama, maraknya minuman keras (miras). Kedua, perilaku seks bebas. Kedua kebiasaan tersebut, lanjut dia, dapat membuat suatu bangsa mengalami fenomena lost generation.
Yohana sendiri mengamini pernyataan Fransen. Dia menilai miras penyebab utama terjadinya perilaku seks bebas dan kekerasan di Papua. “Miras adalah akar permasalahan. Saya sendiri belum menemukan solusi yang jitu untuk menekan konsumsi miras di kalangan orang asli Papua,” sebut Yohana.
Keprihatinan terhadap tingginya kasus HIV juga diutarakan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Nabire, Yufinia Mote. Bahkan penularan HIV di Papua tidak lagi menyasar kepada kelompok beresiko, seperti pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang. Penularan sudah sampai pada pihak ketiga, yakni ibu rumah tangga dan bayi. “Di Nabire hampir setiap bulan ada sekitar enam ibu yang kena HIV. Sekitar 5-6 tahun lagi, bisa habis orang asli Papua di sini,” ujar Yufinia.
Yufinia menceritakan, saat ini, banyak terdapat bayi di Nabire yang lahir tanpa memiliki ayah dan ibu karena meninggal akibat HIV. Pemkab Nabire pun masih kesulitan untuk mengurus pendidikan dan pengasuhan pada mereka. Dia menambahkan Nabire adalah kota ketiga dengan kasus HIV tertinggi di Papua, setelah Timika dan Jayapura.
Sementara itu, data Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua pada 2013 menunjukkan, penderita HIV AIDS secara akumulatif di Papua mencapai sekitar 24 ribu. Padahal, kata Yufinia, total penduduk di Papua tidak sampai 4 juta orang. Itu pun, mayoritas penduduk Papua pada saat ini adalah pendatang.
Di tempat terpisah, Direktur Yayasan Bali Peduli Steve Wignall mengatakan, di Papua hanya ada 142 puskesmas dan 20 rumah sakit. Menurutnya, sedikitnya pukesmas dan rumah sakit membuat masyarakat sulit untuk mengakses obat ARV. Apalagi, medan menuju rumah sakit dan puskesmas itu juga sangat sulit.
Dia menambahkan, para penderita HIV AIDS tidak hanya butuh obat-obatan, namun juga perlu pendampingan dari masyarakat sekitar, terlebih lagi warga juga harus mengurangi stigma yang ada.
Hingga saat ini, masyarakat masih menganggap bahwa penderita HIV AIDS itu perlu dijauhi. Baginya, stigma itu salah dan perlu diubah. “Kita perlu dukungan pemerintah untuk mengurangi penderita HIV AIDS dan kita sendiri akan memperluas jaringan,” ujarnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan, data per September 2014 menyebutkan risiko penularan AIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual. Seks berisiko di antaranya adalah pemuasan nafsu di lokasi prostitusi. “Tidak tanggung-tanggung risiko penularan AIDS dari hubungan seks berisiko ini mencapai 67 persen,” katanya.
Edukasi Lemah
Kasus HIV AIDS di Papua masih tinggi dan memprihatinkan. Selain edukasi yang lemah, ternyata ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingginya angka penderita seperti banyaknya Pekerja Seks Komersial (PSK) asal daerah lain yang berdomisili di Papua.
Begitu disampaikan Executive Director Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA) Ramdani Sirait. “Banyak orang non Papua yang ketahuan tes darah dan positif, tercatat tinggal di Papua. Salah satunya adalah PSK yang berasal dari daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan sebagainya,” kata Dani.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga September 2014, jumlah kumulatif HIV dan AIDS di Papua masing-masing 16.051 dan 10.184 kasus. Sedangkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyebutkan, prevalensi penularan HIV AIDS di Papua turun menjadi 2,3 persen pada 2013 dari pendataan terakhir 2007 yang mencapai 2,4 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, drg Aloysius Giay mengatakan, kasus HIV AIDS pertama kali ditemukan di Papua pada 1996, dan dalam jangka waktu 18 tahun, angka ini telah meningkat sangat tajam. “Dari jumlah itu, 1.229 orang diantaranya telah meninggal dunia. Khusus untuk wilayah adat Meepago, yang meliputi Nabire, Paniai, Dogiai, Deiyai, Mimika dan Intan Jaya, jumlah kasus HIV AIDS mencapai 6.984, 446 di antaranya telah meninggal,” ujarnya.
Angka ini, kata dia, diperkirakan masih jauh lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya, karena ada sejumlah kabupaten yang belum memasukkan data. “Sesuai perkiraan paling konservatif dari Dinas Kesehatan Papua, ada sekitar 25.000 orang yang telah terkena HIV AIDS di Papua. Ini berarti masih ada 7.361 yang harus ditemukan,” ujarnya.
Statistik menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling banyak terinfeksi HIV AIDS adalah usia 15 – 49 tahun, yang merupakan usia produktif. Orang asli Papua menderita HIV AIDS lebih banyak dibandingkan masyarakat pendatang.
Menurutnya, HIV AIDS adalah ancaman sangat serius bagi Papua. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah setia dengan pasangan, dan mampu menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.
Jayapura
Di Jayapura, Ketua KPA Kota Jayapura, Dr. Nur Alam, M.SI mengatakan, data dari Badan Pusat Statistik Kota Jayapura, sebanyak 2,3 persen penduduk Kota telah dinyatakan terkena HIV AIDS. Bahkan untuk tahun 2014 lalu, terhitung dari Januari sampai April telah ditemukan 1000 lebih kasus baru HIV AIDS.
Ia mengungkapkan bahwa dari 3000 kasus yang ditemukan KPA Kota Jayapura, 75% pada usia produktif (usia 15-18 tahun). Faktor penyebabnya adalah 99 % karena seks bebas.
Di kasus terakhir, bahkan ditemukan sebanyak 19 orang anak terinfeksi HIV AIDS. Anak tersebut berusia 5 hingga 9 tahun sebanyak 15 orang, dan sisanya berusia 10 hingga 14 tahun.
Menurut Nur Alam, data tersebut diperoleh dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura, pada akhir 2014. Dan hingga kini, pihak KPA Kota Jayapura masih menelusuri penyebab terinfeksinya para bocah tersebut. Salah satu bocah diduga tertular melalui transfusi darah. “Beberapa hari yang lalu saya turun langsung ke unit-unit donor darah, dan saya sampaikan kepada petugas di unit tentang informasi 19 anak yang terinfeksi ini,” ujarnya.
Nur Alam melanjutkan, pihaknya belum bisa mengklaim bahwa transfusi darah sebagai penyebabnya. Pasalnya, karena saat ini Unit Transfusi Darah Kota Jayapura telah dilengkapi alat deteksi dini atau screening darah secara cepat terhadap penyakit dasar yang bisa saja ditemui dalam darah para pendonor, salah satunya HIV AIDS.
“Saya ambil contoh kasus 2005 di Kota Sentani, Kabupaten Jayapura, ada sebuah kasus seorang bayi di vonis ODHA, sementara kedua orang tuanya dinyatakan negatif. Saat itu alasan orang tuanya bahwa sang bayi terinfeksi melalui transfusi darah, tapi PMI memang saat itu belum memiliki alat deteksi (screaning), berbeda dengan sekarang yang sudah ada,” katanya.
Alat bernama screening darah itu bisa melakukan deteksi dini dalam tempo relatif cepat untuk mendeteksi penyakit berbahaya termasuk HIV dan AIDS.
Selanjutnya melihat fenomena 19 bocah yang tertular HIV dan AIDS, Nur Alam menyarankan seluruh masyarakat Kota Jayapura mesti memberanikan diri menjalani tes VCT.
Selain melakukan VCT, tambah Nuralam, dibutuhkan sebuah kejujuran dari seorang pendonor saat akan menyumbangkan darahnya. “Biasanya saat pendonor sebelum diambil darahnya. Dia wajib mengisi formulir yang disiapkan petugas. Dalam formulir itu ada salah satu pertanyaan apakah pernah berhubungan badan bukan dengan pasangan kita di tiga bulan terakhir. Nah disini kita dituntut harus jujur dalam mengisinya,” tandas Nuralam. (Dari berbagai sumber)