Mafia peradilan di Papua telah menjadi momok yang sangat menakutkan.
Serahkan uangmu, kau kuloloskan.
Membongkar jaringan mafia jelas tidak mudah. Ada jaring-jaring kekuasaan yang mencengkeram kuat. Di Sicilia, Italia, Diego Gambeta dalam investigasinya bahkan harus menaruhkan nyawa. Skandal Silvio Berlusconi, orang nomor satu Italia ini tak bisa tersentuh setelah akhirnya jaringan media milik Rupert Murdoch membukanya. Sejak Oktober 2009, impunitas Berlusconi dicabut dan skandal keuangannya diusut.
Di Indonesia, praktek mafia peradilan juga terjadi. Papua, berada didaftar teratas.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di tahun 2007 menyebutkan, sekitar 60% praktik mafia peradilan berlangsung di Papua. Polisi, Jaksa dan Hakim ‘nakal’ telah merugikan rakyat hingga tinggal belulang.
Untuk meredam praktik-praktik tersebut, YLBHI Papua ketika itu memberikan proteksi kepada warga yang sedang dalam proses hukum. Caranya berupa pendampingan saat pemeriksaan di kepolisian hingga persidangan.
Komisi Yudisial (KY) RI pun tak tinggal diam. Memberantas meluasnya kejahatan itu, KY bersama Papua Foundation membentuk Posko Peradilan di Papua dan Papua Barat pada awal 2010. Posko tersebut menjalankan tugas monitoring dan mengikuti jalannya persidangan setiap kasus di Pengadilan Negeri.
Mafia Peradilan memang beringas. Kejahatan ini tidak seperti dalam fantasi film God Father, tapi merupakan kenyataan sehari-hari. Lihat saja sejumlah kasus yang berbelit-belit. Mulai dari Hatari hingga Jhon Ibo, Ketua DPR Papua, dulu.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, mekanisme peradilan justru menjadi bagian dari masalah yang menghambat upaya pemberantasan korupsi. “Sudah jadi rahasia umum, mafia peradilan banyak menimpa penyidik, pengadilan, hingga advokat. Ini jelas menjadi dilema,” demikian rilis KPK.
Mafia
Kata mafia, aslinya menunjuk organisasi kriminal Italia semacam Cosa Nostra dan Ndarangheta. Namun, kata itu kini sudah umum dipakai untuk segala organisasi kejahatan terorganisasi dan dijalankan dengan ”aturan internal” ketat, misalnya Red Mafia (Rusia), Triad (China), dan Yakuza (Jepang).
Literatur tentang mafia Indonesia sendiri hingga kini belum ditemukan. Kata mafia masih dipakai umum sekadar ”pengandaian”. Padahal, efek jaringan mafia terhadap negara ini jelas tampak.
Diego Gambeta (1993) mengatakan, negara dan mafia menawarkan hal yang sama, yaitu proteksi. Warga negara diasumsikan mendapat perlindungan dari aparat negara karena membayar pajak, sedangkan mafia menjual proteksi khusus kepada kliennya.
Praktik mafia menjadi persoalan karena memperdagangkan hal-hal yang menurut aturan negara adalah ilegal. Ironisnya, dalam negara anarki, proteksi yang ditawarkan mafia lebih masuk akal di mata pengusaha dibandingkan negara. Sebab, pajak kepada negara cenderung tidak berbekas karena aparatur juga memperdagangkan layanan yang seharusnya diterima sebagai konsekuensi membayar pajak.
Dalam dunia peradilan, kata Mafia berkonotasi negatif tak jauh berbeda dengan pengertian diatas. Memang masyarakat luas sering mendengar kosa kata ‘mafia peradilan’, tapi tak pernah dapat membuktikan, seperti apa sosok dan bentuk yang namanya mafia peradilan itu. Tapi, sejak dibukanya percakapan di dalam sidang Mahkamah Konstitusi, yang dulunya selalu menjadi teka teki itu, semuanya menjadi terang-benderang.
Masyarakat luas menjadi sangat tersentak dan baru meyakini bahwa mafia peradilan sudah sangat sistemik, dan menguasai seluruh jaringan lembaga penegak hukum di Indonesia.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001-2002, mengungkapkan bahwa telah ada pola kerja sama yang melibatkan hampir seluruh pelaku di dunia peradilan, mulai dari hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan, dengan tujuan menghindari proses penanganan perkara yang semestinya. Hal ini terjadi mulai dari pengadilan negeri hingga MA.
Korupsi di lembaga peradilan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) adalah realitas sosial yang sangat sulit dibuktikan melalui prosedur hukum pidana. Bukan saja karena praktik korupsi itu dilakukan oleh orang-orang yang menguasai seluk beluk peradilan, tetapi juga karena praktik tersebut melembaga di peradilan itu sendiri.
Ada pengacara yang diduga kuat menyuap hakim, jaksa, bahkan saksi agar memutus, mendakwa, dan menuntut serta memberi keterangan secara tidak benar di pengadilan. Ada juga yang memalsukan vonis hakim.
Bahkan untuk melancarkan operasinya, banyak pengacara mempunyai agen (orang dalam) di kantor-kantor pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, tak terkecuali di Mahkamah Konstitusi. Lihat saja kasus Akil Mochtar.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, Mafia peradilan di Mahkamah Konstitusi diduga berasal dari pengacara korup maupun broker. “Pak Akil dipenjara karena kasus hukum, tetapi mafia hukum peradilan itu masih bergentayangan di MK, pengacara-pengacara korup misalnya masih beracara disana, pihak-pihak yang broker masih ada disana,” kata Refly.
Mafia di Papua
Di Papua, untuk menghilangkan mafia, secara teori, diperlukan aturan hukum yang memberikan hukuman seberat-beratnya bagi para hakim, polisi, dan jaksa yang telah memperjualbelikan dan mengkhianati keadilan yang seharusnya mereka jaga.
Undang-undang perlindungan saksi perlu segera diberlakukan agar para whistle blowers mempunyai kepastian dan perlindungan hukum jika mereka melaporkan praktek mafia peradilan.
Dalam sebuah demonstrasi tahun lalu, puluhan mahasiswa di Papua pernah menuntut ‘pembersihan’ mafia peradian yang diduga melibatkan seorang pejabat di lingkungan kantor Pengadilan Tinggi Papua. Demonstran membawa sejumlah spanduk dan pamflet, diantaranya bertuliskan, “Bersihkan Hakim – Hakim di Papua dari Tindakan Mafia Peradilan”
Martinus Torip, Tokoh Masyarakat Boven Digoel mengatakan, tiada cara lain untuk menghentikan mafia peradilan di Papua kecuali dengan memberlakukan hukum adat. Oknum yang diduga melakukan praktek mafia harus dikurung.
Menurutnya, pemberlakukan hukum adat akan membuat pelaku jera. Sementara bagi bukan Papua, jika terbukti terlibat, dipecat dari jabatannya dan dihukum seberat-beratnya.
“Mafia peradilan dapat melunturkan nilai-nilai sakral yang telah dijaga bertahun-tahun. Ini menjadi sinyak buruk orang Papua, kita harus bertindak dari sekarang,” pungkasnya.
(Jerry Omona/JERAT/dari berbagai sumber)