JERAT PAPUA, PT Freeport Indonesia telah menunjuk kota Gresik di Jawa Timur sebagai tempat pembangunan smelter atau pabrik pemurnian mineral. Anggota DPR mempertanyakan langkah Freeport ini.

Neni Moerniaeni, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar bertanya kepada Presiden Direktur Freeport Maroef Sjamsoeddin, mengapa Freeport tidak membangun smelter di Papua.

“Kenapa bukan di Papua? Berarti Freeport mengkhianati perjanjian untuk membangun Papua dan membangun smelter di Papua,” ujar Neni dalam rapat Komisi VII DPR dengan Maroef dan jajaran petinggi Freeport, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Di tempat sama, Saiful Bahri Ruray, Anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar mengatakan, bila Freeport membangun smelter di Gresik, maka biaya angkut lebih mahal. Alasannya, tambang Freeport berlokasi di Papua.

“Kalau dilihat dari biaya angkut, saya nggak mengerti. Itu kan biaya angkut dari Papua dibawa ke Gresik baru dibawa lagi ke Amerika, itu kan ongkosnya bisa dua kali lipat, daripada kalau langsung dari Papua,” kata Saiful.

Menurutnya, bila Freeport membangun smelter di Papua, maka kesenjangan pembangunan antara Indonesia barat dan timur akan bisa teratasi. “Kalau tetap di Gresik, kecemburuan sosial timur dan barat akan semakin kentara,” ujar Saiful.

Dalam rapat dengan Komisi VII DPR itu, Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, pemerintah tidak bisa memaksa Freeport Indonesia membangun pabrik pemurnian mineral, atau smelter di Papua. “Kalau kita paksa bangun (smelter) di Papua, (Freeport) akan molor lagi, karena bangun sarana pendukung perlu waktu lama. Maka itu harus dibangun di tempat yang siap,” jelas Sudirman.

Saat ini Freeport memang belum memiliki Amdal dan izin usaha pembangunan smelter di Gresik. Kondisi ini membuat Komisi VII ragu dengan keseriusan Freeport. Namun Sudirman memiliki pemahaman berbeda. “Ada keseriusan. Sekarang Freeport lebih serius soal smelter. Bahwa ada hal-hal teknis yang belum terpenuhi, kami percaya bahwa Freeport akan memenuhi hal tersebut,” tegas Sudirman.

Dalam MoU pemerintah dengan Freeport terakhir, Sudirman mengatakan smelter Freeport sudah harus berdiri sebelum 2017.

Perpanjang Kontrak
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah memperpanjang kontrak karya PT Freeport Indonesia, dari seharusnya berakhir pada 2021, menjadi lebih panjang lagi, 2041.

Meski perpanjangan kontrak akan ditandatangani dua tahun sebelum kontrak berakhir atau pada 2019, pemerintah menjamin bahwa kesepakatan perpanjangan kontrak akan tertuang dalam memorandum of understanding (MoU).

“Perjanjian ini menjadi bagian tak terpisahkan, mengikat dua belah pihak, Indonesia dan Freeport, dan merupakan bagian dari amandemen kontrak,” tandas Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sukhyar.

Keputusan ini, kata Sukhyar, diambil untuk memberikan kepastian bagi investor asing, mengingat dana investasi yang dibenamkan oleh Freeport besar, yakni mencapai 15 miliar dollar AS.

Menyepakati kontrak tersebut, Freeport telah memastikan sejumlah poin yang akan dilakukan.

Pertama, Freeport berjanji akan membangun pabrik pemurnian atau smelter mineral emas di Gresik, Jawa Timur, dengan nilai investasi 2,3 miliar dollar AS. Selama ini, Freeport memilih ekspor konsentrat mineral tanpa pengolahan.

Kedua, perusahaan tembaga, emas, dan perak ini di Grasberg, Papua, juga bersedia menaikkan royalti dari yang berlaku saat ini cuma 1 persen menjadi 3,75 persen. Namun, Freeport meminta agar kenaikan royalti ini berlaku setelah perpanjangan kontrak atau pada 2021.

Ketiga, Freeport setuju melakukan divestasi saham sebesar 30 persen kepada Pemerintah Indonesia, pemerintah daerah, dan BUMN ataupun BUMD, sesuai aturan yang berlaku.

Keempat, Freeport menjamin penggunaan tenaga kerja lokal dan produk dalam negeri hingga 100 persen. Terakhir, Freeport juga tidak keberatan atas pengurangan areal wilayah pertambangan dari 212.950 hektar menjadi 125.000 hektar.

Namun, menurut pengamat pertambangan Marwan Batubara, hasil renegosiasi ini kurang menguntungkan Indonesia, terutama dalam hal kewajiban divestasi. Menurut dia, pemerintah seharusnya memperlakukan Freeport sama dengan perusahaan tambang asing yang memiliki kewajiban melepas 51 persen sahamnya.

Dengan begitu, Indonesia bisa mengambil kontrol atas perusahaan-perusahaan tambang yang dikuasai oleh pihak asing. Terlebih lagi, menurut amanat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, negara menguasai sumber daya alam. “Alasan Freeport adalah tambang terintegrasi dan berinvestasi tambang bawah tanah, itu bukan alasan untuk lepas saham 30 persen saja,” ujar Marwan.

Putus IUPK
Meski telah benar-benar memperpanjang kontrak hingga tahun 2041, Pemerintah kembali berencana menggodok perpanjangan operasi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia, dalam enam bulan ke depan.

“Dalam enam bulan itu kita tetap akan menyelesaikan amandemen kontrak,” tutur Direktur Jenderal R Sukhyar, di Jakarta.

Untuk menyelesaikan poin-poin amandemen kontrak, pemerintah dan Freeport sepakat melanjutkan pembahasan selama enam bulan. Sukhyar mengatakan, ada perbedaan dari nota kesepahaman enam bulan pertama dengan yang akan datang. “Sekarang ada tambahan lagi, muatan-muatan kontribusi lebih Freeport kepada Papua khususnya, kemudian local content sudah harus quantified 5 persen per tahun,” kata Sukhyar.

Sukhyar menjelaskan, saat ini memang Freeport telah menunjukkan komitmennya dengan investasi di tambang bawah tanah (underground mining) senilai 15 miliar dollar AS.

Dia menaksir, untuk proyek ini sudah 6 miliar dollar AS yang direalisasikan. Sukhyar lebih lanjut mengatakan, pembangunan underground mining ini berkaitan erat dengan poin pembangunan smelter. Sebab, smelter yang rencananya akan dibangun di Gresik dengan nilai 2,3 miliar dollar AS akan mendapatkan pasokan dari tambang bawah tanah.

Kendati sudah menunjukkan kemajuan, Sukhyar menegaskan pemerintah masih akan melihat lagi perkembangan enam bulan ke depan untuk memutuskan izin operasi IUPK Freeport diperpanjang.

Dalam catatan pemerintah, sejak beroperasi tahun 1967 hingga 2012, perusahaan asal Amerika Serikat itu sudah menggelontorkan investasi 8,6 miliar dollar AS atau sekitar Rp 102,34 triliun (kurs 1 dollar AS=Rp 11.900). Artinya, jika ingin membeli 10,64 persen saham divestasi tahap awal, pemerintah harus merogoh 915 juta dollar AS (Rp 10,89 triliun). Tahap berikutnya, Indonesia harus membayar 860 juta dollar AS (Rp 10,23 triliun) untuk membeli 10 persen saham Freeport Indonesia.

Jika pemerintah tak menggunakan haknya, saham divestasi itu akan ditawarkan secara berturut-turut kepada Badan usaha Milik Negara (BUMN), kemudian ke pemerintah daerah atau BUMD.

Pemerintah Papua
Ditempat terpisah, Pemerintah Provinsi Papua geram tidak turut dilibatkan dalam perpanjangan kontrak enam bulan ijin ekspor, antara Kementerian ESDM dengan pihak PT Freeport.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Alam dan Mineral (ESDM) Provinsi Papua, Bangun Manurung yang ditemui wartawan menyatakan, perpanjangan MoU atau nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia mengenai perpanjangan ijin ekspor selama enam bulan, jelas tidak sesuai. “Hal-hal teknis dan sebagainya itu, kita tidak pernah dilibatkan, termasuk juga dimintai saran,” sesalnya.

Bangun menegaskan, pemerintah Provinsi Papua tetap bersikeras smalter dibangun di Papua, bukan di Gresik Jawa Timur seperti yang telah direncanakan. “Ini konsentrat sangat besar jika Freeport akan membangun smalter terbesar didunia. Kalau semua diolah di Gresik, Pemprov Papua akan keberatan. Tetap harus ada sebagian diolah di provinsi ini,” tegasnya.

Baginya, alasan penolakan tersebut dilatari adanya kesepakatan bersama dalam rapat terakhir antara dirinya bersama Menteri ESDM Sudirman Said, Wakil Menteri Keuangan, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Frangky Siahaan pada tanggal 23 Desember 2014 di Jakarta. Saat itu, dengan jelas memutuskan bahwa PT Freeport Indonesia mesti membangun smalter di Papua dan selesai paling lambat tahun 2020.

Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai, John NR Gobai mengatakan, jika PT Freeport Indonesia (PT FI) ingin mendorong peninjauan ulang Kontrak karya (KK) II, maka segala usaha perijinan dan pembicaraan terkait dengan lahan tempat usaha, haruslah melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat.

Menurut dia, hal ini sesuai ini dengan semangat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua serta UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. “Masyarakat adat juga harus mendapat manfaat langsung dari sebuah kegiatan usaha atau rencana usaha dalam wilayah adatnya, untuk itu terkait dengan KK II PT FI, masyarakat adat Paniai, Intan Jaya dan Puncak, mutlak dilibatkan,” kata Gobai.

Gobai berharap pembahasan KK II wajib hukumnya melibatkan Gubernur Papua sebagai pemimpin pemerintahan di Papua, sekaligus salah satu anak adat dari Puncak.**

JO : dari berbagai sumber
Foto : PT Freeport Indonesia www.anton-djakarta.blogspot.com

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *