Kasus pencurian kayu tidak hanya dibelahan utara Bumi Papua.
Satu kisah pernah terjadi di Asmat, negeri seribu satu budaya

Pohon Merbau di Papua

Pohon Merbau di Papua

 

JERAT-PAPUA, Udara masih terasa dingin ketika kapal motor 85 PK itu bertolak dari dermaga Agats, Asmat, Papua menuju Kolof. Ditangannya, Nikon Coolpix P2 Price tergenggam erat. Nafasnya naik turun. Topi rimba hitam melindungi kepala. Ady Muslimin, wartawan Metro TV akan meliput kasus ‘besar’ pencurian 20.000 log Merbau di Kolof. Ini adalah kisah lama yang masih terus terngiang.

Perjalanan ke wilayah Ulayat Suku Asmat Brazza (Asmat Darat), Kampung Kolof, Distrik Suator Kabupaten Asmat, ditempuh selama 9 jam. Penat juga bosan. Bersama sejumlah warga dan tokoh adat, Muslimin dipojok duduk sembari memandang hutan sekitarnya.

Beberapa saat berlalu, perahu boat itu merapat di tepi Sungai Jat, dekat Kabupaten Yahukimo. Matahari telah condong. Dari kejauhan, terlihat batangan Merbau menumpuk. Ada berdiameter 70, ada juga 100 cm. Kayu keras tropis ini merupakan jenis yang memiliki harga sangat tinggi di pasar internasional dengan kisaran hingga 600 dolar Amerika per meter kubik. Jenis Merbau dipakai untuk memenuhi kebutuhan industri penghasil produk-produk kayu mewah, seperti lantai, mebel, kerangka drum, dan leher gitar. Organisasi pegiat lingkungan hidup Greenpeace pernah memperingatkan kayu keras tropis merbau (Instsia spp.) Indonesia ini akan punah dalam 35 tahun mendatang. Bila tidak ada upaya serius untuk menghentikan aksi pembalakan hutan dan kontrol perdagangan internasional, maka Merbau bisa jadi hanya tinggal nama.

Merbau dulunya banyak dijumpai di Afrika bagian timur hingga Asia dan Oseania. Kini Merbau hanya dapat ditemukan dalam jumlah yang signifikan di Pulau Papua – Indonesia dan PNG (Papua New Guinea).

Tak berlama lagi, Muslimin lalu mengambil posisi dan sreet..sreet. Dia memotret. Tumpukan Merbau dipisahkan berdasarkan ukuran. Ada puluhan tumpukan disitu. Tak terlihat orang lalulalang. Menurut beberapa warga, pekerja yang saban hari menebang dan membawa kayu ke darat, telah kabur.

Kayu log itu beberapa diantaranya telah berlumut. Rerumputan telah memenuhi sekeliling. Basecamp milik PT. Rimba Mega Lestari, tempat tinggal pekerja juga kosong melompong. PT Rimba masuk ke Kolof pada pertengahan 2007. Setelah diricek, perusahaan itu ilegal. Perusahaan ini masuk ke Kolof dengan  membawa 16 alat berat menggunakan Kapal LCT Yahukimo 01.

Di lokasi ditemukannya log, terdapat 8 buah alat berat. Bulldozer, beko, truck BBM beroda 10, 1 buah krain, bangunan basecamp perusahaan, dan 1 unit mobil pickup double gardan Ford biru berplat nomor BG 9128 CA. Selain itu, ada pula 8 tangki BBM berkapasitas 20.000 liter, sejumlah unit diesel pembangkit listrik dan bengkel (maintenance).

Soko, Kepala Kampung Kolof berujar, ia tak tahu menahu telah terjadi kegiatan pembalakan dikampungnya. Ia hanya tahu, perusahaan tersebut telah menebang pohon. Dalam beberapa kesempatan, Soko juga kerap bertanya, mengapa tidak ada kompensasi bagi pemilik ulayat dan warganya. “Dijanjikan nanti kalau sudah selesai penebangan, akan ada pembayaran kepada masyarakat. Tapi itu tidak pernah terbukti,” katanya. Soko tahu, Merbau di Kolof kelak pasti akan habis karena dibabat terus.

Merbau merupakan jenis kayu yang telah dimasukkan dalam daftar “menghadapi resiko punah” oleh Badan Konservasi Dunia (WCU). Namun walau sudah dipandang beresiko, hingga saat ini Pemerintah Indonesia belum mendaftarkan kayu merbau dalam Konvensi CITES (daftar tanaman dan hewan yang dilarang diperdagangkan di pasar internasional karena terancam punah)

Atas kejadian ini, Bupati Asmat, Yuven Biakai pun dibuat berang. Lagi-lagi, Asmat yang dipimpinnya dimasuki “Maling Kayu”. Padahal, Yuven tak pernah mengeluarkan ijin pada perusahaan bersangkutan untuk membabat hutan. Belakangan, sosok yang dianggap bertanggungjawab dalam ‘pencurian’ itu adalah Ellias Bapaimu (Dulunya Kepala Dinas Kehutanan Asmat).

Menanggapi tudingan tersebut, Ellias buru-buru mengklarifikasi. Menurut dia, benar terdapat perusahaan yang masuk ke Asmat yakni PT. Rimba Mega Lestari. Perusahaan itu memperoleh ijin dan sudah melakukan eksploitasi. Namun kayu tebangan itu tak bisa diekspor dari Asmat lantaran terbentur Keputusan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, yang melarang log keluar Papua. “Mereka telah ada ijinnya. Hanya saja terbentur dengan larangan dari Gubernur Papua,” kilah Bapaimu.

Budi Usman, bekas Kepala Distrik Suator, ikut pula dibuat heran. Pasalnya, ia sama sekali tak mendapat pemberitahuan atas masuknya Rimba Mega Lestari dari Pemerintah Kabupaten Asmat. Seperti Usman, Kapolsek Suator AKP. Mursalim (dulu), juga terkejut. Saat itu, ia hanya bertugas mengawal Kapal Yahukimo 01 yang membawa alat berat. Ia sendiri tak tahu jika perusahaan HPH itu tak memiliki ijin tebang. “Saya hanya mendapatkan sprint dari Pak Kapolres untuk mengawal kapal yang membawa alat berat untuk diturunkan di tempat penebangan,” pungkasnya. 

Aksi Rimba Mega Lestari memang rada mengejutkan. Selain diduga tak mempunyai ijin, ternyata, penyeludupan yang telah berlangsung lama menggunakan tagboat dan tongkang itu, telah meluluhlantahkan hutan hingga sejauh 10 km. Kini, hutan Kolof yang sebelumnya asri dan hijau, nampak kusut. Pohon tumbang dimana-mana. Bekas pembakaran menambah jejak yang sulit dibangun kembali.

Tokoh yang begitu murka atas temuan ini adalah Wakil Ketua Lembaga Musyawarah Adat Asmat, Amandus Anakat. Saking marahnya, Anakat sampai memaki. “Ini adalah pelecehan kepada alam dan Suku Asmat,” katanya.

Kini, Merbau peninggalan itu hanya tinggal terlantar. Kerugian yang dialami diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Kerugian tidak hanya dialami warga adat dan pemerintah, tapi juga generasi Kolof. Mereka sudah pasti tidak akan melihat lagi tanahnya pernah ditumbuhi Merbau.

(Jerry Omona/JERAT/Jubi)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *