Bicara tentang dialog Jakarta-Papua, erat kaitannya dengan hidup orang Papua saat ini dan pada masa yang akan datang, bukan semata-mata bicara tentang masalah saja. Dialog berarti komunikasi timbal-balik, percakapan dan cerita tentang hidup manusia. Melalui dialog, para pihak saling bicara tentang hidup dan masa depannya. ‘Jalan’ dialog selalu terbuka bagi setiap upaya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, khususnya saat ini, tatkala krisis kemanusiaan melanda tanah dan orang Papua. Dialog menjadi pilihan strategis yang mampu membawa perubahan Papua ke arah yang lebih baik.

 

Perjuangan dialog Jakarta-Papua sudah sejak lama diperjuangkan oleh para tokoh Papua. Saat ini, yang paling gencar melakukannya adalah Pater Dr. Neles Tebay, Pr, bersama dengan segenap komponen aktivis yang tergabung dalam Jaringan Damai Papua (JDP). Berbagai upaya dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada segenap rakyat Papua tentang pentingnya membangun dialog dengan pemerintah Jakarta untuk menciptakan Papua yang lebih baik. Demikian halnya, pembicaraan intensif dengan pemerintah pusat juga selalu dibangun guna mencapai kata sepakat untuk memulai dialog Jakarta-Papua.

JDP
Doc.JDP

Hasil paling signifikan dari berbagai upaya membangun dialog Jakarta-Papua adalah berlangsungnya Konferensi Perdamaian Papua, yang berlangsung di auditorium Uncen, pada 5-7 Juli 2011. Inilah pertemuan akbar yang menghadirkan segenap komponen orang Papua untuk bicara tentang hidup dan masa depannya. Sejumlah rekomendasi dihasilkan dalam konferensi ini. Sudah tiga tahun silam rakyat Papua yang hadir dalam konferensi ini membuat rekomendasi, yang menghendaki penyelesaian permasalahan Papua secara konprehensif, tetapi sampai saat ini, tindak lanjutnya masih jauh dari harapan.

 

Mengapa proses dialog Jakarta-Papua seakan berjalan di tempat? Pertanyaan ini mesti dijawab oleh segenap orang Papua, bukan oleh saya atau individu lainnya. Orang Papua sendiri yang memegang kemudi tanah Papua. Orang Papua sendiri yang harus menentukan ke mana arah tanah Papua akan dibawa. Jika segenap orang Papua menghendaki dialog Jakarta-Papua, maka akan terwujud, tetapi jika tidak, maka dialog tidak akan terjadi. Untuk mencapai kata sepakat membangun dialog Jakarta-Papua, orang Papua harus bersatu. Orang Papua harus membangun sikap solider, saling mendengarkan, saling menerima saran dan pendapat, saling membuka mata, hati, telinga dan pikiran untuk membangun persatuan di antara orang Papua, tetapi juga dengan para saudara yang sudah tinggal dan menetap di Papua. Kata kunci yang harus dihidupi yakni bersatu. Orang Papua dan segenap rakyat yang hidup di tanah Papua harus bersatu menyuarakan keadilan dan perdamaian di Papua melalui dialog.

 

Menyimak realitas sosial saat ini di tanah Papua, menunjukkan bahwa sedang terjadi keterpecahan di dalam diri orang Papua sendiri. Orang Papua terpecah-belah oleh nafsu kekuasaan dan gila uang. Orang Papua terlalu memberi toleransi terhadap kompromi politik pemerintah Jakarta melalui program-program yang mematikan daya kreativitas orang Papua. Otonomi khusus dan UP4B adalah kebijakan Jakarta yang mematikan masa depan orang Papua di atas negerinya. Orang Papua terlena dengan uang dan kekuasaan yang diberikan pemerintah Jakarta dan lupa bahwa sesungguhnya mereka sedang menderita.

 

Contoh paling sederhana pengaruh negatif Otsus dan UP4B telah menimbulkan pemekaran kampung, kecamatan, kabupaten/kota dan terakhir akan dimekarkan juga provinsi-provinsi baru. Bukan hanya pemekaran, tetapi juga orang Papua menjadi sangat tergantung kepada uang Otsus dan beras untuk orang miskin (Raskin). Suasana kekerabatan dan kekeluargaan menjadi terpecah-belah karena uang dan beras Raskin. Demi uang dan beras Raskin, orang Papua harus buat kampung berdasarkan suku dan marganya. Fanatisme sempit dan sukuisme main peran untuk meluluhlantakan jalainan kekerabatan yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang. Semua terjadi karena uang Otsus. Apakah orang Papua menyadari situasi ini? Patut direfleksikan lebih dalam!

Dialog-Jakarta-Papua

Situasi paling parah saat ini adalah hampir setiap hari banyak orang Papua mati. Mereka mati karena mengkonsumsi minuman keras, HIV/AIDS, malaria, TBC dan gizi buruk. Bukan itu saja, orang Papua juga banyak yang mati karena dibunuh oleh TNI dan Polisi. Ini kenyataaan yang tidak bisa dipungkiri. Ini realitas yang benar-benar terjadi di depan mata segenap orang Papua. Tetapi, ketika semua peristiwa ini terjadi, orang Papua masih tetap terkungkung di dalam egoisme sukunya. Bahkan ada yang sering melontarkan pertanyaan: “Yang mati itu orang gunung atau pantai. Kalau orang gunung, tidak apa-apa. Kalau orang pantai, kasian. Kenapa dia mati? Dan seterusnya.” Ungkapan seperti ini memperlihatkan bahwa sebenarnya orang Papua sudah tidak bersatu. Orang Papua sedang berada di ujung kehancurannya. Sangat memperihatinkan dan menyedihkan!

 

Seharusnya, penderitaan orang Papua ini menjadi perekat untuk memulai perjuangan bersama menggelar dialog Jakarta-Papua guna mencari alternatif yang tepat untuk penyelesaian permasalahan kemausiaan yang terjadi di Papua. Ironinya, di tengah penderitaan ini, orang Papua tidak sadar bahwa mereka sedang menderita. Orang Papua merasa bahwa mereka sedang hidup dalam kelimpahan uang, tanpa penderitaan. Akibatnya, muncul sikap malas tahu, bahkan acuh-takacuh. Hal ini tampak jelas, ketika terjadi kekerasan terhadap orang Papua pasti didiamkan. Rupanya nyawa orang Papua sudah tidak berarti lagi di hadapan pemerintah Jakarta dan di dahadapan orang Papua sendiri. Memprihatinkan!

 

Mengingat situasi darurat ini, maka sangat diharapkan setiap orang Papua memberikan dukungannya untuk segera menggelar dialog Jakarta-Papua. Secara pribadi, saya memiliki keyakinan teguh bahwa dialog adalah ‘jalan’ untuk bicara dan untuk mencari alternatif dalam menyelesaikan permasalahan Papua. Supaya dialog ini bisa terjadi, orang Papua dan segenap warga masyarakat serta rakyat yang tinggal di atas tanah Papua harus bersatu dan saling mendukung dalam setiap usaha menuju dialog Jakarta-Papua. Stop saling menghina, saling mencurigai dan saling menjatuhkan. Mari membangun sikap saling percaya dan saling menghormati menuju dialog Jakarta-Papua yang dicita-citakan bersama.

Abepura, 15 Juli 2014
Sumber : 
Petrus Pit Supardi Jilung

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *