TAMBRAUW – PT. Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP) di Lembah Kebar, Distrik Kebar dan Miyah, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat dinilai telah mengabaikan hak – hak masyarakat adat.
Tidak hanya mengabaikan, namun juga merugikan dan di duga telah melakukan sejumlah penipuan kepada masyarakat adat.
Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak terima kehadiran perusahaan yang sudah beroperasi 4 tahun ini.
Disinyalir kuat, telah banyak melakukan penipuan dan melanggar hak adat, PT. BAPP memanipulasi dasar peralihan pengoperasian lahan kebun jagung yang dikelola swadaya sebelummya bersama masyarakat seluas kurang lebih 19.364,77 hektar, ke lahan penanaman perkebunan kelapa sawit di Lembah Kebar.
Masyarakat adat juga geram dengan tindakan peralihan kuasa penggunaan tanah adat seluas 19.364 hektar, diklaim PT. BAPP.
Persoalan telah lama dikeluhkan oleh masyarakat, membuat Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) melihatnya.
Dikutip dari Tifaonline.com, Ketua MRPB, Max Ahoren menjelaskan, kegiatan prosesi adat atau pemalangan ini dilakukan oleh masyarakat adat suku Mpur Lembah Kebar karena menilai cukup banyak pelanggaran yang telah dilanggar oleh PT. BAPP semenjak beroperasi di daerah tersebut sejak kurang lebih 4 tahun lalu
“PT. BAPP melakukan pembukaan area hutan secara paksa dengan cara melakukan penebangan liar, dan penimbunan sejumlah kayu log didalam tanah, sehingga segala bentuk operasional PT. BAPP harus dihentikan”, tegas Ketua MRPB lagi.
Menurut Ketua MRPB penebangan hutan secara liar, dan pembukaan lahan yang telah di lakukan perusahaan tersebut harus di selesaikana dulu oleh perusahaan kepada masyarakat adat harus di selesaikan dulu dengan memberikan kompensasi yang layak.
Max Ahoren juga menegaskan bahwa pihaknya selaku representasi kultural setelah melakukan pemalangan kemarin selanjutnya akan melakukan upaya hukum dengan membentuk Pansus bersama dengan DPRPB untuk membela hak – hak masyarakat adat.
“Persoalan Suku Mpur akan kita selesaikan, segera kita bentuk Pansus bersama DPRPB, kalau di biarkan para mafia korporasi ini akan semena – mena dan mengabaikan hak konstiusional masyarakat adat”, tegasnya lagi.
Ketua Harian Lembaga Masyarakat Adat – Papua Barat (LMA – PB) Frengky Umpai mengungkapkan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah upaya menyelamatkan hutan dan tanah adat, apalagi bila di gunakan oleh perusahaan dengan mengabaikan hak dan budaya adat.
“Wilayah ini bukan milik negara atau sekelompok korporasi, ini adalah konsesi masyarakat adat jadi kalau mau investasi libatkan adat, karena soal hutan adat itu sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 35/PUU-X/2012 yang mengakui keberadaan hutan dan ulayat adat yang juga atur bagaimana mekanisme penggunan tanah adat itu, jadi sesuai putusan MK itu, hutan adat bukanlah hutan negara, jadi tidak bisa perusahaan berpikir sudah baku atur dengan pemerintah di pusat, atau provinsi dan kabupaten, terus mereka merasa sudah berhak mencapolok hutan kami”, kata Frengky Umpai.
Ia mengaku mendukung upaya yang dilakukan oleh MRPB, dengan harapan setelah pemalangan, masyarakat adat juga akan berkomitmen melakukan gerakan rehabilitasi wilayah adat yang telah rusak oleh aktivitas perusahaan pemegang ijin dari negara.
Ia juga berharap dengan adanya aksi ini, perusahaan meggunakan aparat untuk mengamankan kegiatannya, dan aparat juga harus menempatkan diri di posisi rakyat, jangan mau di peralat perusahaan, sehingga bisa menimbulkan gesekan antara masyarakat adat dengan aparat seperti yang sudah – sudah.
Selain Ketua MRPB dan beberapa anggotanya, terlihat juga beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua Barat yang ikut dalam aksi pemalangan dan penutupan operasional PT BAPP di Lembah Kebar kemarin.
Diantaranya Rudy. F. Timisella dari Fraksi Golkar, Xaverius.Kameubun dari Fraksi PKPI, dan Ketua serta pengurus LMA-PB, Pokja Adat, Pokja Perempuan MRP-PB, Kapolsek Kebar dan Danramil Koramil 1704-02 serta sejumlah tokoh dan masyarakat adat Mpur.
Saat prosesi adat penutupan operasional PT. BAPP juga di saksikan oleh pihak perusahaan, dimana terlihat dua orang perwakilan perusahaan bernama Edy dan Prayianto turut menyaksikan proses adat tersebut, dimana keduanya hanya bisa menyaksikan masyarakat adat yang merangsek ke dalam base camp perusahaan.
“Kami hargai hak ulayat adat, kami masih menunggu apa keputusan dari manajemen di kantor, termasuk juga bagaimana kebijakan dari pemerintah, khususnya dari Pak Gubernur Papua Barat karena kehadiran perusahaan di sini sesuai dengan izin dan keputusan Kementerian Kehutanan Nomor: SK.973/Menhut/Il/2014 Tentang Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi untuk Perkebunan Kelapa Sawit atas PT Bintuni Agro Prima Perkasa di kabupaten Tambrauw Papua Barat seluas kurang lebih 19.368,77 hektar tersebut”, kata keduanya menjelaskan.
Sumber Kutipan Wawancara : tifaonline.com
Sumber Data : JERAT Papua & Sumber Lainnya