Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Papua, sebelumnya, Kepala Rumah Sakit Umum Abepura, Jayapura, drg. Aloysius Giyai, M. Kes, miris. Persoalan bidang kesehatan di Papua masih terbengkalai. “Masalah dana selalu menjadi alasan klasik, ditambah lagi kondisi geografis, kultur, sosial dan ekonomi yang menantang,” kata Giyai.
Derajat kesehatan masyarakat kata dia, terus terpuruk. Angka kematian meningkat dan usia harapan hidup menurun. “Itulah sebabnya buku Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua lahir,” ujarnya lagi.
Buku Giyai mencoba memberi perspektif baru pengelolaan sektor kesehatan yang sederhana, revolusioner dan berkelanjutan. Buku setebal 467 halaman itu mengisahkan perjalanan hidupnya semasa kecil, hingga menjadi direktur di RS Abepura. Diterbitkan oleh PAKAR, Papua Pustaka Raya, November 2012.
Ia menjadi satu-satunya dokter asli Papua yang menuangkan gagasan dalam buku, serta berpikir bagaimana nasib orang asli Papua ke depan.
Giyai lahir di Kampung Onago, Kabupaten Deiyai, Papua, 8 September 1972. Ia adalah anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya Giyaibo Raimondus Giyai (alm) dan Ibu Yeimomau Albertha Yeimo (alm). Pria lulusan Magister Kesehatan Universitas Airlangga Surabaya 2002 ini, sejak 2009 menjabat sebagai direktur ke 13 RSUD Abepura. Karirnya menanjak setelah di 2014, Giyai dilantik menjadi Kepala Dinkes Papua.
Semasa menjabat sebagai direktur rumah sakit, suami dari Agustina Katoar AM.d.G itu juga terlibat aktif dalam berbagai organisasi. Diantaranya dosen pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih (FKM Uncen) Jayapura, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Pegunungan Tengah Papua dan Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Katolik Papua (ICAKAP).
Di masa kuliah, Giyai dikenal sebagai pria yang bermental baja. Ia juga sukses mengubah RSUD Abepura dan meraih 14 penghargaan di tiga tahun kepemimpinannya. “Saya dari dulu ikut organisasi, sejak masa sekolah, saya pernah menjadi ketua OSIS, ini buku pertama saya yang di buat dalam waktu sekitar satu setengah tahun.”
Giyai memiliki empat buah hati; Roland WR Giyai, Rolina AA Giyai, Romish Giyai dan Soshinta Giyai. “Saya membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan, saya juga menyisihkan tiap hari untuk menulis, saya tidak punya tempat praktek, buat apa buka praktek, karena hidup ini bukan hanya soal uang.”
Karirnya dalam dunia birokrasi memang tidak mulus. Ia merintis dari bawah sebagai Staf Puskesmas Hedam, Abepura (Pegawai Negeri Sipil), tahun 2002. Meski baru saja mengenal lingkungan birokrasi, ia telah dipercaya menjadi Koordinator Perencanaan Rumah Sakit Pendidikan Tipe B RSUD Dok II Jayapura, pada tahun 2003 – 2005. Di waktu yang sama, ia juga menjadi Ketua Pengelola Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) RSUD Dok II Jayapura. Pada akhir tahun 2005, Giyai dipindahtugaskan sebagai staf pada Dinas Kesehatan Kota Jayapura.
Karirnya berlanjut menjadi Kepala Seksi Puskesmas pada Subdin Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Jayapura di akhir 2005 hingga 2006. Pada pertengahan 2006, Giyai diangkat menjadi Kepala Sub Dinas Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Jayapura.
Di 2007, ia ditugaskan sebagai Kepala Puskesmas Perawatan Inap Koya Barat pada Dinkes Kota Jayapura. Selain PNS, Giyai juga memegang tugas lain sebagai Ketua Jurusan Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) atau Pejabat Kontrak pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Uncen, dari 2005 – 2007.
Kerjanya yang cekatan kemudian membawanya memegang jabatan sebagai Kepala Sub Dinas Kesehatan Keluarga pada Dinkes Kota Jayapura. Setahun setelah itu, ia non job alias tanpa jabatan. “Hanya menjadi staf biasa di Dinas, tidak ada tugas penting,” katanya.
Di 2009, tak disangka, ia kemudian dikukuhkan sebagai Direktur RSUD Abepura. “Ketika saya diangkat, banyak pihak menghina dan merendahkan, ada yang bilang: kamu itu tidak bisa kerja, Orang Papua susah pegang jabatan tinggi, ada juga: dokter gigi saja mau jadi Direktur, mana bisa, tapi saya menerima semua kritikan itu,” kata Giyai. Ia tak patah semangat. Meski diolok, Giyai menjalankan tugas dengan penuh tanggungjawab.
Menjadi Direktur pada rumah sakit besar, tidak mudah. ”Petugas dan PNS semuanya ada 650 orang, mereka punya karakter berbeda, disinilah tantangannya,” tukasnya.
RSUD Abepura kini menjadi barometer di Papua. Selain menerapkan layanan kesehatan gratis bagi orang asli Papua, RS ini juga memperoleh akreditasi khusus sebagai rumah sakit dengan layanan prima. “Pengelolaan limbah kita kelola dengan baik, tidak mencemari lingkungan. Ini rumah sakit milik semua orang Papua.”
Meski demikian, ia mengakui ada kekurangan yang mesti dibenahi. “Soal kebersihan rumah sakit, atau juga menyelaraskan tugas pokok dengan usaha mendekatkan diri pada masyarakat,” ujarnya.
Seluruh bagian ini telah dituangkan Giyai dalam bukunya. Ia menulis sejarah lahirnya RSUD Abepura, pelayanan ketika baru berdiri tahun 1946, kesulitan menghadapi pasien, hingga tudingan bahwa Otonomi Khusus pemicu kematian di Papua.
Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib memberi apresiasi atas buku Aloysius Giyai. Buku Giyai dipandang sebagai salah satu karya terbaik putera Papua. “Sangat mengharukan, namun berisi fakta, berbagai kesulitan bidang kesehatan dan usaha untuk mengatasinya, buku ‘Memutus Mata Rantai Kematian di Papua’ dapat menjadi referensi untuk banyak pihak,” katanya.
Menurut dia, gagasan Giyai bukan mimpi dan kosong. Usaha memutus mata rantai itu sudah dibuktikannya ketika memimpin rumah sakit Abepura. “Persoalan kesehatan di Papua ini sangat rumit dan kompleks, tingkat kematian begitu tinggi, dan ini semua diulas dalam buku tersebut,” ujarnya.
Ia berharap ada kebijakan pembangunan yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil. “Sehingga problem klasik kesehatan yang terus mengancam keberadaan orang Papua dapat diatasi, buku tersebut menuangkan banyak pikiran cerdas dan bermanfaat,” pungkasnya. (Jerry Omona/JERAT)