Bukan rahasia jika penyebaran guru di Indonesia masih belum merata, misalnya di Papua. Lalu, bagaimana cara mengatasi persoalan ini?

Pius Amo, merinding memikirkan hal tersebut. “Kami mengajar dengan guru yang terbatas, sudah berulang kali kami sampaikan kepada pemerintah, tapi tak pernah ada perhatian,” kata guru SD YPPK Yuruf, Distrik Ubrub, Keerom, itu.

Pius Amo bukanlah satu-satunya yang mengeluhkan lemahnya pemerintah mengatasi masalah pendidikan di Papua. Menurut dia, kekurangan pendidik menjadi salah satu alasan pembangunan khususnya di daerah terpencil, merosot.

Selain di Ubrub, di Terpones, Distrik Towe, Keerom, sejumlah oknum guru bahkan mangkir hingga berbulan-bulan. Guru disana dapat dengan mudah meninggalkan ruang kelas dan kabur menumpangi pesawat ke kota. “Anak-anak pikir, pak guru ke belakang, ternyata keluar kelas langsung naik pesawat,” kata warga. Sejak 2008, SD di Terpones tidak lagi beraktivitas.

Masih di Towe, tepatnya di kampung Towe Hitam, guru tak betah tinggal. Alasannya karena biaya hidup yang tinggi dan tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan. Guru juga berdalih, jika terlalu lama tinggal di kampung, mereka akan kehilangan kesempatan untuk naik pangkat atau kegiatan penjenjangan lainnya.

Mengantisipasi problem ini, sejumlah cara dilakukan oleh pihak sekolah. Misalnya dengan menggabungkan kelas atau membagi kelas pagi dan siang. Di Yuruf, Keerom, anak-anak bahkan diberdayakan menjadi asisten didepan kelas. Ada pula relawan yang setidaknya mengajar membaca, berhitung dan menulis.

Lain Keerom, lain lagi di Kabupaten Jayapura. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura Alpius Toam mengatakan, butuh sedikitnya 574 pengajar di tingkat Sekolah Dasar untuk memperkuat pendidikan di daerah itu. “Berdasarkan survei yang dilakukan, untuk mencapai angka ideal, maka dibutuhkan sebanyak itu guru SD,” kata Alpius.

Alpius menuturkan, kekurangan guru SD lebih banyak jika dibandingkan dengan SMP atau SMA. Menurut dia, langkah awal yang mesti dilaksanakan adalah dengan melakukan pendataan kembali jumlah sekolah hingga jumlah guru. “Setelah penempatan K2, maka kami akan mengangkat guru honor untuk memenuhi kebutuhan, namun tetap berkoordinasi dengan pemerintah daerah,” katanya lagi.

Dia menjelaskan, meskipun akan ada pengangkatan guru honor, pihaknya tetap selektif, yakni minimal berijazah Sarjana. “Walaupun untuk daerah-daerah terpencil, syarat ini tidak bisa terpenuhi, namun tetap akan diupayakan yang terbaik bagi pendidikan anak-anak di sana,” ujarnya.

Sementara itu, di Mimika, aktivitas belajar-mengajar di SMP Negeri Banti, Distrik Tembagapura, masih belum memadai lantaran terbatasnya pengasuh kelas.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP Negeri Banti, Sugiharto mengatakan, jumlah guru yang bertugas di sekolah itu hanya tujuh orang. “Lima guru PNS, sementara dua lainnya, honorer,” tutur Sugiharto.

Ia mengatakan terdapat lebih dari 50 siswa di SMP Banti. Mereka berasal dari kampung Waa, Banti, Kimbeli, Utikini Lama, dan Aroanop.

Menurut dia, tenaga yang dibutuhkan, khusus untuk menangani mata pelajaran Bahasa Inggris, Matematika, IPA, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, dan Prakarya.

Selain masih minimnya guru, Sugiharto juga mengeluhkan kurangnya dukungan para orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Pasalnya, selama ini anak-anak usia sekolah lebih memilih mengikuti orang tua mengais butiran emas di Kali Kabur (Sungai Aijkwa). Kali Kabur merupakan tempat penyaluran material tailing PT Freeport Indonesia dari wilayah dataran tinggi di Tembagapura menuju wilayah dataran rendah Mimika.

Di lain kesempatan, Bupati Mimika Eltinus Omaleng mengajak masyarakat Waa-Banti untuk mendukung keberlangsungan pendidikan di wilayah itu. Bupati Omaleng mengingatkan para orang tua agar tidak mengajak anak-anak mereka pergi mendulang butiran emas di Kali Kabur.

Ia juga menegaskan, bahwa gedung sekolah yang layak sudah tersedia di Banti, sehingga warga setempat mesti memanfaatkannya untuk mewujudkan mimpi anak-anak setempat. Fasilitas gedung SD dan SMP Negeri Banti, serta perumahan guru, dibangun seluruhnya oleh PT Freeport Indonesia.

Pemerintah Akui Kurang Guru
Kekurangan staf pengajar menjadi Pekerjaan Rumah terberat pemerintah Papua saat ini. “Ini ditambah lagi dengan, sebagian besar guru tinggalnya di kota. Sehingga, ketika siswa datang ke sekolah, gurunya tak ada,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua, Elias Wonda.

Dikatakan Elias, membantu minimnya guru tersebut, beberapa wilayah di Papua, seperti di Kabupaten Puncak Jaya, anggota Tentara Nasional Indonesia mengajar di dalam kelas.

Anggota TNI yang akan mengajar menerima sertifikat dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan olahraga Papua. Sebelumya, ada sebanyak 296 prajurit TNI Kodam XVII/Cenderawasih yang pernah menerima sertifikat itu.

Sertifikat diberikan karena ratusan prajurit ini telah melewati pelatihan selama 3 pekan di Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Cenderawasih Jayapura. Mereka akan bertugas sebagai guru untuk membantu kekurangan tenaga guru di pedalaman Papua. “Provinsi Papua sangat terbantu dengan para prajurit ini yang secara sukarela menjadi guru,” kata Kepala Bidang Mutu Pendidikan Dikpora Papua Marthen Puisi.

Dia menjelaskan, kekurangan tenaga guru hampir terjadi di 29 kabupaten/kota. Hal itu lantaran sejumlah guru hengkang dari tempatnya bertugas lantaran minimnya fasilitas. “Biasanya para pengajar meninggalkan tempat tugasnya karena sarana transportasi yang terbatas dan minim fasilitas pendukung, di antaranya perumahan guru dan fasilitas lainnya,” ujar Marthen.

Membantu kesulitan tenaga pendidik ini, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta juga mengambil inisiatif menjaring tenaga bantu untuk mengajar di Papua. Program tersebut digelar oleh Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK) Fisipol UGM dan Pokja Papua UGM Yogyakarta.

Pada tahun lalu, lowongan penerimaan formasi guru perintis ini dibuka untuk daerah terpencil. Tersedia 60 kuota yang ditempatkan di seluruh distrik di Kabupaten Puncak, Papua.

Kepala PPKK FISIPOL UGM Bambang Purwoko menyampaikan, program guru perintis itu sudah dimulai sejak 2013. UGM sendiri bahkan telah menerjunkan 33 guru perintis ke Papua. Penyelenggaraan program tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan guru di Kabupaten Puncak untuk mempercepat peningkatan akses pendidikan di wilayah tersebut.

Dia menyatakan program rekrutmen guru perintis ini terbuka untuk diikuti para sarjana kependidikan maupun sarjana non-kependidikan. Adapun bidang studi yang dibutuhkan adalah pendidikan anak usia dini, pendidikan guru sekolah dasar (PGSD), bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, fisika, kimia, biologi, ekonomi, komputer/TI, geografi, pendidikan jasmani, kesehatan dan olahraga, seni dan budaya, pertanian (agronomi dan agrobisnis), serta perkebunan. (dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *