JERATPAPUA.ORG, JAYAPURA – Hak perempuan Adat dalam Kebijakan Negera , menjadi sorotan Khusus serasehan hari kedua yang berlangsung di Kampung Donda Donda Distrik Waibhu.
Setiap sesi selalu diwarnai dengan saran dan usul oleh perempuan-perempuan Nusantara dari 7 Region yang hadir disitu, Hari Pertama ada dua sesi yang membahas tentang “Inisiatif Multi Pihak Dalam Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender” dan di hari kedua membahas tentang Perempuan Adat Adalah Pejuang Perubahan Sosial.
Sesuai dengan realita yang dialami, semua perempuan Se-Nusantara dalam Sarasehan dikampung Dondai, hampir menyampaikan hal yang sama, Perlakuan Kebijakan negara yang telah menghimpit hak perempuan adat dengan bentuk-bentuk kebijakan yang kurang memberi rasa nyaman.
Dihari pertama ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan utama dan yang menjadi Rekomendasih adalah Pendidikan untuk membentuk Karakter Anak usia dini, hal ini dinilai kurang mendapat perhatian serius dari negara, hampir rata-rata peran pendidikan bagi anak usia dini itu dimulai dari seorang perempuan yang selalu disebut Ibu. Sampai dengan tingkatan Paud juga peran perempuan Masi terus mendampingi, yang jadi pengajar juga seorang perempuan, pekerjaan mendidik seorang anak sejak usia dini, membentuk karakter mengenal huruf dan lain-lain tidak sebanding dengan penghargaan yang negara berikan, disini perempuan termarjinalkan, dan Masi banyak hal dihari pertama yang jadi Rekomendasih.
Hari kedua Peserta menyoroti status hutan adat yang berubah status menjadi hutan lindung, hal ini mengundang banyak peserta yang hadir angkat bicara, mereka menyampaikan fakta yang terjadi di daerahnya masing-masing, perlakuan dari kebijakan negara yang mengancam existensi masyarakat adat.
Jaisa, salah satu perempuan adat asal Massenrempulu kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan menyampaikan Perjuangan perempuan adat secara gigih terhadap, status hutan adat yang berubah fungsi jd hutan Lindung, ia mengajak semua perempuan Nusantara bahwa status sosial dimasyarakat peran perempuan sangat penting untuk masa depan Generasih yang mereka lahirkan.
Sebuah perjuangan panjang yang diperjuangkan perempuan-peremouan adat Enrekang Sulsel untuk memoertahankan hak-hak masyarakat adat disana, pengalaman mereka disampaikan kepada perempuan-perempuan Nusantara untuk berperan aktif dalam mempertahankan jatidiri masyarakat adat hingga mendapatkan jaminan berupa perda-perda dari pemerintah daerah untuk soal yang disoroti.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Mama Doliana Yakadewa, perwakilan Perempuan Aman dari region Papua, Wilayah adat Tabi komunitas Perempuan Adat Dafonsoro Utara, Mama Doly panggilan akrabnya dihadapan peserta Sarasehan menyampaikan dinamika yang terjadi di Kabupaten Jayapura, khsus Bagian Pantura.
Mama Dolyana menambahkan, Status Hutan Lindung perlu dikaji ulang, pemberlakuannya harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan aktifitas masyarakat adat, Status Hutan lindung di bagian Utara gunung Ciklop Membatasi Ruang Masyarakat adat untuk beraktifitas, namun secara diam-diam mulai mengexploitasih sumber data alam yang ada dengan berbagai bentuk kegiatan yang bertopeng kesejahteraan masyarakat.
Kami yang punya hutan, kami yang punya babi hutan, kami yang punya kayu besi untuk bangun rumah, kami punya semuanya, namun sekarang semua milik Cagar alam, pernyataan sinis disampaikan atas dinamika yang dirasakan, dengan nada sedih bercampur air mata, ia juga menyampaikan, kami hanya perempuan, secara tradisi budaya kami, dihadapan laki-laki kami tidak punya kapasitas bicara apalagi di rumah adat, Pada hal yang kami teriaki nasib Generasih kami nanti.
Semoga hal ini menjadi perhatian serius oleh negara, untuk memperbaiki semua ini, siapa bilang kami perempuan adat hanya melahirkan dan mengurus anak saja, lalu tidak berpikir masa depan anak.
Banyak hal yang menjadi Rekomendasih untuk dibahas pada tingkat lanjutannya KMAN VI ini, semua perempuan Nusantara hampir menyampaikan hal yang sama, Perlakuan Kebijakan Negara yang menghimpit perempuan Adat, sehingga ini jadi hal serius untuk di dorong dalam sidang pleno, termasuk perlakuan partai politik dalam memanfaatkan perempuan sebagai pelengkap kuota pencalonan legislatif. ( Nesta MC-KMAN VI )