Aparat Keamanan Polda Papua saat mengamankan Aksi Unjuk Rasa di Jayapura, foto : nesta/jeratpapua.orgAparat Keamanan Polda Papua saat mengamankan Aksi Unjuk Rasa di Jayapura, foto : nesta/jeratpapua.org

JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA – Hari HAM Sedunia 10 Desember 2023,  Aliansi Demokrasi Untuk Papua ALDP merilis 56 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sepajang tahun 2023 yang tidak pernah di selesaikan oleh Negera Republik Indonesia hingga saat ini .

 Periode  Januari hingga November 2023, AlDP  setidaknya ada setidaknya 56 (limapuluh enam) aksi kekerasan dan konflik bersenjata yang mengorbankan masyarakat sipil, aparat TNI, POLRI dan Kelompok bersenjata TPNPB.

Latifa Kuswariba Alhamid Staf ALDP mengungkapkan, dari 56 kasus tersebut, 12 diantaranya disertai dengan peristiwa pengrusakan sejumlah fasilitas publik, termasuk pesawat terbang, sekolah, bandara, kios dan kantor pemerintah.

“ Pada kasus tersebut, jumlah pengungsi makin bertambah secara signifikan, berasal dari masyarakat sipil OAP dan juga non-OAP. Mobilisasi pengungsi OAP yang jumlahnya sangat besar, tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah.” ungkap Latifa Alhamid pada siaran pers yang di sampaikan oleh ALDP peringati Hari HAM Sedunia 10 Desember 2023, minggu,(10/12/2023).

AIDP juga merilis data sejumlah kasus yang terjadi sepanjang tahun 2023 periode Januasi hingga Desember 2023 sebagai berikut :

Data Korban meninggal dunia:

  • Masyarakat sipil: 44 orang
  • TNI: 22 orang
  • POLRI: 5 orang
  • TPNPB: 10 orang

 Data korban Luka:

  • Masy sipil: 37 orang
  • TNI: 4 orang
  • POLRI: 22 orang
  • TPNPB: 5 orang

Di tambahkan wanita yang akrab di sapa caca  ini ,meluasnya korban dari masyarakat sipil dikarenakan ruang gerak dan ruang perang diantara Para Pihak (TNI/POLRI dan TPNPB) cenderung dilakukan diruang publik, tempat masyarakat sipil hidup, tinggal dan beraktifitas sehari- hari. Padahal di tempat-tempat terpencil seperti itu pada situasi yang tanpa perang sekalipun, mereka bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak-hak dasar.

“ Peristiwa penyiksaan(

torture) dan pembunuhan diluar hukum(extra judicial killing), stigma dan intimidasi yang sangat memilukan terhadap masyarakat biasa itu, terjadi di banyak peristiwa” tambahnya .

Sejumlah Perisitiwa penyiksaan dan pembunuhan pada peristiwa Sinakma 23 Pebruari 2023, kematian 2 ibu di Dekai tanggal 11 Oktober 2023, penyerangan terhadap para penambang illegal di Seradala Yahukimo tanggal 16 Oktober 2023 atau pekerja bangunan Puskesmas di Kepala Air Kab Puncak tanggal 19 Oktober 2023. Mereka menjadi target untuk melampiaskan dendam, kemarahan dan kekecewaan. Mereka mengalami penderitaan luar biasa sebelum akhirnya meninggal dunia. Juga menyimpan trauma bagi yang selamat termasuk keluarga mereka. Rangkaian tragedi kemanusiaan ini mengoyak-ngoyak akal sehat dan hati nurani kita.

Meskipun pemerintah telah berulang kali menyampaikan strategi pendekatan keamanan dengan menggunakan bahasa atau istilah yang berbeda-beda namun pada praktiknya masyarakat masih menjadi sasaran intimidasi dan represi secara berulang. Dalam 3 tahun ini yakni sejak November 2021 hingga November 2023 telah terjadi 3 kali pergantian panglima TNI namun upaya negara untuk menghentikan kekerasan dan konflik bersenjata belum berhasil dilakukan.

Disis lain Staf AIDP ini beranggapan bahwa Pemerintah gencar menawarkan penyelesaian pelanggaran HAM melalui mekanisme non judisial untuk peristiwa Wasior 2001 dan peristiwa Wamena 2003 kebijakan ini dapat dimaknai sebagai strategi negara untuk membungkam hak korban dan makin melanggengkan impunitas.

“ Tidak ada keadilan bagi korban karena tanpa ada pengakuan dan permintaan maaf dari pelaku.”katanya.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi versi Papua sebagai salah satu langkah transitional justice masih belum mampu dihadirkan. Selain itu, meski pemerintah telah menggelar sidang pelanggaran HAM kasus Paniai 2014 dan telah diputus ditingkat pertama diakhir 2022 namun hingga akhir tahun 2023 belum memberikan keadilan bagi para korban karena meski diakui sebagai peristiwa pelanggaran HAM namun tidak ada yang pihak dihukum bahkan pengadilan tingkat selanjutnya yakni kasasi masih tertunda hingga akhir 2023.

Diawal tahun  2023 kita dikejutkan pada peristiwa penyanderaan terhadap seorang pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens berkebangsaan New Zealand. Peristiwa ini menunjukkan hilangnya perlindungan dan jaminan keselamatan bagi pelayan publik di tempat-tempat terpencil. Demikian juga dengan berlarutnya upaya pembebasan pilot, menunjukkan kelemahan diplomasi dan upaya negara dalam membangun simpul-simpul komunikasi di masyarakat sipil. Kita berharap upaya pembebasan pilot tidak menimbulkan tragedi yang memilukan bagi masyarakat sipil dan juga pilot itu sendiri. Demi alasan kemanusiaan, kita mendesak pilot dibebaskan dalam keadaan selamat.

Eskploitasi sumber daya alam

Eskplotasi  menggunakan serupa taktik kolonial, di satu sisi membuat jargon-jargon perlindungan hak masyarakat adat namun disisi lain makin gencar merampas hak ulayat masyarakat adat. Masyarakat adat tidak diberikan ruang yang bebas dan edukasi yang cukup untuk menentukan pilihan mereka. Institusi mereka dilemahkan. Pembayaran ganti rugi yang tidak proporsional serta masih diabaikannya hak-hak ulayat laut dan hak masyarakat pesisir pdahal sejumlah investasi dan pembangunan inftrastruktur telah mengambil hak ulayat laut masyarakat adat.

Di belahan dunia manapun dalam perspektif hukum dan etis(moral), masyarakat sipil haruslah diperlakukan adil dan setara. Apapun kepentingan politik yang dianut (ideologi ataupun politik lokal) oleh negara atau kelompok tertentu harus dapat melindungi minoritas (karena agama dan suku atau minoritas dari aspek sumber daya ekonomi, sosial dan kemampuan melindungi diri) dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Maka kekerasan yang mengorbankan masyarakat sipil karena kepentingan politik yang berbeda merupakan kejahatan HAM yang sangat serius dan tidak dapat ditolelir, siapapun pelakunya apakah atas nama negara ataukah atas nama kelompok tertentu.

Persiden Jokowi telah belasan kali berrkunjung ke Papua namun kunjungan presiden Jokowi tidak memberikan perubahan signifikan untuk perlindungan dan penegakan HAM karena hanya berfokus pada aspek pembangunan infrastruktur. Adapun persoalan dasar kemanusiaan yakni ketidakadilan hukum, ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan sosial, gagal diwujudkan. Ironisnya lagi, perubahan dan kemegahan infrastruktur yang dibangun tidak membantu meningkatkan kualitas hak-hak dasar seperti Pendidikan, kesehatan dan angka harapan hidup sebagaimana ditunjukkan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua karena nyatanya tidak pernah bergerak naik melampaui provinsi lainnya di Indonesia.

Pemekaran

Pemekaran Provinsi di tanah Papua yang dilakukan di tahun 2022, berimplikasi pada memburuknya kohesi budaya dan kohensi sosial diantara OAP. Pemahaman kepapuaan dipersempit dengan batasan administrasi pemerintahan dan perebutan jabatan politik lokal, padahal hingga saat ini, kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh OAP masih tetap sama, di provinsi manapun mereka berada. Sementara tanggungjawab negara untuk memakmurkan rakyatnya di setiap kabupaten kota dan provinsi masih belum nampak. Pemerintah dan partai politik masih sibuk memperebutkan posisi ‘caretaker/pejabat/penjabat’ yang akan berkuasa dipucuk pemerintahan di kabupaten/kota dan provinsi. Termasuk ketika pejabat di provinsi baru, memulai pekerjaan dengan mendata dan mengkaji ulang permasalahan daerah padahal permasalahan tersebut sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya, sambil membangun relasi agar tidak terjadi penolakan bahkan mendapat dukungan untuk periode berikutnya.

Konflik horizontal diantara masyarakat sipil berpotensi terus meningkat dengan menggunakan simbol-simbol suku, Ras, agama dan golongan, tidak saja terjadi di Papua tetapi juga di luar Papua. Isu SARA dipakai untuk mempertentangkan pandangan politik serta perebutan sumber daya di pemerintahan. Konflik antara OAP dengan negara atau pihak TNI/POLRI berpotensi pada konflik horizontal diantara masyarakat sipil. Apalagi ketika aparat penegak hukum, tidak mampu merespon dengan tepat pada peristiwa awal. Konflik dipicu karena gagalnya aparat penegak hukum menangani masalah awal yang diduga melibatkan masyarakat setempat sehingga meluas dan berimplikasi pada kelompok lainnya. Hingga korban jiwa dan harta benda. Misalnya pada peristiwa Dogiyai yang terjadi berulang kali dengan pola yang sama di tahun 2023, yakni pada 21 Januari 2023, 13 Juli 2023 atau 7 November 2023. Juga pola yang sama terjadi di beberapa tempat lainnya, seperti peristiwa Sinakma 23 Pebruari 2023. (siaran pers)

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *