Hutan Indonesia. Telah banyak orang tahu hutan tropis di gugusan Jamrud Khatulistiwa itu indah nan mempesona. Tak heran, dunia menyatakan hutan di Indonesia sebagai paru-paru dunia. Ibarat tubuh manusia, paru-paru memang sebuah organ penting. Tanpanya, manusia tak bisa bernapas, alhasil mati.
Namun, yang terjadi, hutan Indonesia terus mengecil akibat illegal logging atau pembalakan liar. Lembaga Investigasi Lingkungan (EIA) yang berbasis di London, Inggris dan Telapak di Indonesia menyebutkan penjarahan kayu berlangsung tanpa tedeng aling-aling. Selain merusak lingkungan, penebangan liar telah menjadi kanker ganas yang menggerogoti kekayaan negara.
Saban tahun, Indonesia kehilangan 2 juta hektare hutan. Ini artinya, dalam setiap menit hutan Indonesia berkurang enam kali luas lapangan sepakbola akibat penebangan liar di berbagai kawasan, seperti Kalimantan, Sumatra, dan Papua. Akibatnya, negara merugi hingga Rp 30 triliun per tahun.
Upaya hukum untuk menjerat para perampok hutan bukannya tak ada. Bahkan, pemerintah juga membentuk tim-tim khusus untuk memberantas illegal logging. Namun, penggundulan hutan toh terus berlangsung dan melibatkan sindikat internasional. Para cukong juga tak jarang melibatkan oknum pejabat kehutanan, bea cukai, TNI, polisi, hingga politisi. Tangan penegak hukum seolah tak bisa menjangkau para taipan kayu tersebut.
Salah satu hutan yang tengah diperhatikan pemerintah lantaran tingginya illegal logging adalah hutan di kawasan Papua. Saat ini, hutan Papua sudah berubah. Banyak bopeng di sana-sini lantaran ditebangi serampangan. Penebangan liar di hutan kawasan paling timur Indonesia ini berlangsung tak kenal siang atau malam. Raung gergaji terus mencukur hutan. Akibatnya, seperempat dari sekitar 40 juta hektare rimba Papua telah rusak.
Menurut EIA dan Telapak dalam laporan terbarunya yang bertajuk Last Frontier, sekitar 300 ribu meter kubik kayu merbau gelondongan asal Papua diselundupkan ke Cina setiap bulan. Kayu merbau memang menjadi sasaran utama pembalakan liar di Papua. Sebab merbau adalah salah satu kayu yang paling berharga dan diminati dari Asia Tenggara karena kekuatan dan daya tahannya. Kayu berwarna gelap ini sering digunakan untuk membangun bangunan-bangunan mewah, lantai, dan perabotan luar ruangan (outdoor furniture). Masyarakat Papua mengenal kayu jenis ini dengan nama kwila. Kayu ini tumbuh subur di tanah adat masyarakat Knasaimos di Seremuk, sebuah daerah terpencil di selatan pelabuhan Kota Sorong, Papua.
Modus yang sering dijalankan adalah dengan merangkul masyarakat setempat untuk menebang pohon tanpa disertai dokumen sah. Perusahaan besar mengupah penduduk untuk membabat setiap jengkal hutan yang selama ini menjadi “ibu” bagi masyarakat setempat. Warga juga diiming-imingi dengan janji-janji surga, seperti membangun perkampungan, tempat ibadah, dan fasilitas lainnya.
Janji tinggal janji. Meski hutannya dijarah, masyarakat Papua seperti tak mendapat bagian apa-apa. Tim Sigi menemukan penduduk setempat hanya mendapat sekitar Rp 90 ribu untuk setiap meter kubik kayu merbau. Padahal, di tangan eksportir, kayu khas Papua itu berharga Rp 2,5 juta per meter kubik.
Dari kerapatan hutan, penelusuran Tim Sigi SCTV bergerak menuju Pulau Daram, Papua. Di pulau itu, terbongkar kasus penyelundupan kayu paling menghebohkan pada akhir 2003. Kapal Bravery Falcon yang dinakhodai Ngo Van Toan ditangkap saat hendak mengirim 17 ribu meter kubik lebih kayu merbau asal Papua. Padahal berdasarkan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), kapal ini hanya diperbolehkan mengangkut 3.800 meter kubik kayu.
Belakangan, nakhoda kapal yang berkewarganegaraan Vietnam itu divonis dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Tapi pemilik kayu dan agennya tak tersentuh hukum.
Penyelundupan kayu merbau nyaris selalu mulus karena melibatkan banyak agen dan pebisnis berkantong tebal. Ini karena mereka sanggup membayar uang pelicin dalam jumlah sangat besar. EIA dan Telapak bahkan menyebut sindikat perdagangan kayu mampu menyetor sekitar Rp 1,8 miliar untuk melicinkan bisnis mereka.
Dari bumi Papua, sebagian kayu merbau gelondongan hasil rampokan itu ditujukan ke Pelabuhan Zhangjiagang di dekat Shanghai, Cina. Pengapalan kayu berkualitas terbaik ini berlangsung mulus karena menggunakan legalisasi dokumen “asli tapi palsu” dari Malaysia. Di pelabuhan ini, semua kayu merbau berdokumen Malaysia. Padahal, pada kenyataannya, hampir semua kayu itu dikirim dari Papua.
Di pelabuhan Zhangjiagang terlihat menumpuk kayu-kayu log merbau berdiameter lebih dari 100 sentimeter dengan umur sekitar 100 tahun. Kondisi ini sangat janggal lantaran sejak empat tahun silam, pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan ekspor kayu gelondongan. Bahkan setahun kemudian, Indonesia dan Cina meneken surat perjanjian bersama, Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) regional, untuk bekerja sama memerangi illegal logging. Tapi sampai kini, Negeri Tirai Bambu diyakini masih menerima 300 ribu meter kubik kayu merbau gelondongan setiap bulan.
Dari Zhangjiagang, kayu-kayu mahal ini dikirim ke Nanxun untuk disulap menjadi lantai kayu atau flooring oleh sekitar 500 pabrik pengolah kayu. Sampai ke konsumen di Washington DC, Amerika Serikat, lantai berbahan kayu merbau ini dibandrol US$ 77 atau sekitar Rp 700 ribu.
Masalah penebangan liar, khusus di wilayah Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk operasi terpadu yang melibatkan unsur TNI, polisi, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, dan Imigrasi. Bertindak sebagai kepala pelaksana harian operasi ini adalah Komisaris Jenderal Polisi Ismerda Lebang. Operasi bernama Operasi Hutan Lestari II ini kemudian menetapkan 47 orang sebagai tersangka. Tujuh di antaranya telah ditahan termasuk para cukong asal Malaysia dan sejumlah pejabat.
Di antara para tahanan, terdapat Asoy alias Rudi Hendro yang disebut-sebut sebagai juragan besar. Seorang lainnya adalah warga negara Malaysia, yakni Tan Tung Khong, General Manager PT Wapoga Mutiara. Sementara belasan nama lain seperti Wong Siong Ki, Tan Sing Hik, Wong Shi Ming, dan sederet cukong asal Malaysia masih buron.
Terdapat pula nama pejabat antara lain Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Marthen Kayoi, Bupati Sorong John Oiet Wanane, Wakil Kepala Subdetasemen Polisi Militer Teminabuan, Sorong Selatan, Kapten CPM Kaspar Uhoiwirin, dan Kepala Dinas Kehutanan Irianjaya Barat(Papua Barat) Marthen Luther Rumadas.
Kepada Tim Sigi, Rumadas mengaku telah mengeluarkan Izin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA) seluas seribu hektare lebih. Tapi, tindakannya itu dilakukan sesuai keputusan Gubernur Papua tahun 2002. Pundi-pundi uang pun dialirkan ke rekening pemerintah atas nama Menteri Kehutanan.
Operasi Hutan Lestari II yang berdana Rp 12 miliar ini juga menuai kritik tajam. Bahkan, protes turut datang dari sejumlah kepala adat di Papua. Mereka menganggap operasi ini hanya menyentuh warga dan pejabat asli Papua. Sedangkan aparat dan pejabat dari luar Papua sama sekali tak tersentuh.
Di lapangan, petugas Operasi Hutan Lestari II tak jarang hanya menemui kayu-kayu. Sementara para pembalak liar telah kabur sebelum aparat bergerak ke lapangan.
Meski begitu, kerja Tim Operasi Hutan Lestari II bukan tanpa hasil. Selain menetapkan 47 tersangka, tim ini menyita lebih dari 200 ribu batang kayu bulat dan olahan, serta sejumlah alat berat yang dipakai para penjarah hutan Papua. Mereka juga meringkus tongkang yang tengah mengangkut lebih dari 639 batang kayu merbau tanpa dokumen sah.
Di Tanah Air, Operasi Hutan Lestari II ikut mempengaruhi bisnis kayu dalam negeri. Untuk Pulau Jawa, pasokan kayu berkurang drastis sejak operasi digelar. Kayu-kayu untuk industri furnitur dan perumahan tak hanya melonjak harganya, tapi juga seolah hilang dari pasar. Kayu jati olahan misalnya, naik dari harga lama sekitar Rp 1,5 juta menjadi Rp 1,9 juta per meter kubik.
Sejak pemberantasan penebangan liar dilakukan, jumlah kapal yang berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, berkurang drastis. Bahkan, lahan penumpukan kayu pernah nyaris kosong. Padahal, dalam keadaan normal, jumlah bongkar muat kayu di pelabuhan yang sudah dikenal sejak abad ke-12 ini bisa mencapai 30 ribu meter kubik per bulan. Kondisi ini menyebabkan kayu-kayu hutan menjadi barang langka di berbagai pasar kayu di Jakarta. Kalaupun ada, harganya melonjak hingga 30 persen dari harga normal.
Kondisi ini kemungkinan dipicu dua hal. Pertama, kayu susah masuk ke Pulau Jawa karena razia perdagangan kayu ilegal sedang semangat-semangatnya. Data Forest Watch Indonesia memang menyebutkan bahwa lebih dari separuh konsumsi kayu domestik disumbang dari pembalakan liar. Kemungkinan kedua adalah munculnya permainan dagang dengan memanfaatkan isu tersebut untuk membangun citra buruk bahwa operasi penertiban pembalakan liar merugikan konsumen kayu. Maklum, kayu legal jauh lebih mahal ketimbang harga kayu tak resmi.
Mungkin bagi para pedagang kayu dan furnitur di Jakarta dan beberapa kota lain di Tanah Air, saat ini adalah saat yang buruk bagi bisnis mereka. Solusinya tak ada yang lain kecuali menaikkan harga barang dagangan. Pil pahit ini agaknya harus ditelan untuk menyelamatkan hutan alam Indonesia. Agar generasi mendatang tak kecewa dan menatap rimba yang dulu perkasa hanya tinggal cerita pengantar lelap si buyung, persis yang disuarakan penyanyi legendaris Iwan Fals dalam lagu “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”.
Sumber : Liputan6.Com