JERATPAPUA – Rapat Evaluasi Tahunan Jaringan Kerja Rakyat Papua (JERAT) yang berlangsung selama 31 – 2 februari 2017, menghadirkan 19 perwakilan masyarakat adat dari 7 wilayah adat Papua. Bertempat di Susteran Maranatha Waena, persoalan perampasan tanah menjadi point penting yang direkomendasikan untuk dikerjakan. 

Persoalan Perampasan Tanah di Papua dipandang sangat krusial. Hal ini diutarakan oleh Septer Manufandu, bahwa “Tanah Papua yang terdiri dari Provinsi Papua dan Papua Barat, dengan total luasan adalah 42.198.100 hektar. Hutan provinsi Papua dan Papua Barat, telah dipetakan berdasarkan fungsinya sejak masa orde baru (1966 – 1998). Dibagi dalam hutan cagar alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang di konversi dan areal penggunaan lain” papar Septer dalam presentasenya. 

Kebijakan Pemerintah pusat tentang pemekaran baik provinsi dan kabupaten sangat mempengaruhi eksistensi penyelamatan hutan tropis di tanah Papua dan memberikan indikasi kuat bahwa pemekaran kabupaten dan provinsi mempunyai hubungan dengan eksploitasi sumber daya alam.

Dijelaskan dalam prentasenya “kondisi ini, mendorong kehadiran perusahaan untuk eksploitasi sumber daya alam (SDA). Sebut saja kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua Barat karena sebagai provinsi yang baru dimekarkan membutuhkan dana operasional untuk menjalankan pemerintahan terutama dalam konsolidasi birokrasinya dan penataan administrasi. Bahkan dana operasional Pemerintahan Provinsi Papua Barat dalam kurun waktu 2003-2007, merupakan kontribusi dari perusahaan-perusahaan HPH, Perkebunan, Perikanan dan LNG Tangguh di wilayah administrasi Papua Barat” pungkas Septer yang juga sebagai Sekretaris Eksekutif JERAT Papua.

Setelah ada revisi terhadap Undang-undang Otonomi Khusus melalui Undang-undang nomor 35 tahun 2008, lanjut Septer “Revisi Otsus untuk mengakomodir dan mengubah nama Provinsi Irian Jaya Barat menjadi Provinsi Papua Barat, barulah provinsi ini secara hukum sah mendapatkan dana otonomi khusus dari pemerintah Pusat”.

“Pembagian kawasan hutan ini baik di propinsi Papua dan Papua Barat dimana pemerintah menggunakan kewenangan dan kekuasaannya sebagai organisasi tertinggi untuk menentukan dan menetapkan kawasan-kawasan  tersebut tanpa melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk menentukan batas-batas tersebut” tutupnya.

Masalah perampasan tanah ini juga dikeluhkan oleh perwakilan masyarakat adat yang hadir dari kabupaten Keerom, Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Sarmi, Waropen, Supiori, Biak Numfor, Yapen, Sorong, Sorong Selatan, Fak-fak, Teluk Bintuni, Yahukimo, Merauke, Bovendigul dan beberapa lembaga pendampingan masyarakat adat lainnya yang hadir pada kegiatan ini.

Dari catatan hasil diskusi JERAT Papua dan masyarakat adata yang hadir, bahwa setelah tanah dan hutan di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, sudah tidak ada tempat lagi untuk memperluas investasi para pemodal, kini tanah Papua menjadi incaran dan sasaran proyek-proyek akumulasi modal.

Juga pengalaman yang diambil semenjak era rezim Soeharto hingga rezim pemerintah Joko Widodo, pemerintah aktif mengeluarkan izin-izin penguasaan dan pemanfaatan hasil hutan dan tanah  di Papua, yang diberikan kepada segelintir perusahaan nasional dan transnasional untuk ekstraksi hasil hutan kayu, perkebunan skala luas dan pertambangan.

Praktiknya, pemberian hak dan izin pemanfaatan tersebut dilakukan tanpa ada konsultasi dan persetujuan masyarakat, terjadi perampasan hak, pelanggaran HAM dan kekerasan, intimidasi, mengalami diskriminasi, manipulasi, kerusakan lingkungan dan deforestasi yang luas.

Masyarakat kehilangan sumber mata pencaharian dan mendapat gaji buruh murah, kompensasi tidak adil, kehilangan dan kesulitan mengakses sumber pangan yang sehat, terjadi malapetaka banjir dan busung lapar, mereka kehilangan sumber obat-obatan dan identitas kebudayaan. Kehidupan orang asli Papua yang berdiam disekitar proyek semakin sulit, miskin dan terancam punah.(*)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *