Kondisi Kota Mulia di Puncak Jaya. Warga beraktifitas seperti biasa, tak peduli dengan kekerasan di daerah itu. Foto. Jerry Omona
Kondisi Kota Mulia di Puncak Jaya. Warga beraktifitas seperti biasa, tak peduli dengan kekerasan di daerah itu. Foto. Jerry Omona

Kabut sisa semalam masih menggantung di kejauhan ketika Twin Otter Trigana Air dari Sentani, Jayapura menapaki bandara Mulia, Puncak Jaya. Saya tiba dengan selamat.

Sejauh mata memandang, Kota Mulia nampak adem ayem. Sepertinya tak pernah ada konflik di wilayah ini. “Tapi itu dulu,” ujar Esina, warga Mulia. “Yang ada saat ini adalah rasa trauma,” Derina (samaran) menyambung. Derina adalah saksi dari penyiksaan tentara terhadap warga sipil di Gurage, sebuah kampung kecil di Tingginambut.

Derina menyaksikan kekejaman TNI pada puluhan sipil di Gurage sepanjang pertengahan 2010. Sebagai saksi kunci, ia kerap bersembunyi dari pantauan aparat. Ia sudah pernah merasakan tinggal di hutan dan melarikan diri dari kampung ke kampung.

Konflik berkepanjangan di Puncak Jaya tak pernah usai. Sejak enam tahun belakangan, kontak senjata telah menewaskan puluhan anggota kelompok Organisasi Papua Merdeka dan TNI. Pertikaian keduanya menjadikan rakyat sebagai korban.

Dalam sebuah peristiwa, kelompok bersenjata menyerang Pos Polisi Tingginambut, di Distrik Tingginambut, 8 Januari 2009. Dalam penyerangan itu, empat Pucuk Senpi Laras Panjang dengan 61 butir  peluru dirampas. Ivana Helan (21 tahun), istri anggota Pos Pol, Bripda Yan Pieter Aer, terluka kena tikam di dada.

Dipertengahan Januari 2009, kelompok bersenjata kembali menghadang anggota Brimob yang sedang menuju Mulia. Dalam peristiwa itu, seorang anggota OPM, Yendenak Wonda, tertembak. Insiden itu menewaskan Wenda Muli dan melukai Yembinas Murib.

Dibagian lain, kelompok bersenjata di Distrik Tingginambut, juga membakar Bendera Merah Putih. Pembakaran di akhir Februari 2009 itu terjadi di atas gunung, berjarak sekitar 500 meter dari Pos Polisi dan Kantor Distrik Tingginambut. Beberapa hari setelahnya, kelompok bersenjata lagi-lagi menembak sebuah kendaraan dalam perjalanan dari Mulia menuju Wamena. Penumpang mobil L200 DS 8800 GA bernama Andreas terluka di telinga.

Berbagai kisah penembakan OPM, terus berlanjut hingga pertengahan 2014.

Igani Murib (60 tahun) berujar, sebelum Puncak Jaya dimekarkan, penyiksaan terhadap warga sipil hampir tak pernah ada. “Kita jadi trauma.” Igani berpuluh tahun hidup dalam tekanan tentara. Ia sesepuh Suku Lani di Gurage, Tingginambut.

***

S
Kondisi Kota Mulia di Puncak Jaya. Warga beraktifitas seperti biasa, tak peduli dengan kekerasan di daerah itu. Foto. Jerry Omona

Puncak Jaya berada di ketinggian dengan luas sekitar 6.477 kilo meter. Ibukotanya Mulia, sebuah kota Distrik yang ramai oleh pendatang. Sebagian besar kabupaten ini dihubungkan oleh angkutan udara dari Sentani (Jayapura), Nabire, dan Wamena. Armada penerbangan komersial yang melayani Kabupaten Puncak Jaya antara lain Trigana Air Service. Untuk ke wilayah pedalaman seperti Tingginambut dari Kota Mulia, dapat menggunakan roda empat. Sarana transportasi udara dan darat sangat membantu distribusi barang kebutuhan pokok di wilayah itu yang tidak dapat diperoleh di Puncak Jaya.

Puncak Jaya terdiri dari 8 distrik; Fawi, Mulia, Mewoluk, Yamo, Ilu, Torere, Jigonikme dan Tingginambut. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Puncak Jaya sebanyak 101.906 jiwa. Dari hasil SP2010 tersebut, tampak bahwa penyebaran masih bertumpu di sekitar Mulia dengan 22,62 persen, Tingginambut 23,91, Ilu 18,15, Yamo 12, 76 persen, sementara distrik lainnya dibawah 8 persen. Distrik yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Tingginambut, 40 orang per kilo meter persegi. Sedangkan paling rendah yakni Distrik Fawi, 1 orang per kilo meter persegi.

Puncak Jaya dimekarkan dari Dati II Paniai berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1996 pada tanggal 13 Agustus 1996. HUT Puncak Jaya sendiri dilaksanakan tiap tanggal 8 Oktober. Saat itu, Mendagri M. Yogi pada 8 Oktober 1996 melantik Drs. Ruben Ambrauw sebagai Bupati pertama Kabupaten Puncak Jaya.

***

 

Kondisi Kota Mulia di Puncak Jaya. Warga beraktifitas seperti biasa, tak peduli dengan kekerasan di daerah itu. Foto. Jerry Omona
Kondisi Kota Mulia di Puncak Jaya. Warga beraktifitas seperti biasa, tak peduli dengan kekerasan di daerah itu. Foto. Jerry Omona

Meski Puncak Jaya telah ramai setelah dimekarkan, namun intensitas konflik masih mewabah. OPM dituding sebagai pelaku utama kekerasan di daerah itu. Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) di Puncak Jaya dipimpin oleh Goliat Tabuni. Pengikutnya menyebut sang jenderal sebagai ”Panglima Tertinggi”.

Markas pasti kelompok ini tidak diketahui. Kerap berpindah, dan sulit didekati. Kelompok tersebut memiliki belasan pucuk senjata api berbagai jenis, juga alat perang tradisional.

Dulu, ketika menginjakan kaki di bandara Mulia, dapat langsung diketahui bahwa Puncak Jaya merupakan wilayah rawan. Terlihat misalnya dari sebuah pengumuman yang dipasang di sebuah pos di pinggir bandara Mulia, berisi ‘Mereka yang Dicari’.  Foto-foto OPM ditunjukkan dengan jelas. Jika seorang diantaranya telah ditembak mati, maka, fotonya akan diberi silang berwarna merah.

Puncak Jaya masih belum sepi. Untuk beberapa saat, wilayah itu akan aman dari gempuran separatis dan kekerasan TNI. Namun, tak lama kemudian, penembakan bakal terulang lagi. Hingga hari ini, TNI terus memburu pihak bersenjata. Tapi ada daya, pengejaran itu sia-sia. Alam masih melindungi mereka yang berjuang demi harkat dan martabat.

(Jerry Omona/JERAT)

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *