Indahnya sebuah perjalanan yang melelahkan dari Kota Sorong menuju Sausapor, pusat kota kabupaten Tambrauw di Papua Barat. Hutan Belantara Tanah Papua pun tampak menghijau nan indah menawan hati.
Hari itu, 2 Juni 2014. Kami melakukan sebuah perjalanan dari Sorong ke Sausapor yang menjadi pusat kota Tambrauw untuk sementara waktu. Kami menempuh jarak sekitar 150 km dengan kendaraan roda empat selama 6 jam perjalanan. Setengah jalannya dari kabupaten Sorong sudah beraspal dan selanjutnya jalan berlumpur di antara tebing-tebing terjal yang menantang. Hanya jenis kendaraan hilux, hardtop dan landcruiser yang bisa menaklukkan perjalanan ini, tapi memang membutuhkan driver yang bernyali besar dan lincah.
Awas jurang….!! Hmmm persis di tikungan lagi. Spidometer menari-nari di antara 80 dan 100, kadang-kadang melambung ke 120 dan menurun ke 60. Rombongan dalam landcruiser itu ada 3 orang dari Jakarta dan 4 orang dari Manokwari diantaranya 2 orang dari Yayasan PUSAKA Jakarta, 1 orang dari HuMA Jakarta, 1 orang dari JASOIL Tanah Papua Manokwari dan 3 orang dari Yayasan Paradisea Manokwari. Adapun tujuan perjalanan ini yakni untuk menghadiri dan memfasilitasi sebuah Focus Group Discussion terkait Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat dan Hak-haknya atas tanah dan hutan di kabupaten Tambrauw.
Kegiatan yang terselenggara atas kerjasama LSM dan Pemerintah Daerah kabupaten Tambrauw yang mempunyai misi untuk menjadikan wilayah ini sebagai kabupaten konservasi di Papua Barat. Sehingga walaupun jalan penuh lika-liku dan sangat menantang, tapi tim dari LSM ini berani bertaruh nyali demi memenuhi inisiatif dan undangan pemerintah daerah bersama komunitas-komunitas masyarakat adat setempat. Indahnya perjalanan ini. Hutan alam terbentang luas bagai permadani seakan menceritakan kisahnya sendiri. Sedangkan laut tampak tenang membisu. Sausapor masih sangat jauh ke depan. Kaca mobil dibiarkan terbuka. Udara yang bersih dan sejuk, terasa menjadi teman perjalanan setelah melepas debu dan panas terik kota Sorong. Dari atas gunung-gunung yang tinggi menjulang itu, tampak di sana lautan saumudera pasifik yang membentang luas, tampak tenang menghanyutkan. Indah nian di sore hari yang cerah itu. Kabut tebal pun seakan enggan meninggalkan gunung-gunung yang tampak menggoda dengan panorama hijaunya. Jembatan-jembatan sepanjang jalan masih tampak baru, semua masih dalam proses pembangunan. Jalan darat yang dahulu tidak ada itu, kini mempermudah akses masyarakat dari kota Sorong maupun Sausapor.
Dulu memang hanya mengandalkan jalur laut dengan kapal-kapal perintis (ferry), tapi sekarang jalan darat sudah terbuka. Isolasi daerah itu pun sudah terbuka. Roda mobil pun tetap melaju menuju Sausapor dengan iringan music lagu khas Papua, “Tanahku Papua” yang tak tergantikan selama perjalanan panjang itu. Keindahan alam merupakan daya tarik tersendiri. Pohon-pohon besar yang masih tinggi menjulang itu pun tampak meneteskan embun, meski di siang hari. Kabut masih tampak menyelimuti tubuh gunung-gunung. Indah nan menawan. Para pekerja jalan raya pun dijumpai tampak sibuk. Pada umumnya mereka orang-orang dari luar pulau Papua yang datang mencari pekerjaan di Tanah Papua. Beberapa deretan basecamp para pekerja jalan raya itu tampak padat. Hujan deras sekali pun tak mengusik semangat mereka. Di sepanjang perjalanan itu, pemandangan yang tak terlewatkan juga adalah tumpukan kayu merbau dengan ukuran balak maupun papan pun seakan ikut menghiasi pinggir kiri dan kanan jalan raya. Kayu-kayu gergajian dengan ukuran balak 10 x 20 cm, 20 x 20 cm, 20 x 30 cm dan 20 x 40 cm yang merupakan ukuran ideal kayu eksport. Tiga orang tenaga penarik kayu dari tengah hutan itu pun tampak sibuk mengatur kayu hasil pikulannya. Mereka menggunakan sepeda motor yang rangkanya sudah dimodifikasi bentuknya dari besi 14 dan besi 16. Motor ini merupakan modal pikul bagi anak-anak yang masih sangat muda di tengah hutan ini.
Dalam sehari hasil pikulan mereka bisa mencapai enam (6) meter kubik. Kayu ditumpuk saja di pinggir jalan, nanti sang pemiliknya yang akan mengambil dan membawanya ke tempat penampungan atau ke industry kayu di kota sorong untuk selanjutnya dikirim keluar dari Tanah Papua. Namun, mereka sendiri tidak tahu siapa pemilik kayu yang sebenarnya. Mereka hanya tahu bahwa kayu-kayu ini ditebang jauh dari pinggir jalan raya. Apakah kayu dipikul dari jarak sekitar 50 meter atau 100 meter dari pinggir jalan. Ternyata jauh, sekitar 1 sampe 2 kilo meter. Kalau hanya 50 sampe 100 meter jaraknya, tidak mungkin mereka pakai motor yang rangkanya pakai besi 16 itu. Anak-anak muda yang masih berusia 18 dan 19 tahun itu ternyata berani juga melakukan pekerjaan berisiko tinggi di tengah hutan belantara itu dengan modal sepeda motor dari besi linggis. Berapa ongkos yang mereka dapatkan? Ternyata 500 ribu untuk satu meter kubik dibagi 3 orang.
Jadi kalau dalam satu hari mereka dapat 6 meter kubik, itu artinya mereka peroleh 3 juta rupiah dan dibagi 3. Lumayan untuk pendapatan sehari. Apakah langsung dibayar pada hari itu? Tidak. Biasanya kalau kayu sudah diambil baru dibayar, tapi masih menunggu juga karena juru bayar berada di kota sorong. Untuk bertahan hidup, ada kios di basecamp dimana mereka bisa utang. Nanti kalau sudah dapat bayaran ongkos pikul kayu baru membayar utang di kios yang juga milik pengusaha kayu itu. Ya, syukur-syukur kalau masih bisa tersisa untuk dibawa pulang untuk membantu meringankan beban keluarga. Satu di antaranya mengaku berjuang untuk mendapatkan uang untuk membiayai saudaranya yang sedang duduk di bangku SMA. Mudah-mudahan pengorbannan saya di hutan ini bisa ada manfaatnya di kemudian hari bahwa adik saya bisa selesaikan sekolah dan selanjutnya dia kuliah supaya dapat pekerjaan layak. Cukup saya sudah yang kerja di hutan begini, mungkin sudah nasib saya, tapi saya harus sekolahkan adik saya, agar dia tidak seperti saya.
Ketika ditanya tentang kondisi hutannya, mereka pun menerangkan bahwa jangan lihat dari luarnya. Di dalam hutan ini kayu besi sudah habis. Ada banyak jalan sarat di dalam dan seperti kota besar. Kalau lihat dari luar memang hutannya masih tampak utuh dan menakutkan, tetapi di dalamnya sudah terbuka sampai di lereng-lereng gunung. Hanya tempat terjal saja yang belum dijangkau, setapi semua tempat yang bisa dijangkau sudah terbuka karena penebangan kayu. Mereka pun mengaku kalau tidak tahu siapa pemilik kayu dan siapa pengusaha yang mempekerjakan mereka, karena mereka hanya tahu urusan pikul saja dari dalam hutan ke pinggir jalan. Perjalanan menuju kota Sausapor, pusat kabupaten Tambrauw pun dilanjutkan.
Rombongan perjalanan itu lanjutkan diskusi hangat di dalam mobil, membahas sepeda motor dari besi linggis itu. Perjalanan masih jauh, kira-kira masih membutuhkan 3 jam lagi untuk sampai ke tempat tujuan. Tikungan-tikungan tajam yang harus dilalui dan masih ada pula jurang yang akan menantang. Sayangnya pandangan sudah sempit, karena hujan di sore hari itu. Lumpur longsoran dari gusuran tanah itu menjadi hiasan tersendiri di sepanjang perjalanan.
Cerita hangat dengan suara tawa-riah itu pun redup seketika. Roda landcruiser yang ditumpangi itu tidak mungkin melewati satu lembar papan di depan, sementara jurang sekitar 5 meter di sebelah kiri dan kanan. Tidak ada jalan lain, selain harus berusaha cari akal sambil berdoa semoga papan kayu besi itu bisa bertahan memikul beban landcruiser dengan beban tambahan 7 orang penumpang yang berberat badan lumayan bervariasi antara 60 kg hingga 90 kg. Akhirnya berhasil lolos juga. Semua menarik napas dalam-dalam tanda syukur karena bisa melewati tantangan itu. Hari pun sudah gelap. Diskusi pun berakhir, semua terdiam dan akhirnya tertidur, kecuali sang sopir.
***Koordinator JASOIL Tanah Papua***