JERATPAPUA.ORG, JAYAPURA – Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua bersama Mitra mendorong terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Tanah Papua untuk menjembatani dalam proses rekonsiliasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu baik SIPOL maupun EKOSOB yang terjadi di Tanah agar adanya jalan keluar penyelesaian secara damai.
Perwakilan Jerat Papua Fadal Alhamid pada kegiatan Webiner bertajuk “ Membangun Strategi Bersama dalam Mendorong Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Di Tanah Papua Berdasarkan Nilai-Nilai Tradisi Orang Papua “ menjelaskan , overview mengenai rekam jejak dan progress yang sudah dibuat oleh Jerat diantaranya menginisiasi fokus grup diskusi dengan berbagai pihak seperti akademisi-tim Universitas Cenderawasih mengenai keberadaan dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Tanah Papua.
“Jerat merasa perlu untuk mengatur langkah bersama dalam membangun strategi untuk mendorong komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Tanah Papua berdasarkan nilai-nilai tradisi orang Papua. maka Jerat menginisiasi pertemuan secara luring dan daring dengan beberapa peserta untuk semakin memperkaya informasi bernilai tambah dengan melibatkan ALDP , AJAR, BUK, KPKC SINODE GKI dan lain lain dengan menghadirkan fasilitator dari KKR Aceh dan KKR Timor Leste untuk sharing pengalaman dan informasi bernilai tambah terkait dengan pembentukan KKR di Aceh dan Timor Leste.”jelas Fadal Alhamid Selasa, 25 Januari 2022 di Jayapura.
Peneliti Litbang Jerat Papua Hans Gerry Wally dalam pemaparannya menjelaskan Bahwa latar belakang pembentukan KKR berdasarkan amanat UU Otsus yang sampai saat ini juga masih belum terealisasi sampai saat ini. Dimana Pelanggaran HAM terus terjadi sehingga muncul ketidakpercayaan masyarakat atas inisiatif pemerintah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua, sehingga permasalahan yang dihadapi adalah adanya proses pembiaran dari Pemerintah. Namun tidak itu saja Jerat Papua dalam mendorong KKR ini berdasarkan data pelanggaran ham yang terjadi di beberapa wilayah di Tanah Papua yakni seperti Biak ,Jayapura serta Keerom dan Papua Barat seperti Manokwari , Wasior , Sorong .
“ kita berharap dengan mendorong KKR dan Otusus Jilid 2 akan menjadi Harapan baru bagi penyelesaian masalah pelanggaran HAM Berat masa lalu yang belum di tangani serius di Tanah Papua “ungkap Gerry Wally
Selain itu Wally berharap adaptasi nilai Sosial Budaya (Sosbud) Papua dalam skema KKR Serta Kesiapan sumber daya aparatur dalam pembentukan dan penyelenggaraan KKR di Tanah Papua , Pemetaaan Konsep KKR berbasis karakteristik budaya Papua Konsolidasi pemikiran stakeholder tingkat daerah dan Konsolidasi mitra tingkat nasional, hingga tahapan penyusunan police paper tentang konsep KKR berbasis wilayah adat Papua .
“Semua pihak yang berkepentingan di tanah ini harus terlibat, DPRP, DPRPB, MRP,MRPB , Gubernur Papua ,Papua Barat,Tokoh Agama, Tokoh Adat sehingga Pemetaan Konsep KKR berbasis karakteristik budaya Papua dapat terjawab “katanya.
Dialog tentang konsep KKR ini bukan yang terakhir akan terus berlanjut demi memperkaya esensi dari KKR demi yang terbaik untuk Papua, sehingga bisa menjawab persoalan, Perlu ada satu gerakan agar Jerat papua tidak terkesan berjalan sendiri-sinergi dengan semua” Posisi KKR yang akan diperjuangkan, jika hanya berbasis pada produk hukum berupa Peraturan Presiden, maka dipastikan posisi hukumnya akan lemah sehinggga perlu untuk mendorong nya dalam produk hukum yang lebih tinggi seperti UU.”Imbuhnya.
Selain itu ini juga untuk mempertegas bahwa apa yang dipaparkan oleh Jerat adalah hasil dari mengumpulkan pandangan masyarakat yang berkaitan dengan pembentukan KKR ini. Hasil ini akan menjadi input untuk menyusun policy paper. Jerat Papua berharap bahwa policy paper ini akan didorong bersamake pihak legislatif (DPR) dan eksekutif (Gubernur dan Polhukam) .
Komisioner KKR Aceh Afridal Darmi menjabarkan bahwa Hal yang penting dari KKR pertama adalah terkait dengan OWNERSIP – Kepemilikan di Aceh, KKR lahir dan menjadi salah satu item perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sehingga dari sisi ownersip, KKR di Aceh ini adalah produk dan milik dari NKRI dan GAM. Sebuah perumpamaan bahwa KKR ini seumpama ‘anak kandung’ yang lahir dari ‘janji suci’ pernikahan antara NKRI dan GAM. Namun seiring berjalannya waktu kedua ‘orang tua’ ini tidak mengakuinya lagi sebagai ‘anak kandung’ karena dimanika politik yang terjadi. Mahkamah Konstitusi memang telah mencabut/membatalkan regulasi terkait dengan KKR Nasional namun masih ada perda KKR Aceh yang belum dicabut. Perda KKR ini adalah perda pertama yang menggunakan inisiatif DPR yaitu UU KKR pasal 259 Pemerintah Aceh.
Hal berikut yang penting adalah SINERGITAS – merawat dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak Di Aceh “ kami menyadari pentingnya membangun konsolidasi pemikiran dari berbagai stakeholder. Kami menginisiasi diskusi dengan melibatkan para ahli (para doctor dan ahli hukum) dalam menyusun naskah akademik dan kanon. “uncap Afridal Darmi
membangun TRUST – membuka jati diri KKR yang sesungguhnya kepada semua pihak. KKR Aceh menyadari penting untuk membangun kepercayaan dengan semua pihak, termasuk pihak yang bertikai/berkonflik. Perlu untuk menjelaskan dengan utuh tentang keberadaan KKR yang salah satu madat utamanya adalah mengupayakan adanya rekonsiliasi. Penting juga untuk memberikan pencerahan kepada pihak yang selama ini masih terkesan antipati dengan keberadaan KKR karena menganggap KKR keberadaanya seperti Komnas HAM. Keberadaan KKR adalah mendapatkan backround information jadi KKR ada untuk mengurus korban bukan mengejar pelaku kekerasan.
Penting untuk membangun KOMUNIKASI – membangun komunikasi sangat penting agar kita bisa secara utuh memahami dan juga memberikan pemahaman terkait segala sesuatu mengenai KKR dari beragam sudut pandang.
Pandangan Lain juga di Sampaikan oleh Hugo Fernandes dari KKR Aceh, dirinya menjelaskan bagaimana Proses Latar Belakang terbentuknya KKR di Timor Leste setelah referendum langsung ada inisiasi dibentuknya komisi kebenaran dan rekonsiliasi oleh Dewan Politik Nasional. Hal ini diinisiasi karena gencarnya kampanye HAM di Timor Leste. “ Ide ini disampaikan kepada pemerintah sementara saat itu yaitu UN lalu dibentuklah Steering Committee. Steering Committee ini melakukan workshop pertama pada bulan Juni dengan tujuan mendengar keinginan banyak orang lalu pada tahun 2001, Pemerintah sementara-UN menyetujui regulasi nomor 10 tentang komisi kebenaran. Sehingga Regulesi ini lalu dikukuhkan dan dimasukkan di dalam konstitusi Timor Leste.”ungkap Hugo Fernandes Selasa, 25 Januari 2022 pada Webiner yang di gelar Jerat Papua .
Akademisi Uncen Prof. Hetaria yang juga anggota Tim Pembentukan KKR yang di inisiasi Gubernur Papua Lukas Enembe menjelaskan Tujuan strategi mendorong KKR Tanah Papua adalah agar masyarakat Papua dapat mengetahui, memahami konsep konsep dasar, mendiskusikan pola/model KKR Papua, merumuskan kebijakan, turut melaksanakan dan mengawasi.
“hal mendasar adalah begaimana Dasar hukum, HK negara; HK adat; HK Internasional, Pelanggaran/Kejahatan HAM apa saja ? Berat atau semua jenis ? Jalur apa? Yudicial – Pro Justicia Pengadilan HAM atau Non-Yudicial KKR, Apakah model KKR Tanah Papua Papua? Hk. Adat, Hk Nasional, Hk Internasional (Isi-Materi dan Bentuk ) KKR Papua bersifat ad-hoc atau permanen, Pelanggaran HAM sejak kapan sampai kapan?” tegas Prof. Hetaria
Anggota DPR Papua dari Jalur pengangkatan Jhon R Gobai mengatakan Terkait periode watku sesuai UU No 26 tahun 2000 maka KKR Papua haruslah dapat mengungkap pelangggaran HAM sejak tahun 1961-2000 , Jenis pelanggaran HAM yang diungkap adalah semua pelanggaran baik masa lalu baik SIPOL dan EKOSOB. Pelanggaran HAM masa lalu tentu bukan dilakukan oleh maysarakat adat papua sehingga tidak perlu dibawah dalam pola penyelesaian masyarakat Papua tetapi harus resmi dilakukan oleh negara sesuai aturan, dalam prosesnya jika mau dibawa dalam konteks papua harus dimaknai itus sebagai proses.
Pengungkapaan kebenaran sejarah harus menjadi kerjaan KKR Papua, sesuai dengan tujuannya KKR di Papua adalah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dibawah tahun 2000 dan untuk pengungkapan sejahra integrasi Papua, sesuai dengan pasal 46. “ Distorsi sejarah papua ini diperlukan untuk memperjelas dan mempertergas semua informasi, klaim dan statemen statemen untuk hal maka baik Papua maupun Indonesia sama sama mesti menyiapkan data data dan arsip arsip sejarah baik arsip yang berada baik di dalam dan di luar negeri. Menurut saya hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan Restorative Justice agar diperoleh kesekpakatan kesepakatan bersama terkait dengan sejarah integrasi Papua. Saya menilai ada 2 pandangan yang berkembang terkait dengan KKR di Papua, ada yang inginNon Yudisial tetapi ada pula yang ingin Yudisial ” tuturnya .
Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) Latifa Anum Siregar berpandangan Pentingnya mempertegas ownership dari Papua. Karena berdasarkan dinamika kita dapatkan informasi bahwa pembentukan KKR ini sudah mendapat signal positif dari pusat (Menkopolhukam) namun masih terkendala karena belum direspon secara cepat oleh pemerintah Provinsi Papua (Gubernur).
Esensi dari rekonsiliasi adalah pemulihan bukan mencari siapa yang salah dan benar. Rekonsiliasi dalam ‘adat’ Pranata: peradilan adat mengembalikan keseimbangan kehidupan di masyarakat (komunal), masyarakat adat Papua memiliki mekanisme adat dalam menyelesaikan masalah yakni ganti rugi (bayar denda adat), saat ini subyek hukum makin luas, bukan saja masyarakat adat tetapi ada pemerintah, investor dll, ruang ganti rugi secara adat dimodifikasi atas kehendak relasi kuasa (pemerintah dan pelaku) dan penyelesaian difalitasi oleh negara sehingga seringkali tidak sesuai dengan mekanisme adat.(nesta/jeratpapua.org)