Lima belas tahun tragedi Biak Berdarah di Biak 6 Juli 2013. Foto Elsham Papua
Lima belas tahun tragedi Biak Berdarah di Biak 6 Juli 2013. Foto Elsham Papua

Sepuluh hari pasca ‘Pekan Berdarah’ itu, suasana Biak masih lengang. Pusat perbelanjaan belum sepenuhnya buka. Namun tidak bagi Steven Koibur. Pagi-pagi buta, ia sudah bergegas meninggalkan kota dan mudik ke rumahnya di Munsaure, Distrik Oridek, Kabupaten Biak Numfor. Steven, 55 tahun, tinggal bersama puteranya. Selama dua hari, dengan ratusan lainnya, ia ikut berdemo melawan pemerintah di Menara air, Biak Kota, yang berujung penyiksaan.

Steven, salah satu yang beruntung karena lolos dari pengepungan petugas ketika membubarkan massa pengibar Bendera Bintang Kejora. Ketika itu, rekannya terluka ditembak polisi bersenjata. Steven dirumah, dengan nyaman bisa menyeduh teh pagi-pagi.

Tapi, tiba-tiba, “Ada mayat, ada mayat,” seseorang berlari dari arah pantai, dekat rumah Steven. Seorang warga Tanjung Barari menemukan empat jenasah tanpa identitasnya di tepi pantai. Satu kampung pun dibikin heboh. Kejadian tak biasa itu membuat warga ketakutan. Mayat yang ditemukan, dalam kondisi mengenaskan. Tak menunggu lama, Steven bersama pengurus kampung, melaporkan peristiwa itu kepada kepolisian. “Itu ditemukan pagi, sekitar pukul sepuluh. Sudah membusuk. Kami tahu itu adalah perempuan, karena ada payudara, tapi sudah dipotong,” ujar Steven .

Tak berselang lama, sementara menguburkan jenazah di Tanjung Barari, seseorang dari Kampung Kakur tiba membawa pesan kepada petugas desa. Ada lagi mayat perempuan di Pantai Animi. Mayat tersebut ditemukan oleh warga yang pulang melaut. “Kondisinya sudah rusak, langsung dikuburkan,” kata Steven. Makam itu, belakangan diperbaiki ulang oleh keluarga yang ditinggal. Pada nisan, tertulis ‘Soilco Baransano Rumbiak, 16 Juli 1958-16 Juli 1998’

Setelah kejadian hari itu, Steven tak bisa tidur semalam. “Kami juga takut melaut selama sebulan,” ceritanya.

Kabar penemuan, ikut pula menggegerkan kampung tetangga. Warga bertanya-tanya, darimana asal mayat tersebut. Berhembus isu, mereka yang tewas, akibat diberondong peluru saat demonstrasi makar di awal Juli 1998.

 ***

 

 Kuburan korban penembakan Biak yang dibuang di tengah laut pada 6 Juli 1998. Foto Jerry Omona

Kuburan korban penembakan Biak yang dibuang di tengah laut pada 6 Juli 1998. Foto Jerry Omona

Hujan turun mengguyur Kota Biak, 6 Juli 1998. Di puncak Menara Air, bendera Bintang Kejora terkulai basah. Di bawahnya, sekitar 600 orang membaringkan tubuhnya mengelilingi menara. Filep Karma, saat itu pegawai negeri di Jayapura, memimpin unjuk rasa menuntut kemerdekaan Papua. Dia sempat mengingatkan warga agar tidak melawan aparat. “Saya bilang jangan pernah melawan. Kita  siap mati, kita berdoa saja,” katanya.

Filep divonis 15 tahun penjara karena makar. Menurut Filep, mereka sudah mengendus akan adanya upaya paksa pembubaran unjuk rasa oleh aparat gabungan. Apalagi, sejak memulai aksi, empat hari sebelumnya, beberapa kali aparat datang meminta dibubarkan. Upaya negosiasi yang dilakukan pejabat daerah juga tidak meluluhkan hati massa.

Mereka tidak ingin kehilangan momen kedatangan utusan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan di Jakarta untuk membahas nasib Timor Timur, yang sedang menuntut merdeka dari Indonesia. “Upaya menarik perhatian internasional membuat kami bertahan,” ujar Filep mengenang.

Namun, sekitar pukul 04.30 WIT, mereka dikejutkan oleh kedatangan ratusan aparat. Danny Rayar, pemuda 17 tahun yang berada di lokasi kejadian, masih mengingat dengan jelas rentetan tembakan peluru tajam yang datang dari segala arah. Aparat bergerak membentuk formasi U untuk mengepung massa.

Danny mengaku perutnya ditikam sangkur tentara. “Sakitnya luar biasa,” katanya. Dengan sangkur diperut, dia mencoba bertahan hidup sebelum popor senjata tentara yang lain nyaris memecahkan kepalanya. Tak sanggup melawan, Danny pura-pura mati. Perutnya bersimbah darah. Saat itu, ia menyaksikan ratusan tubuh manusia ditumpuk di atas tanah basah. Tubuh-tubuh itu kemudian digotong ke kapal perang yang bersandar tak jauh dari pelabuhan.

Beberapa tubuh diangkut ke truk untuk dibawa ke rumah sakit dan ke rumah tahanan polisi. “Mayat mayat itu dimasukkan ke kapal perang, kemudian dibuang ke laut,” ujarnya. Hingga pukul 7 pagi, suara tembakan masih memekakkan telinga penduduk Kota Biak.

Terseok-seok, Danny berhasil pulang ke rumah. Dua hari ia di rumah, orang tuanya memberi tahu ada aparat membawa daftar 400 nama orang yang terlibat unjuk rasa berikut alamat rumah mereka. ”Nama saya ada di dalam daftar itu,” katanya. Mereka diwajibkan datang ke kantor polisi untuk diperiksa, tapi Danny menolak.

Ia memilih bersembunyi di hutan. Selama dua bulan ia berpindah dari satu sisi hutan ke sisi hutan yang lain. Selamat dari kejaran aparat, Danny sekarang menetap di Sydney, Australia.

Eben Kirksey, warga Australia, yang baru saja tiba mendarat di Biak, turut menyaksikan suasana mencekam itu. Namun mahasiswa studi antropologi di Universitas Cenderawasih, Jayapura, ini tak dapat bergerak bebas. Aparat intelijen selalu memantau gerak-geriknya.

Tak mau kehilangan momen, dari halaman Hotel Irian tempatnya menginap, Kirksey merekam suasana Biak pagi itu dengan kamera. Dia juga sempat memotret kapal perang KRI 811 yang ditumpangi aparat.

Empat tahun kemudian, Kirksey kembali ke Biak untuk menulis buku tentang peristiwa berdarah awal Juli 1998. Para saksi menjelaskan kepada Kirksey bahwa aparat membawa sejumlah peserta unjuk rasa yang terluka dan tewas ke KRI 811. “Para saksi mengatakan jasad-jasad itu kemudian dibuang ke laut. Beberapa hari kemudian, jasad muncul di pantai,” ujar Kirksey.

Belakangan laporan Human Rights Watch, organisasi internasional pemantau hak asasi manusia, menyebutkan kapal perang KRI bernomor lambung 534 GDR juga diduga terlibat dalam operasi berdarah di Biak.

 ***

 Peringatan tragedi Biak Berdarah di Biak 6 Juli. Foto Elsham Papua

Peringatan tragedi Biak Berdarah di Biak 6 Juli. Foto Elsham Papua

Mengenang peristiwa Biak Berdarah, Belum lama ini, Kirksey memprakarsai pengadilan warga (citizen tribunal) di Universitas Sydney, Australia. Sejumlah pakar hukum internasional duduk di panel hakim dan penuntut. Layaknya pengadilan, para saksi korban memberi kesaksian di hadapan panelis hakim. Sejumlah dokumen orisinal dan fakta dipaparkan dalam persidangan. Panel meyakini sejumlah personal militer terlibat dalam pembunuhan itu. Di Indonesia, proses hukum atas peristiwa Biak Berdarah belum pernah disuarakan. Sehari setelah peristiwa, ABRI memang mengumumkan pembentukan tim pencari fakta. Namun hasil kerja tim tidak pernah diumumkan hingga sekarang. Juru bicara Markas Besar TNI, Laksamana Muda Iskandar Sitompul, menolak menjelaskan soal hasil kerja tim pencari fakta. ”Saya masih kecil saat itu,” katanya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga pernah membuat kajian terhadap tragedi ini pada 2008. Menurut Joseph Adhi Prasetyo, Ketua Komnas HAM, kajian peristiwa itu sudah lama rampung. ”Hasilnya diduga kuat terjadi pelanggaran berat,” ucapnya. “Karena tidak ada anggaran, kasus ini tak bisa dilanjutkan ke proses hukum.”

(Jerry Omona/JERAT/TEMPO)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *