Seakan terlupakan, Kibay terus menggeliat. Dari perbatasan, mereka butuh sentuhan.
Hangat udara pagi, begitu terasa ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Kampung Kibay, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, pertengahan tahun lalu. Suasananya alami. Warganya ramah-ramah. Di ujung kampung, pos TNI berjaga siang malam. Kampung ini dulunya merupakan daerah merah pertahanan Organisasi Papua Merdeka.
Penduduk asli Kibay sebanyak 121 Kepala Keluarga. Sebagian dari mereka tersebar di Distrik Arso. Sementara yang tinggal di kampung; 42 KK atau 463 jiwa.
Kampung Kibay berbatasan dengan Schotohiao di bagian timur, salah satu kawasan perbatasan di Papua Nugini. Selanjutnya Kampung Wembi di bagian barat, Yetty di utara dan Kampung Ampas di bagian selatan. Luas Kibay mencapai 3 hektar.
Kibay artinya ‘anak pertama’. Orang Kibay berasal dari suku Manam. Suku besar ini mendiami Kibay, Kampung Wembi, Uskwar, Kriku dan Kampung Yetty di Distrik Arso Timur.
Kibay terbentuk sekitar tahun 1999-2000, dari kampung lama yang letaknya tak begitu jauh. Awalnya kampung ini terbentuk dari hasil penggabungan warga yang hidup menyebar di sekitar wilayah batas RI-PNG.
Jadi, tak heran kalau hampir sebagian besar warga kampung ini bisa bertutur Inggris Pidjin (toking Pidjin, bahasa resmi PNG). Ini berawal dari proses asimilasi yang berlangsung lama disebabkan warganya sering menyeberang batas negara untuk mengunjungi kerabat mereka di PNG. Beberapa generasi Kibay ada yang sementara menempuh pendidikan setara SMP atau SMA di negara itu.
Letak Kibay lumayan jauh, kira-kira 40-an km dari pusat Pemerintahan Keerom di Arso Kota atau sekitar 8 km dari Kampung Yeti, pusat Distrik Arso Timur. Terdapat lima marga asli yang mendiami kampung ini, yakni Psakor, Makawa, Boryam, Pukeukir dan Numbun.
Kondisi Kibay
Wilayah Kibay memiliki potensi sumber daya alam melimpah. Misalnya hasil hutan berupa kayu dan pertanian (kebun). Warganya menanam sayur dan umbi-umbian untuk dikonsumsi sebagai makanan pengganti beras.
Para wanita di kampung ini juga terampil menganyam noken dari kulit pohon. Sementara sebagian warga bekerja serabutan menebang kayu sekaligus tukang bangunan. Ada pula menjadi buruh harian di perkebunan PT. Rajawali Grup yang kini membuka ribuan hektar kebun sawit di Yeti. Sebagian kecil menjadi tenaga lepas di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. PN II di Arso Kota.
Kibay menyimpan sejarah masa lalu yang kelam, khususnya terkait dengan gerakan politik Rakyat Papua di era 1970-an hingga awal 1990-an ketika menentang pendudukan Indonesia. Konon, kawasan hutan di sekitar area Kampung Kibay hingga Yety, pernah menjadi basis operasi kelompok gerilyawan bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibawah kendali Seth Rumkorem dan Jacob Pray.
Menurut kebanyakan masyarakat asli, alasan itulah yang menyebabkan Arso Timur dan Kabupaten Keerom secara keseluruhan ditetapkan sebbagai daerah merah (red zone).
Berbeda dengan Arso Kota yang umumnya didiami kaum migran eks transmigran, di Kibay, mayoritas penduduknya orang asli. Di kampung ini terdapat sebuah pos TNI, dekat sungai tak jauh dari kampung. Aparat bertugas disini sekitar 30-an orang.
Anggota TNI ini membantu warga belajar baca dan tulis. Mereka dari Pos Kali Asin Satuan Tugas III Yonif 408/Suhbrastha. “Ada beberapa anak, harinya tidak tentu, biasa satu minggu dua kali,” kata Komandan Regu Pos Kali Asin Satgas III Yonif 408/Suhbrastha, Elsana Eka.
Ia mengatakan, anggota TNI berkewajiban membantu kesulitan pendidikan di pedalaman. Meski harus mendampingi membaca, tugas pokok TNI menjaga kedaulatan negara tetap berada dipundak. “Kami dari Ambon, ada dua anggota yang sebelumnya dilatih agar bisa mengajar,” ujarnya.
Elsana sudah dua bulan berada di Kibay. Metode mengajarnya tidak jauh beda dengan guru sipil. Ia menyampaikan materi, contoh soal sekaligus menuntun anak mengeja huruf. “Agar tidak bosan, saya memutar film, atau bikin game.”
Anak-anak Kibay bukan tidak dapat mengeyam bangku sekolah. Mereka murid di SD Satu Atap Kampung Yetty, Arso Timur. Penyebab para bocah ini enggan bersekolah karena jarak yang begitu jauh serta tiadanya transportasi mengantar mereka.
SD Negeri Kibay juga tidak banyak membantu. Sekolah tersebut tak memiliki guru apalagi sarana belajar. SD Kibay hanya bangunan kosong hampir tiga tahun.
Selain mengajar, anggota TNI Kali Asin mendampingi warga bercocok tanam. Mereka membuka kebun latihan serta memberi pemahaman cara hidup sehat. “Mengajar dan pelatihan semuanya dilakukan di pos, kita tidak digaji, ini semua adalah tugas TNI.”
Di Kibay, berdiri sejumlah rumah guru. Saat saya disana, rumah-rumah itu tak berpenghuni. Bangunan berdinding papan itu dipenuhi rumput tinggi. “Rumah ini kosong sejak dibangun dua tahun lalu,” kata Frangky Psakor, Kepala Kampung Kibay.
Ia mengatakan, sekolah dasar di Kibay tak punya guru. Alhasil, rumah guru ditinggali pekerja perusahaan.
Rumah guru di Kibay dilengkapi kursi dan meja. Ada sebuah teras kecil, ruang tamu, kamar tidur, dapur serta ruang tengah. Dibagian belakang, dibangun kamar mandi.
Tergantung Pada Pos TNI
Warga Kampung Kibay masih bergantung obat pada Pos Kali Asin Satuan Tugas III Yonif 408/Suhbrastha. Keberadaan pos dinilai efektif membantu warga. “Namun layanan kesehatan ini, tidak tiap hari,” kata Elsana Eka.
Menurut dia, perobatan tak dijadwalkan rutin. “Biasa seminggu sekali, tapi ada juga yang tiba-tiba karena pasien harus dirawat.”
Layanan darurat itu diberikan mengingat kunjungan puskemas keliling hanya sebulan sekali. Puskesling melayani sebelas kampung di Distrik Arso Timur. Diantaranya Kampung Wonorejo, Yamara, Wambes, Suskun, Wembi, Pyawi, Yetty, Kibay, Ujung Karang dan Kriko. Layanan di awal bulan dilakukan di Kampung Wonorejo, sementara akhir bulan di Kriko.
Apabila ada warga sakit keras, anggota pos menyarankan di opname. “Supaya mendapat perawatan lengkap. Kita punya seorang dokter, tapi untuk kebutuhan alat rumah sakit, pos tidak punya,” ucapnya.
Kampung Kibay mirip Senegi di Merauke. Sulit dijangkau dan terkesan terasing. Warganya berharap ada perhatian dari pemerintah. “Kita tidak minta uang, kita mau agar rumah dan jalan diperbaiki,” kata Frans. “Kalau tidak ada kepedulian, kami bisa saja kembali ke PNG.”
(Jerry Omona/JERAT/dari berbagai sumber)