Berbagai peristiwa telah meletakan Papua pada titik terendah buruknya hak suara menyampaikan pendapat. Kebebasan berekspresi berada pada angka nol!.
Penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengungkapkan, sejumlah persoalan seperti kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, menjadi parameter rendahnya kebebasan berekspresi di Papua.
Kesimpulan tersebut diperoleh pasca penelitian Elsam di lima wilayah di Indonesia. Yakni DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan Papua. Dari hasil survei, Papua hanya memperoleh nilai indeks kebebasan sosial politik 31,25. Sedangkan empat daerah lain jauh lebih baik, yaitu DI Yogyakarta dan DKI Jakarta masing-masing 43,75, dan Kalimantan Barat 68,75. Sedangkan propinsi dengan indeks terbaik yaitu Sumatera Barat dengan nilai 75.
Survei ini menggunakan teknik pengumpulan data expert representatif. Narasumber yang diambil merupakan para ahli yang tersebar di lima wilayah yang disurvei. Sementara, metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif.
Peneliti Elsam Wahyudi Djafar mengungkapkan, angka kekerasan terhadap jurnalis di Papua masih tergolong tinggi, terutama terhadap pemberitaan yang dimuat di media. Kondisi itu, menurutnya, diperparah dengan tidak adanya tindakan tegas aparat untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis. “Singkatnya, minim perlindungan serta jaminan hak atas rasa aman bagi para jurnalis di Papua,” kata Wahyudi.
Kekerasan terhadap jurnalis di Papua, kata Wahyudi, tidak hanya dilakukan oleh aparat, tetapi juga pemerintah daerah. Ia menambahkan, meski di wilayah tersebut kerap terjadi kekerasan, pemerintah pusat tidak pernah menetapkan Papua sebagai wilayah dengan status darurat. Menurutnya, hal ini dijadikan ajang untuk melakukan tindakan represif oleh aparat keamanan terhadap berbagai bentuk aksi damai. “Masyarakat di Papua saat mengungkapkan ekspresi damai berdimensi sosial politik, kerap dijerat dengan pasal-pasal makar di KUHP,” jelasnya.
Sementara itu, di wilayah lain yang juga disurvei, Wahyudi menjelaskan, persoalan terkait kebebasan jurnalis juga terjadi. Di antaranya sensor dari pimpinan media terhadap pemberitaan buruk pemerintah daerah. “Terutama jika sudah menyangkut persoalan korupsi,” ujarnya.
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partipasi publik dalam pembuatan keputusan-keputusan. Hal ini merupakan pra-syarat bagi perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang pada akhirnya sangat esensial bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Kebebasan bereskpresi juga menjadi pintu bagi dinikmatinya kebebasan berkumpul, berserikat dan pelaksanaan hak untuk memilih.
Warga negara tidak dapat melaksanakan haknya secara efektif dalam pemungutan suara atau berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik apabila mereka tidak memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan pendapatnya serta tidak mampu untuk menyatakan pandangannya secara bebas.
Menurut Amnesty International, ‘serangan’ terhadap kebebasan berekspresi di Papua, terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya terjadi pada 26 Agustus 2014, dimana aktivis politik Martinus Yohame ditemukan tewas di dalam karung, mengapung di dekat Pulau Nana di Sorong, Papua Barat. Korban ditemukan tewas dengan luka termasuk bekas tembak di dadanya. Martinus, ketua KNPB (Komite Nasional Papua Barat) Sorong, sebuah gerakan pro-kemerdekaan, sebelumnya hilang pada 20 Agustus.
Hilangnya Martinus terjadi pada saat yang sama ketika seorang aktivis politik lainnya ditahan secara semena-mena menjelang rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Papua Barat untuk acara “Sail Raja Ampat” pada 23 Agustus.
Pada kasus lainnya di provinsi yang sama, pada 8 Agustus, polisi menangkap dan diduga melakukan penyiksaan terhadap dua pelajar di Manokwari karena membuat grafiti pro-kemerdekaan, termasuk menyerukan referendum bagi Papua. Keduanya, Robert Yelemaken, pelajar sekolah menengah atas berusia 16 tahun, dan Oni Wea, mahasiswa perguruan tinggi berusia 21 tahun, juga merupakan aktivis-aktivis KNPB. Mereka dipukul di kepala dan wajah dengan popor senjata, juga ditendang oleh polisi. Keduanya dipaksa berguling di genangan air kotor dan meminum cat. Mereka kemudian dibawa ke Kantor Polres Manokwari di mana pemukulan tersebut diduga terus dilakukan.
Robert Yelemaken langsung dibebaskan saat itu, tetapi Oni Wea masih menghadapi tuduhan “penghasutan” di bawah Pasal 160 KUHP.
Di kejadian lainnya, dua jurnalis Prancis ditangkap oleh polisi pada 6 Agustus di Wamena. Keduanya masih di tahan karena pelanggaran imigrasi. Thomas Dandois dan Valentine Bourrat dilaporkan membuat film dokumenter tentang gerakan separatis di wilayah Papua. Penangkapan mereka menyoroti pembatasan yang terus berlaku, yang dihadapi oleh jurnalis, organisasi HAM, dan organisasi pengawas internasional lainnya untuk mengakses Papua dan Papua Barat.
Areki Wanimbo, Ketua Dewan Adat Lani Besar, yang telah menemui kedua jurnalis, juga ditangkap oleh polisi pada hari yang sama dan dituduh mendukung aktivitas separatis. Areki dijerat tuduhan “makar” di bawah Pasal 106 dan 110 dari KUHP (kejahatan terhadap keamanan negara). Pasal-pasal ini telah digunakan secara semena-mena untuk memenjarakan puluhan orang di Papua karena aktivitas politik damai mereka.
Dalam kaitannya dengan tertekannya kebebasan bereskpresi itu, Amnesty International menyerukan akses yang bebas dan tanpa hambatan ke wilayah Papua bagi jurnalis dan organisasi HAM internasional.
Bagi Amnesty, hak atas kebebasan berekspresi, beropini, dan berkumpul secara damai dijamin oleh Konstitusi Indonesia dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, di mana Indonesia merupakan Negara yang ikut menyetujui.
Amnesty International menegaskan, pihak berwenang Indonesia untuk sebaiknya segera mencabut atau paling tidak mengamandemen produk-produk hukum yang membatasi hak atas kebebasan berekspresi, termasuk Pasal 106 dan 110 KUHP, dan mematuhi hukum dan standar-standar HAM internasional.
“Amnesty International tidak mengambil posisi apapun terkait status politik dari provinsi mana pun di Indonesia, termasuk menyerukan kemerdekaan. Namun demikian, organisasi kami percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga mencakup hak untuk mengadvokasi secara damai referendum, kemerdekaan, atau solusi politik lainnya,” sebut Amnesty dalam rilisnya.
Disorot PBB
Perihal buruknya kebebasan bereskpresi di Papua, ikut pula disorot Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB menilai, pihak yang telah membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai di Papua, mesti diselidiki.
Hal itu merupakan salah satu hasil dari 29 rekomendasi yang diberikan oleh Komite HAM PBB terkait dengan penerapan Konvensi Hak Sipil dan Politik oleh Indonesia. Sidang penilaian terhadap konvensi itu dilakukan pada 10-13 Juli 2013 di Jenewa, Swiss.
“Pemerintah berkewajiban untuk melakukan investigasi kasus-kasus dan melakukan penuntutan terhadap pihak-pihak terkait dalam pembatasan kebebasan ini,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar.
Kaitannya dengan itu, Komite HAM PBB juga meminta pemerintah untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan berekspresi di Papua, harus sesuai konvensi.
“Secara khusus, rekomendasi Komite HAM harus menjadi tolak ukur bagi Presiden untuk memenuhi hak-hak sipil dan politik dan konsisten menyelesaikan kasus-kasus kejahatan HAM yang menjadi perhatian internasional,” kata Haris.
Selain Papua, rekomendasi Komite HAM lainnya adalah menyangkut kasus kejahatan masa lalu, misalnya; pembunuhan aktivis Munir, tragedi Mei 97/98 dan kebebasan berkeyakinan.
Dibagian lainnya, Komisi HAM ini juga menyoroti kekerasan yang sedang berlangsung di Papua dan menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan Indonesia. Komite mengacu pada tingginya angka pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua selama dua tahun terakhir dan menyesalkan penggunaan kekerasan dalam membubarkan protes damai di Papua.
Poengky Indarti dari pemantau hak asasi manusia Imparsial mengatakan, “diskusi tentang Papua di Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional.”
Meski ditekan oleh Komite HAM PBB, Pemerintah Indonesia terus saja mengelak. Sebuah pernyataan delegasi pemerintah menyebutkan, bahwa media lokal di Papua bebas untuk mempublikasikan berita. Hal ini tentu bertolak belakang dengan sejumlah kasus dimana dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat internasional harus menyaksikan pembunuhan di luar hukum jurnalis Ardiansyah Matrais dan serangan kekerasan terhadap jurnalis Banjir Ambarita.
Sementara itu, Baroness Warsi, Menteri Senior di Kementrian Luar Negeri Inggris mengakui kebebasan berekspresi di Papua sering dibungkam. Ia juga mengkhawatirkan hukuman berat yang kerap diberikan kepada para aktivis Papua saat melakukan aksi demonstrasi dengan damai.
“Hukuman penjara yang berat diberikan pada orang-orang yang melakukan aksi demosntrasi damai. Saya juga sangat menghargai LSM dan staf mereka yang bekerja tanpa lelah untuk membela para tahanan ini. Kebebasan beragama, berkeyakinan dan kebebasan berekspresi telah disampaikan dalam di Universal Periodic Review (UPR). Undangan ke pelapor khusus PBB tentang kebebasan berekspresi agar berkunjung ke Indonesia merupakan langkah positif, dan kami berharap bahwa kunjungan ini segera dilakukan,” kata Baroness Warsi.
Baroness Warsi mengakui pemerintah Inggris memiliki keprihatinan yang sama dengan anggota parlemen tinggi mereka. Menjawab pertanyaan anggota parlemen Tinggi Inggris yang dialamatkan kepada pemerintah Inggris, Warsi mengakui adanya pembatasan akses wartawan, LSM termasuk organisasi Palang Merah Internasional, ke Papua.
“Kami telah mengangkat isu ini kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan. Ketika Lord Hannay, mengingatkan kita, tanpa membuka akses ke Papua, risiko misreporting atau insiden yang disalahpahami akan terus ada. Akan sangat sulit untuk memverifikasi sebuah insiden jika Papua tetap tertutup.” kata Menteri Senior ini.
Warsi mengatakan Pemerintah Inggris mengutuk semua pelanggaran hak asasi manusia, tidak peduli siapa korbannya. Menurutnya, pelanggaran di Papua telah dilakukan oleh aparat keamanan maupun oleh mereka yang mengaku akan berjuang untuk hak-hak rakyat Papua. Namun bagaimana memverifikasi secara rinci setiap insiden yang terjadi memang sangat sulit karena keterpencilan daerah.
“Kita juga melihat pembunuhan mengerikan dari delapan personil militer Indonesia pada bulan Februari tahun ini. Dan Non-etnis Papua yang tinggal di dataran tinggi telah diserang dan dibunuh. Juga seorang turis Jerman ditembak pada Mei 2012,” tambah Warsi.
Pemerintah Inggris, lanjut Warsi, mengakui bahwa hak asasi manusia adalah hak fundamental yang berbasis pada nilai-nilai universal. Meski begitu, segudang pengaruh sosial, politik dan ekonomi sering berada di belakang pelanggaran hak asasi manusia, dan ini juga harus diatasi. Oleh karena itu, Inggris akan terus mendorong kemajuan yang berarti pada isu-isu pemerintahan, termasuk implementasi penuh dari undang-undang otonomi khusus bagi provinsi Papua dan Papua Barat.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)