Fadhal Alhamid, pemuda Papua yang menjadi pembicara pertama dalam Dialog Nasional Pemuda bertajuk“Menyoal Identitas Kebudayaan Indonesia”, 20 Mei 2010, di Jakarta, terkait dengan penjajahan Belanda dalam perspektif Indonesia, kata Fadhal bahwa Belanda tidak melakukan praktek penjajahan di tanah Papua. Alih-alih merusak atau membunuh, Belanda justru menggelar pendidikan dan juga pembangunan bagi masyarakat Papua.
Terkadang, kata Fadhal dalam acara peringatan Hari Kebangkitan Nasional tersebut, ketika orang kecewa dengan pemerintah Indonesia, orang kemudian bernostalgia dengan zaman Belanda yang dianggap baik, termasuk soal pendidikan.
“Kalau ajar membaca… ‘ini api, api menyala, babi lari’. Sesuatu yang kemudian mengakar dalam realita. Sekarang, ‘ini pak madi, pak madi ke sawah’. Siapa pak madi? Sawah mana? Orang Papua tidak kenal sawah. Orang Papua kenal hutan sagu.”
Terlepas dari perbedaan sejarah, kebudayaan, dan ras dengan kebanyakan negeri-negeri di Indonesia, Fadhal berharap Papua dapat diterima dalam keragaman Indonesia. Papua semestinya diberi ruang untuk turut membentuk dan mewarnai identitas keindonesiaan.
Namun, persoalannya tidak mudah. Dalam berbagai iklan yang setiap hari tayang di ruang-ruang media massa, apa yang disebut cantik itu adalah orang yang berambut lurus dan berkulit putih. Dan kriteria itu membuat orang Papua, di tanahnya sendiri, sulit untuk mengisi posisi-posisi tersebut di pasar, seperti bank atau supermarket.
Bahkan, ketika ada kontes putri kecantikan yang dibuat oleh kelompok Dharma Wanita di Papua, putri-putri (suku) Dani diajak untuk menjadi putri Jawa, yakni dengan memakaikan sanggul dan kebaya pada tubuhnya. Padahal, perspektif kecantikan bagi orang (suku) Dani bukan itu.
“Perempuan yang cantik itu yang tangannya kuat. Kepalanya kuat untuk memanggul itu noken. Dia orang yang pandai mengurus kebun, pandai mengurus anak, pandai mengurus babi. Itulah perempuan Papua, perempuan Dani yang cantik.
Fadhal juga mencatat persoalan militerisme di papua. Menurutnya, pemerintah dan militer Indonesia lebih merasa terganggu ketika bendera bintang kejora berkibar ketimbang sekolah dan layanan kesehatan tidak berfungsi. Nasionalisme Indonesia hanya hadir dalam bentuk pos-pos militer dan bendera merah putih.
Kalau ada yang menaikkan bendera Bintang Kejora, pemerintah dan militer Indonesia tidak pernah menanyakan kenapa bendera tersebut dinaikkan. Kalau ada yang menaikkan bendera, maka tindakan keras langsung diambil: tangkap, adili, penjara.
“Padahal kalau ada yang kasih naik itu bendera, itu bisa saja karena anaknya tidak lolos itu pegawai negeri, gajinya sekian bulan tidak dibayar, atau karena hutannya dirampas,” kata Fadhal
Dia juga membandingkan sistim pendidikan yang sampai saat ini tidak terbenahi seperti UU BHP ” masa ketika ujian nasional anak – anak Papua di pedalaman harus mengisi soal yang sama dengan anak-anak yang ada di Cikini Jakarta Pusat”, di pedalaman Papua yang sekolahnya tidak memiliki pengajar harus dipaksakan setara menjawab soal yang sama dengan anak-anak Jakarta.