JERATPAPUA.ORG, JAYAPURA– Kualisi Kampus Untuk Demokrasi Papua, Malukan penlucuran Buk dan Film Dokumenter dengan Judul ““Merebut Kendali Kehidupan: “Refleksi, Perubahan dan Siasat Masyarakat Adat” yang berlangsung di Hotel Suni Garden Like Abepura Jayapura.
Launching atau Peluncuran yang di laksnakan tersebut setelah melakukan Penelitian atau Riset selama 1 Tahun lebih di 3 Kampung di Tiga Kabupaten Berbeda , yakni di Kampung Kendate Kabupaten Jayapura , Kampung Aiwat Wanbom Kabupaten Bovent Diegoel , serta Kampung Sowek Kabupaten Supiari .
Ketiga buku yang di tulis oleh karya tangan-tangan tiga perempuan Hebat serta satu orang pria yaitu , Elvira Rumkabu , Apriani Anastasia Amenes , Asrida Elisabeth serta I Ngurah Suryawan
Dengan judul buku :
- Geliat Kampung Tersembunyi: Siasat Penghidupan dan Perubahan di Teluk Demenggong, Jayapura.
- Merebut Kendali Kehidupan: Perjuangan Orang Wambon di Boven Digoel Menghadapi Serbuan Investasi.
- Bayang-bayang Kerentanan: Tantangan Penghidupan Orang Sowek di Supiori.
Elvira Rumkabu salah satu penulis mengutarakan penulisan dan peluncuran buka ini , disadari bahwa pada akhirnya masyarakat adat sendiri tidak dapat dilihat sebagai entitas tunggal. Di dalamnya terdapat ragam agen, struktur, institusi dan nilai-nilai yang membangun sistem hidup komunal. Salah satu kelompok penting dalam entitas ini namun jarang mendapatkan perhatian adalah perempuan.
“ Narasi dan siasat perempuan seharusnya dilihat sebagai sebuah kekuatan politik dalam memperjuangkan penghidupan maupun mengubah struktur yang timpang secara internal maupun dalam kebijakan kapitalistik dan teknokratis yang sering memarginalkan.” Ungkap Elvira Rabu, (15/02/2023)
Selain itu, masyarakat adat bukan entitas statis. Mereka terus berubah, atau dipaksa berubah, karena ragam agen maupun struktur. Sudah seharusnya menempatkan kembali masyarakat adat sebagai pusat dari pembangunan.
“ Pandangan hidup, refleksi, pengetahuan, karakter sosial budaya masyarakat adat, institusi, relasi dengan alam, hingga sistem pengelolaan sumber dayanya seharusnya diintegrasikan dalam berbagai intervensi kebijakan.”katanya.
Elvira Rumkabu juga menarasikan ketiga Buku yang mereka tulis yakni , bagaimana menerjemahkan Judul atau ketiga buku tersebut dalam agenda-agenda praktik pembangunan berbasis masyarakat Adat sehingga ini yang menjadi isi dari konsep penelitian yang di lakukan , sehingga konsesp pembangunan yang biasanya di lakukan secara top Douwn pikiran dari pengambil kebijakan di lakukan menurut pikiran pemerintah dengan mengabaikan aspek-aspek kontekstual sosial budaya masyarakat adat .
“ seharusnya mereka melihat ini merupakan masyarakat adat atau objek yang tidak berubah , sebenarnya mereka sudah mempunyai system pengelolaan pembangunan sendiri ,struktur adatnya, pranata adat sendiri “ ungkap Elvira
Apriani Anastasia Amenes mengutarakan penulis sengaja memotret keberadaan masyarakat adat sendiri dari bawah , bagaimana intervensi pembangunan yang masuk dari berbagai pihak .
Ada banyak temuan yang di dapatkan dari hasil penetian pencuran buku tersebut, misalnya di Kabupaten Kendate yang di komporasikan dengan dua Kabupaten lainnya, dimana Kabupaten Jayapura Pemerintahannya saat Bupati Mathius Awoitauw saat itu , sangat memikirkan soal Perlindungan masyarakat adatnya, Khususnya di Kampung Kendate masyarakat tidak merasa masuk dengan kebijakan Pemerintah soal regulasi seperti Kampung Adat mereka tidak masuk dalam skema tersebut mereka memilih bersiasat sendiri .
“kita merasa ada proses yang terputus dalam rentan komunikasi di Kabupaten Jayapura , kebijakan Pemerintah tidak dominan menjadi Konteks yang di terapkan masyarakat adat yang memiliki kekawatiran dengan struktur keondofolanya “ tuturnya.
Lanjutnya sementara di Sowek Kabupaten Supiori penulis menemukan kerentanan Demografi penduduk yang sedang meningkat ruang hidupnya tetap sama , ada persoalan perubahan ekologis maupun kerentanan pangan pola-pola Konsumtif serta situasi-situasi produksi dan reproduksi perempuan , serta kasus gizi buruk
“itu sangat menggagu bahwa gizi buruk di atas Kelimpahan ikan “ungkapnya.
Asrida Elisabeth salah satu dari 3 penulis tersebut mengungkapkan kerentanan dari tiga wilayah di maksud terutama di Kampung Aiwat Kabupaten Bovent Diegol masyarakat yang seluruh hidupnya bergantung pada hutan ancaman terbesar mereka dari Investor dimanaka Kampung mereka menjadi sasaran investasi perusahaan , sehingga masyarakat adat setempat berusaha menjaga tempat tersebut.
“Ancaman terbesar untuk masyarakat adat di Bovent Diegol adalah pengambi alihan lahan oleh Korporasi dari masyarakat adat “ tegasnya.
Sementara kendate merupakan wilayah yang cukup aman, sehingga ruang kelola mereka cukup aman baik dari sisi ekonomi maupun ancaman investasi.
“ini kampung yang orang bisa melaut tapi juga menacri penghidupan di darat “tandasnya.
konseptualisasi ‘adil’, ‘berkelanjutan’ termasuk tentang siapa mereka, harus didefinisikan menurut ukuran mereka sendiri. Atas dasar inilah, Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua melakukan riset di tiga kabupaten yakni Jayapura, Supiori dan Boven Digoel. Ketiganya merepresentasikan masyarakat adat yang memiliki sumber daya hutan dan pesisir. Tiga kampung yang menjadi lokus penelitian tersebut adalah kampung Kendate (Kabupaten Jayapura), kampung Aiwat (Kabupaten Boven Digoel) dan kampung Rayori (Kabupaten Supiori).
Ketiganya memiliki karakter sosial budaya yang khas dan memberikan kesempatan untuk melihat ragam kasus pengelolaan SDA secara lebih mendalam serta memungkinkan untuk melakukan studi perbandingan (komparasi) ke depannya.
Hasil temuan dari kajian yang telah kami lakukan semakin mempertegas refleksi kritis yang pernah dipublikasikan oleh Bapa Benny Giay dalam bukunya “Mari Mengambil Alih Kendali Kehidupan : Memperjuangkan Pemulihan Negeri Ini”. Giay menyatakan : “merubah diri untuk merebut masa depan sangatlah berat…Kita (Papua) perlu kekuatan dan energi. Masyarakat Papua harus memahami sistem yang menindas tapi juga perlu mendorong adanya upaya-upaya konsolidasi internal dalam rangka merebut kembali kehidupannya. Itulah sebabnya, publikasi yang dihasilkan ini bermaksud untuk menunjukkan bagaimana masyarakat adat memaknai diri, identitasnya dan relasinya dengan alam, struktur dan agen-agen lain; bagaimana mereka secara sadar mengidentifikasikan perubahan-perubahan yang dialami; serta mengupayakan bersama cara untuk merebut kembali kendali kehidupan yang terhempas. Inisiatif dari level paling mikro seperti rumah tangga/keluarga untuk terus bertanya, berefleksi, bekerja keras telah didokumentasikan dari seluruh proses penelitian ini. Tentu saja buku dan film yang dihasilkan tidak akan membawa perubahan langsung bagi masyarakat di ketiga kabupaten. Akan tetapi, kami berharap hasil riset tentang perubahan, siasat dan refleksi kritis masyarakat adat di 3 kabupaten ini dapat berkontribusi dalam menjembatani gap konseptualisasi dan implementasi pembangunan dari pemerintah dan masyarakat adat, serta dapat di gunakan sebagai bahan advokasi bagi perjuangan merebut kendali kehidupan masyarakat adat.
Launching ketiga Buku tersebut mendapatkan tanggapan atau orasi dari berbagai pihak yakni Orasi Budaya “Merebut Kendali Kehidupan”: Dr. Benny Giay
Cerita Dari Kampung oleh Ibrahim Waisamon (Kepala Kampung Kendate) , Pius Kanduga (Kepala Kampung Aiwat) , Filep Manufandu (Kepala Kampung Rayori).
Kemudian di bedah oleh Narasumber Naomi Marasian (Direktur Pt. PPMA) , Yan Yap Ormuseray (Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua) ,John N.R. Gobay (Ketua Kelompok Khusus/POKSUS, DPR Papua) , Wika Rumbiak (Manajer Program Papua, WWF Indonesia) , Haris Azhar (Pendiri Lokataru) , di pandu oleh Septer Manufandu Fasilitator (Direktur Eksekutif JERAT) (nesta).