JAYAPURA – Solidaritas Organisasi Sipil untuk Tanah Papua mengelar aksi untuk mengungatkan siapa saja, baik orang biasa, mereka yang duduk di pemerintahan sekaligus pengendali Negara ini soal pelangaran HAM di Tanaj Papua.
Pelangaran HAM di Papua baik Sipil maupun Ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) telah berlangsung lama, bahkan dinilai oleh para pihak , salah satunya Jaringan Kerja Rakyat ( JERAT ) Papua sebagai pembiaran, tanpa upaya penyelesaian masalah.
Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua, sebuah NGO yang konsen dalam pendokumentasian isu-isu Ekosob di Papua. Perhatian kepada isu-isu HAM Ekosob dilakukan lewat pendokumentasian sebagai upaya melawan lupa bahwa di Papua ini pernah terjadi pelangaran HAM berat yang belum terselesaikan sampai hari ini.
Antara lain, pelangaran HAM Wasior, Wamena Berdarah, merupakan dua kasus HAM yang tak bisa diselesaikan, bahkan cenderung dibiarkan. Pada hal ini pelangaran HAM berat yang dilakukan Negara terhadap warga sipil Papua.
Menghilangkan lupa akan bebagai kasus HAM yang terjadi kembali dilakukan JERAT lewat aksinya bersama 11 NGO, selasa (13/6/2017). Aksi dilakukan dari Sentani hingga ke Waena Kota Jayapura. Aksi ini dikenal dengan aksi 13 Juni, oleh ALDP, SKPKC Fransisikan Papua, KPKC GKI Papua, GARDA Papua, Forum Independen Mahasiswa, LBH APIK, BUK, Pemuda Baptis dan Kopkedat Papua.
Aksi lewat photo ops di Sentani dan Jayapura dilakukan sejak 08.00 pagi.
Aksi 13 photo ops dilakukan untuk melawan lupa, lebih dari itu aksi mengigatkan semua para pihak bahwa pelangaran HAM juga disebabkan oleh investasi terhadap Sumber Daya Alam (SDA) yang terus dieksploitasi dalam skala besar di Papua.
Koordinator JERAT Papua, Wirya Supriyadi dalam keterangan pers usai aksi 13, Selasa (13/6) di Kantor JERAT Waena menyatakan, dalam konteks pemenuhan hak Ekosob warga Papua, menjadi kewajiban Negara yang perlu dikawal bersama dalam menyediakan tempat jualan representatif yakini Pasar Tradisional Pedagang Asli Papua yang diperjuangkan sejak 15 Tahun.
Untuk realisasi pembangunan Pasar Tradisional Mama Papua pemerintah diapresiasi oleh JERAT Papua, bagian ini merupakan perjuangan panjang dalam 15 Tahun belakangan.
“ Kami berharap Pemerintah Kabupaten di Tanah Papua bisa membangun Pasar Tradisional representativ bagi pedagang asli Papua”, ujur Wirya
Namun, peluang penyerapan tenaga kerja asli Papua sektor swasta juga hendaknya diakomodir sebagai bentuk perlindungan orang asli Papua disektor ekonomi.
Aksi 13 Juni 2017, lebih menitip beratkan pada perhatian akan pentingnya pengelolaan SDA Papua yang diikat dengan UU Otsus sebagai pijakan bagi kepala daerah di Kabupaten. Eksploitasi SDA terang Wirya Supriyanto, melibatkan koorporasi transaksional yang dilakukan sistematis.
Dari data yang dimiliki JERAT Papua, terdapat 441 perusahaan memiliki ijin untuk melakukan konsesi dilahan seluas 29.219.655 Ha. Sementara luas Tanah Papua adalah 43.242.550 Ha. Artinya, hampir separuh Tanah Papua telah dikuasai korporasi.
Mega Proyek Merauke Intergrated Food, Energi and Estate (MIFEE) teryata adalah kepentingan kapitalis dalam menyediakan pangan dan kebutuhan biofuel global dengan kebutuhan lahan sebesar 1,2 juta Ha.
Lalu adanya gugatan terhadap UU 32/2009 pasal 88. Apa yang dilakukan oleh kekuatan modal ini, harus dilihat sebagai upaya sistematis korporasi skala besar melawan konstitusi dan Udang –Undang Korporasi terus berupaya melemahkan Negara dan supermasi hukum melalui berbagai upaya.
Dalam pembelajaran selama ini, bahwasaya ada kecendurungan korporasi dan pemerintah mengabaikan hak masyrakat adat Papua.faktanya perampasan lahan trus terjadi sampai sekarang.
Catatan LBH Papua dalam pendampingan ke mayarakat adat Yerisiam Gua pada kasus perkebunan kelapa sawit di Nabire menemukan ijin usaha perkebunan (IUP) tumpang tindi diterbitkan 2008 oleh Gubernur Papua kepada PT. Nabire Baru sementara AMDAL yang diterbitkan oleh Pemerintah pada 2013 lalu;
Yang terbaru saat ini adalah, ketika masyarakat adat Keerom tiga suku, Abrab, Marap, dan Menem masih menuntuk hak atas tanah ulayat mereka yang dikuasai PT.PN II secara tidak bermartabat.
Suku Momuna di Yahukimo, melepaskan tanah adat seluas 8 Km x 8 Km ke Pemda Yahukimo dan dibayar Pemda Rp. 20 Milyar atau hanya dihargai Rp.315/ m2. Masyarakat suku Momuna di Dekai ini tak memiliki informasi yang cukup atau dapak yang mereka ketahui atau alami ketika hutan mereka dilepas digantikan sebuah kota.
Menurut Wirya, menjga kedaulatan pangan masyarakat Adat Papua menjadi penting ketika tanah tanah adat masyarakat beralih fungsi menjadi areal pertambangan, hak perrkebunan Hutan (HPH) dan perkebunan kelapa sawit telah mengancam kelangsungan dan eksetensi masyarakat adat.
Karena apa, karena hutan bagi masyarakat adat adalah “pasar” yang menyediakan segala kebutuhan mereka secara gratis, baik pangan, aksesoris budaya dan sebgainya. Ketika hutan tiada, dipastikan kehidupan masyarakat adat menjadi suram.
Dalam keterangan Pers JERAT bersama 11 NGO menolak investor/ pengusaha, ketika itu tidak berkontributor positif bagi masyarakat adat Papua, khususnya kontribusi dalam kelestarian lingkungan. Mengigatkan proses pembangunan dan investor tidak melalui proses baik dan benar, cenderung mengabikan otoritas dan hak ulayat dari para marga serta minim informasi seluas luasnya bagi masyarak adat Papua untuk memutuskan.
Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) dalam salah satu peryataan menyuruhkan ke Pemerintah pusat untuk segera selesaikan pelangaran HAM, termaksut membuka ruang demokrasi bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapat. Termasuk tidak mengunakan alat Negara dalam pengamanan ke perusahan tambang, kayu, perkebunan kelapa sawit dan sebgainya.
Solidaritas mendesak Pemerintah Pusat dan Papua selesaikan sengketa lahan yang mengarah pada konflik agrarian seperti dialami PT.PN II dengan suku Manem, Abrab, Manam di Keerom, kemudian yang dialami masyarakat adat Wate dengan PT. Kristalin Eka Lestari di Kampung Nifas Nabire.
Aparat diminta melakukan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak-hak mereka di seluruh Tanah Papua. (Ven/don)
Sumber : Koran Harian BINTANG PAPUA