Penanganan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Papua tergolong tinggi.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto mengatakan, jika dibandingkan dengan daerah lainnya seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Gorontalo, penanganan korupsi di Papua tak bisa diremehkan. “Bahkan di tiga wilayah itu, belum tersentuh KPK sama sekali,” tandasnya, belum lama ini.
Ia menjelaskan, Papua termasuk provinsi yang terindikasi memiliki kasus korupsi luar biasa. Pasalnya, dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dikucurkan untuk Papua sangatlah besar.
Bambang menuturkan, pihaknya akan tetap menindaklanjuti indikasi korupsi di daerah ini. Seperti kasus yang menjerat tiga kepala daerah dari Kepulauan Yapen, Boven Digoel dan Supiori. Ketiganya diduga menyalahgunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Wakil Ketua KPK ini juga menambahkan, ada dua kasus lainnya yang kini telah masuk dalam forum ekspose di KPK. Dua kasus itu merupakan hasil audit dari BPK Perwakilan Papua. “Itu jumlahnya sangat besar dan melibatkan mantan (pimpinan),” ujarnya. Sayang, Bambang tidak menjelaskan siapa mantan itu. “Karena tidak mungkin kami menyelidiki tanpa data yang jelas. Karena data saja tidak cukup untuk dijadikan bukti yang konkrit.”
Ditempat terpisah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengakui, sering terjadi fenomena aneh di Papua jika seorang pejabat dijerat kasus dugaan korupsi. “Kalau seorang pejabat digoyang kasus korupsi, dia akan memprovokasi masyarakat untuk berdemonstrasi.”
Menurut Abraham, ia telah menerima laporan dari Kepala Polda Papua terkait penanganan korupsi di Papua. Kapolda memintanya berkunjung ke kantor-kantor pemerintahan pada hari Kamis. Sebab, pada hari-hari menjelang akhir pekan, seluruh kantor pemerintahan kosong karena para pejabatnya terbang ke Jakarta untuk urusan pribadi.
Informasi yang diberikan kepada Abraham ini diperkuat dengan sejumlah bukti fisik. Salah satunya bukti pembayaran dari beberapa pejabat daerah di Papua saat menginap di hotel berbintang di Jakarta. “Saya tanya kenapa Kamis? Katanya Kamis semua kantor bupati kosong, semua pada ke Jakarta untuk berfoya-foya. Ada bukti pembayaran di Hotel Shangrila di President Suite,” ujar Abraham.
44 anggota DPR PB
Penanganan korupsi di bumi Cenderawasih juga terjadi di Propinsi Papua Barat. Kejaksaan Tinggi Papua menetapkan 44 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat menjadi tersangka diduga setelah menilap uang rakyat sebesar Rp22 miliar. Mereka menjadi tersangka bersama Sekretaris Daerah Provinsi PB.
“Kami menetapkan mereka sebagai tersangka, sesuai dengan bukti-bukti yang kami temukan berupa kuitansi transaksi keuangan, dokumen dan keterangan empat orang saksi,” ujar Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Hardjono Tjatjo, tahun lalu.
Semua tersangka dituduh telah menggelapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Papua Barat 2010 senilai Rp22 miliar. “Uang Negara Rp22 miliar dibagi-bagi kepada anggota Dewan oleh Sekda tanpa ada pertanggungjawaban kegunaannya,” kata Hardjono.
Modus penyalahgunaan dana APBD ini adalah: pemerintah Provinsi Papua Barat menyerahkan uang sebesar Rp100 miliar ke perusahaan daerah setempat yakni PT Papua Doberai Mandiri untuk dikelola. Namun, tidak lama kemudian setelah uang disetorkan, Sekda Papua Barat Marthen Luther Rumadas meminta sebagian uang tersebut, dengan alasan meminjam.
Awalnya, Mamad Suhadi Direktur PT Papua Doberai Mandiri berkeberatan – meski pada akhirnya pada 17 September 2010 dana dicairkan sebesar Rp15 miliar dan diberikan ke Sekda. Selanjutnya, pada 9 Febuari 2010 dana dicairkan Rp7 miliar.
Belakangan diketahui, uang itu ternyata dibagi-bagikan Sekda kepada 44 anggota DPR Papua Barat itu. ”Kami menilai indikasi penyalahgunaan dana terjadi, karena Sekda tidak ada niat mengembalikan dana itu sesuai dengan perjanjian. Dan ironisnya, setelah diselidiki, uang itu telah habis dibagi-bagikan ke anggota Dewan tanpa ada maksud dan alasan yang jelas.”
Korupsi berjemaah ini menjadi yang terbesar selama satu dekade di Papua Barat. Akibat Kelakuan konyol para wakil rakyat itu, 44 anggota itu diganjar dengan hukuman 15 bulan penjara dan denda Rp 50 juta. Salah satu yang ikut divonis adalah Ketua DPRD Papua Barat Yohan Yosep Auri. Selain Yohan, Wakil Ketua DPRD Demianus Idji dan Robert M. Nauw, serta mantan Sekda PB Marthen l. Rumadas, juga dinyatakan bersalah.
Perjalanan Korupsi
Pengalaman perjalanan peristiwa korup di Papua berulang dari tahun ke tahun. Korupsi dimulai dari hal yang kecil hingga melibatkan pejabat publik. Jumlahnya pun ribuan kasus. Misalnya pada 2010. Ketika itu, tim penyidik tindak pidana korupsi Polresta Jayapura memeriksa Ketua KPUD Jayapura, Hendrik Bleskadit terkait dugaan menggelapkan dana pemilu kepala daerah senilai Rp 3,2 milar.
Kapolreta Jayapura, AKBP Imam Setiawan saat itu mengatakan uang Rp 3,2 miliar yang disalurkan Pemda Kota Jayapura untuk membiayai Pemilukada, tak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya oleh KPUD.
Selain Hendrik, polisi juga sudah menginterogasi empat anggota KPUD Kota Jayapura yang diduga ikut terlibat dalam penyelewengan anggaran tersebut. Dana itu disebut sebut digunakan Bleskadit dan empat anggota KPUD untuk perjalanan dengan tujuan menyelesaikan kasus sengketa Pemilukada Kota Jayapura yang sempat mengalami penundaan selama tiga kali.
Dalam kasus lain, penegak hukum yang seharusnya mengawal korupsi, malah ikut nimbrung dalam masalah ini. Peristiwa itu terjadi pada 2010 ketika Kejaksaan menetapkan dua jaksa sebagai tersangka dugaan korupsi penjualan barang bukti di Merauke.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto ketika itu menyebutkan, dua jaksa itu adalah Edy Sutiyono (mantan Kepala Kejaksaan Negeri Merauke) dan Suparno (mantan Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Merauke). ”Kerugian negara sebesar Rp 663 juta,” kata Didiek.
Edy akhirnya dicopot dari jabatan terakhirnya sebagai Kepala Kejari Wonosobo (Jawa Tengah). Sementara Suparno dipindah menjadi jaksa fungsional pada Bidang Intelijen Kejagung.
Didiek mengungkapkan, dalam kasus ini, kedua tersangka telah melanggar Undang-Undang tentang Pelayaran dalam perkara tindak pidana perikanan atau illegal fishing. Yakni melakukan pelelangan barang bukti berupa enam kapal ikan dengan tidak sesuai prosedur. Pelelangan dilaksanakan di ruang kerja Kejari Merauke, dengan pelaksana Kepala Seksi Pidana Khusus. Uang hasil lelang juga tidak disetorkan ke kas negara.
Korupsi Dilakukan Orang Pandai
Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII Mahfud MD mengaku prihatin karena lebih dari 80 persen pelaku korupsi adalah lulusan perguruan tinggi.
“Bila dicermati, yang melakukan tindak korupsi kebanyakan orang-orang pandai yang hatinya tumpul. 80 persen koruptor merupakan sarjana. Ini membuktikan bahwa institusi perguruan tinggi di negara ini gagal mencetak lulusan yang berakhlak,” ungkap tokoh besar nasional itu.
Mahfud MD yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI menjelaskan, institusi perguruan tinggi saat ini hanya mencetak sarjana, tanpa disertai akhlak yang kuat. Imbasnya, saat menjadi pejabat atau petinggi politik, mereka melakukan tindak korupsi. “Sekarang ada ribuan orang pintar tetapi sedikit yang berakhlak. Fenomena ini yang harus segera diperbaiki dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi negera ini,” tegas Mahfud.
Menurut dia, sistem pendidikan di perguruan tinggi harus bisa membentuk generasi yang berwatak dan berakhlak. Ia beranggapan bahwa agama dan ilmu pedidikan tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, agama menjadi dasar aplikasi ilmu yang telah didapat. Ketika kombinasi keduanya terjalin dengan baik maka institusi pendidikan akan melahirkan para cendekiawan, yakni lulusan yang tidak hanya pandai, tetapi juga memiliki akhlak. “Bekal akhlak yang ditanamkan sejak dini akan melahirkan generasi antikorupsi,” pungkasnya.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)
Note :
Ingin mendownload postingan ini, silahkan klik icon PDF di sudat kanan bawah ini.