JERAT Papua – (Trend Analisa) Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia, untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli. Dalam ilmu hukum, secara formal dikenal sebagai Masyarakat Hukum Adat. Tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.
Menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada Kongres I tahun 1999 dan masih dipakai sampai saat ini, masyarakat adat adalah Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.
Pada tingkat internasional, ada sejumlah hak yang diberikan kepada masyarakat adat dalam beberapa dokumen internasional.
Pada 2007, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Adopsi ini menjadi titik puncak dari pembahasan dan negosiasi selama bertahun-tahun antara para pemerintah dan masyarakat adat. Deklarasi ini berisi kerangka yang sama bagi masyarakat internasional untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat (ILO). UNDRIP merupakan penegasan hak-hak kolektif masyarakat adat, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, persetujuan bebas tanpa paksaan, didahulukan dan diinformasikan atau FPIC, hukum adat, hak atas tanah dan sumber daya alam, hak-hak budaya, dan hak-hak yang lainnya. Indonesia pada tahun yang sama menandatangani Deklarasi tersebut.
Sementara itu, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) juga menggagas Konvensi ILO 169 tentang Masyarakat Adat (Konvensi ILO 169). Sejak itu, Konvensi ini telah diratifikasi oleh 20 negara. Di 20 negara itu, badan-badan pengawas ILO telah memantau dan membina proses pelaksanaan melalui pemeriksaan teratur atas berbagai laporan dan dokumen kepada pemerintah yang berkepentingan (ILO). Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah meminta Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 169 tetapi belum diratifikasi (DtE).
Selain dokumen-dokumen penting di atas, CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah dokumen yang penting bagi kaum perempuan. Dokumen ini diadopsi pada tahun 1979 oleh PBB. CEDAW menetapkan prinsip-prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Walaupun dokumen ini tidak berbicara tentang hak perempuan adat pada khususnya, dengan meratifikasinya pada tahun 1984, Indonesia mengakui adanya diskriminasi terhadap perempuan, termasuk perempuan adat.
Kehadiran masyarakat adat merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidak dapat dihindari atau bahkan di sangkal oleh Pemerintah (Noer Fauzi, 2000). Masyarakat adat merupakan segmen riil di dalam masyarakat Indonesia. Secara formal pengakuan atau penerimaan atau pembenaran adanya masyarakat adat di dalam struktur ketata-negaraan baru diatur dalam pasal 18 UUD 1945.
Masyarakat Adat di Papua
Masyarakat adat di Papua adalah masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
Dekasius Sulle, dari Badan Pertanahan Manokwari mengatakan, berdasarkan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (pasal 43, ayat 1 dan 2), Pemerintah wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku. Meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga hukum adat.
Penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat kata dia, diatur pemerintah melalui Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999, tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat. Peraturan ini menjelaskan, pemerintah mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada. Namun dibalik itu, Sulle mengakui jika selama ini implementasi aturan mengenai pengakuan hak adat ternyata belum nampak dalam kinerja pemerintah daerah, apalagi jika dikaitkan dengan masalah investasi.
Sulle berpendapat, Papua belum mempunyai Peraturan Daerah tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat. “Itulah sebabnya masyarakat tidak boleh menjual tanah sendiri-sendiri. Diharapkan pemerintah dan investor dapat memperhatikan hak-hak masyarakat ini”. “Harus ada MoU (perjanjian) antara masyarakat dan investor, yang mana mulai dari anak kecil hingga orang dewasa dapat mengolah hasil kekayaan alamnya dan mempunyai hak disitu,” tambahnya.
Meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan masyarakat adat dan pribumi, namun substansi yang ada dalam UU No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua membuka peluang besar orang asli Papua dan Masyarakat Adat untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses pembangunan di Tanah Papua.
Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat bukan saja agar memprioritaskan orang asli Papua sebagai subjek sekaligus objek pembangunan, tapi juga pemerintah daerah agar secara aktif mendorong keterlibatan masyarakat adat dalam proses-proses pembangunan. Hanya saja, luas dan jenis hak-hak masyarakat asli yang lebih terperinci tampaknya harus dipersiapkan dan dituangkan dalam peraturan-peraturan yang melengkapi. Apa dan siapa orang asli Papua serta Masyarakat Adat Papua harus diperjelas dalam sebuah peraturan daerah khusus sehingga subjek dan objek peraturan-peraturan daerah berikutnya menjadi jelas.
Untuk kepentingan itu, ada baiknya jika uraian tentang apa dan siapa orang asli (pribumi) Papua dan hak-hak masyarakat adat seperti yang tercantum dalam instrument internasional ini bisa menjadi acuan substantif. Dengan begitu, perlindungan hak-hak masyarakat asli tidak sekadar menjadi nilai dasar yang mati, melainkan benar-benar akan menjadi jaminan normatif bagi perlindungan masyarakat adat dan hak-hak mereka.
(DIP-JERAT/dari berbagai sumber)
Note :
Ingin mendownload postingan ini, silahkan klik icon PDF di sudat kanan bawah ini.