Program transmigrasi ke Papua telah dihentikan pemerintah. Apakah benar demikian?
Transmigrasi merupakan hal sensitif di Papua. Semakin banyak pendatang menetap, baik melalui program resmi yang disponsori pemerintah maupun ilegal, telah memberi ancaman tersendiri. Dampaknya adalah meningkatnya populasi warga yang bukan merupakan masyarakat adat Papua. Riset baru-baru ini mengindikasikan, jumlah transmigran ternyata sudah melebihi penduduk asli pada tahun 2010. Ironisnya, angka non Papua cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan warga pribumi.
Program transmigrasi awalnya bertujuan untuk memindahkan jutaan warga desa dari Jawa, Bali dan Madura ke ‘pulau-pulau luar’ yang kurang padat penduduknya. Program ini gencar dilaksanakan sejak tahun 1960an.
Di Papua, sama seperti di daerah perbatasan lainnya, transmigrasi dimaksudkan untuk memperkuat kendali dan pertahanan teritorial serta mengembangkan kekayaan alam daerah itu. Ada pula tujuan untuk ‘mengajarkan warga Papua bagaimana bertani’ selain usaha yang disengaja untuk mendorong penambahan penduduk guna ‘mempercepat pembangunan’.
Dalam konteks politik yang lebih luas, kekhawatiran terkait populasi ini berhubungan dengan pertanyaan mengenai status politik Papua dan bagaimana identitas Papua didefinisikan. Jika, pada akhirnya, terlaksana penentuan nasib sendiri di Papua, seperti apakah hasilnya, tentu akan diperdebatkan mengingat bahwa lebih dari setengah penduduknya adalah bukan merupakan orang asli. Selanjutnya, jika kriteria pemberian suara dikaitkan dengan identitas Papua, bagaimana identitas itu akan ditentukan? Siapa yang akan memiliki kewenangan untuk menjawab pertanyaan tersebut?
“Pemerintah provinsi lain di Indonesia masih menganggap (ada) program transmigrasi. Tapi tidak untuk Papua,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Papua, Yan Piet Rawar.
Untuk pengendalian penduduk di Papua, kata Yan, pemerintah sudah memiliki Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 11 Tahun 2013 tentang pengendalian penduduk. “Sehingga jumlah penduduk Papua mestinya 20 juta, baru bisa ada program transmigrasi.”
Ditambahkannya, Perdasi Nomor 11 Tahun 2013 bisa berhasil jika ada kerja sama dan koordinasi yang baik antara pemerintah kabupaten/kota se-Papua. Sebab, pemerintah provinsi hanya bisa membuat regulasi, sementara implementasi di lapangan adalah Pemda Kabupaten/Kota. “Dengan adanya penerapan e-KTP, data penduduk bisa diketahui akurat. Karena memang penduduk yang masuk ke Papua tidak bisa terdeteksi dengan baik,” katanya.
Daerah Transmigrasi Merauke
Salah satu contoh kawasan transmigrasi yang berada relatif cukup dekat dengan perbatasan negara lain adalah Salor, sebuah Kota Terpadu Mandiri (KTM) berada di Kabupaten Merauke. Penempatan transmigrasi di Merauke sebelum pelaksanaan reformasi memberikan kontribusi dalam perkembangan pembangunan Papua saat ini.
“Terjadi perubahan pendekatan pembangunan transmigrasi dari pendekatan perpindahan penduduk menjadi pengembangan kawasan, dengan memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah dan mendorong peran serta masyarakat,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (Dirjen P2KTrans) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jamaluddin Malik.
Sebelumnya, Jamaluddin Malik melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Merauke, pada tahun lalu. Kunjungan dilakukan dalam rangka pembinaan program pembangunan kawasan transmigrasi
Ia mengatakan, diperlukan dukungan semua pihak untuk pembangunan infrastruktur dasar disertai pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan, sehingga tercipta pusat perekonomian baru, pusat administrasi pemerintahan dan memacu percepatan pembangunan daerah.
Kawasan KTM Salor dibangun sejak 2009 dengan luas wilayah kurang lebih 96.340 Ha. Terdiri dari areal pembangunan dan pengembangan permukiman; 36.500 Ha serta areal untuk investasi perkebunan; 59.840 Ha.
Komoditas yang dikembangkan dengan skala ekonomis adalah padi, tebu dan palawija. Dalam pelaksanaannya, kawasan KTM Salor diintegrasikan bersama program MIFEE (Merauke Integrated Food dan Energy State) yang merupakan program pemerintah untuk memenuhi swasembada pangan nasional.
Menurutnya, permukiman transmigrasi yang sebagian besar ditempatkan di distrik Merauke, Semangga, Tanah Miring, Kurik, Malind, dan Jagebob telah berkembang menjadi desa-desa swasembada. Dari jumlah penduduk Merauke 246.852 jiwa atau 60.406 KK, kontribusi melalui program transmigrasi sebanyak 26.451 KK (43,79%).
Terlepas dari berbagai persoalan yang ada, jelasnya, program transmigrasi di Papua telah mampu memberikan manfaat bagi pembangunan daerah. “Bahkan hasil-hasil pertanian maupun jasa para transmigran telah mampu memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan daerah, sebagai contoh transmigran Timika bisa memasok kebutuhan pangan, sayur mayur, telur dan bahkan daging sapi untuk konsumsi perusahaan-perusahaan besar,” kata Malik.
Program Transmigrasi, lanjut dia, dalam kiprahnya mendukung pembangunan nasional, menjadi solusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut bisa terjadi dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun pelaksanaan transmigrasi. “Melalui transmigrasi, telah dibangun dan dikembangkan 3.325 desa baru. Terdapat 89 desa diantaranya berhasil dibangun menjadi ibu kota kabupaten. Sementara 235 desa lainnya berkembang menjadi ibu kota kecamatan.”
Catatan Penting Transmigran ke Papua
Meski mendatangkan manfaat tidak sedikit, transmigrasi (entah legal maupun ilegal) ke Papua, menuai banyak kecaman. Program transmigrasi disebut mengancam populasi antara orang asli Papua (OAP) dan pendatang.
Dalam keadaan seperti itu, usaha kecil dan menengah pun makin dikuasai oleh warga non asli, sementara OAP hanya bisa gigit jari. Berikut catatan penting masuknya transmigran ke Papua sejak tahun 1990.
Pada tahun 1990, target lima tahun pemerintah saat itu adalah, mengirim sebanyak 29.905 keluarga ke Papua. Alhasil, meskipun disetujui, banyak diantara transmigran tidak dapat menghuni rumah-rumah di sejumlah kawasan permukiman. Pada 1992, di Merauke misalnya, 163 keluarga meninggalkan lokasi transmigrasi karena kurangnya persiapan dan kondisi kekeringan.
Angka resmi transmigrasi ke Merauke sejak tahun 1964 adalah 12.064 keluarga plus 1.712 keluarga lokal yang menetap di lokasi baru. Walaupun terdapat masalah, Departemen Transmigrasi memperkirakan bahwa Merauke masih memiliki potensi untuk mengakomodasi 100.000 keluarga dalam ‘kawasan segitiga transmigrasi’ seluas 1,2 juta hektare. Terdapat rencana untuk membangun waduk besar di Sungai Digul untuk menyediakan irigasi, yang akan selesai dalam waktu 25 tahun.
Pada 1996, diturunkan sebuah kebijakan baru untuk Papua. Bahwa masyarakat adat Papua tak lagi tinggal bersama transmigran. Warga asli tetap menempati kampung mereka. Tujuannya adalah untuk mempercepat pembangunan. Setahun setelah itu, Menteri Transmigrasi Siswono menyatakan, Papua memiliki “terlalu sedikit penduduk”. Pernyataan ini memicu protes besar. WALHI memperingatkan bahwa warga Papua akan menjadi minoritas di tanah mereka dan mendesak agar program transmigrasi dihentikan.
Program transmigrasi yang terus berjalan, kemudian mulai dikurangi pada pertengahan dekade lalu. Salah satu faktor penting pengurangan itu adalah, adanya desakan dari Pemerintah Papua agar program pengiriman transmigran ke Bumi Cenderawasih dihentikan. Pasca ajuan itu, jumlah penduduk asli dan non asli, telah berimbang, yang tentu saja tak lagi bisa dikurangi.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)