Setelah pendidikan dan kesehatan, sektor pariwisata kini menduduki peringkat ketiga terus terpuruk
Objek wisata di Papua telah dikenal hingga penjuru bumi. Mulai dari wisata alamnya yang indah, sejarah, budaya serta kulinernya yang lezat. Ada juga wisata khusus, seperti kerajinan, arsitektur khas dan banyak lagi.
Selain alam dan budaya, bakat menyanyi orang Papua ternyata bisa juga jadi komoditi wisata. “Itu salah satu kehebatan orang Papua. Suara mereka itu memang diberikan sejak lahir, naturally beautiful (indah secara alami, red),” kata Aris Sudibyo, pemimpin koor yang meraih medali emas di Olimpiade Paduan Suara Internasional di Australia musim panas 2008.
Namun sayangnya, keindahan itu tak selalu sejalan dengan grafik keterpurukan yang menimpanya. Berbicara budaya, karya seni asli Papua ternyata nyaris ‘terpinggirkan’. Di sisi lain, Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua belum juga mengatur tentang usaha perlindungan karya-karya seni dan budaya masyarakat Papua.
Pengawas Kebudayaan dan Kesenian Papua, Fhilip Ramandey, di Biak, mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua bersama DPR Papua harus segera mengesahkan Peraturan Perlindungan Karya Seni Budaya Papua dan Perdasus sebagai bentuk proteksi dalam menjaga keaslian budaya Papua. “Ketika Belanda menguasai Biak, telah ada pengakuan perlindungan budaya asli Papua. Tapi, sekarang tidak ada peraturan daerah yang melindungi karya seni di Papua,” kata Ramandey.
Ia mengatakan, pembentukan Perdasus dan Perdasi untuk perlindungan karya seniman di Papua sangat mendesak. “Jangan sampai terjadi negara lain mengklaim seni budaya Papua, baru kita pusing memikirkan usaha perlindungannya.”
Wisata Selam
Lain budaya, lain juga wisata bahari. Misalnya di Pulau Karang, Biak. Sayangnya, disana, dari 85 lokasi selam, 40 diantaranya telah rusak akibat pengeboman ikan oleh para nelayan. Ditempat ini, terdapat berbagai jenis terumbu karang dan biota laut yang indah. Kunjungan wisatawan ke wilayah ini rata-rata 3.000 turis asing dan domestik per tahun.
Dulu, Bupati Biak Numfor, Yusuf Maryen pernah mengatakan, kegiatan para nelayan tidak dapat ditoleransi lagi. Mereka menggunakan potasium dan bahan peledak untuk meraup untung. “Sangat disayangkan, pengeboman itu justru terjadi di lokasi wisata selam yang selama ini sebagai obyek wisata,” ujarnya.
Selain bahari, Biak Numfor juga menyimpan obyek wisata sejarah seperti peninggalan Perang Dunia II berupa senjata tentara Jepang, goa untuk persembunyian, bom-bom tua, baju loreng, granat, dan sejumlah peralatan perang lainnya.
Aktivis lingkungan, Lindon Pangkali menyatakan, kerusakan terumbu karang tidak hanya di Biak Numfor, namun juga di Kabupaten Raja Ampat. Proses perusakan terjadi sejak tahun 1990-an. “Sekitar 40 persen terumbu karang di daerah itu mengalami rusak berat, dan untuk memulihkan dibutuhkan waktu sampai 10 tahun lagi,” papar Lindon.
Kepulauan Raja Ampat terdiri dari beberapa gugusan pulau besar, diantaranya Pulau Waigeo, Salawati, Batanta, Misool, dan Pulau Kafiau. Gugusan pulau kecil diantaranya Gam, Gaag, Kawe, Sayang, Ayau, dan Pulau Asia. Di tahun 2002, di daerah ini telah teridentifikasi 450 jenis terumbu karang. Itu berarti setengah dari jenis karang di dunia terdapat di Raja Ampat.
Merajut Kembali
Pembangunan pariwisata di Papua memang tak berjalan mulus. “Kondisi inilah yang membuat pembangunan sektor ini belum berkembang sesuai yang diharapkan,” kata mantan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Papua, Elly Weror.
Ia menghimbau masyarakat Papua yang memiliki hak ulayat di lokasi-lokasi obyek wisata agar ikut menunjang pembangunan pariwisata sehingga bisa berkembang seperti daerah-daerah lainnya di luar Papua “Pengelolaanya tetap diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat,” kata Weror.
(Jerry Omona/Dari Berbagai Sumber)
Note :
Ingin mendownload postingan ini, silahkan klik icon PDF di sudat kanan bawah ini.