JERATPAPUA.ORG, Jakarta, – Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua hari ini mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk membahas pelanggaran HAM di Papua dan kebijakan pemerintah pusat yang kurang melibatkan partisipasi orang asli Papua. Salah satunya adalah pemekaran provinsi Papua sehingga saat ini mendapat protes penolakan yang meluas di Papua.
“Saat ini kami mengajukan uji materi terhadap UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU Nomor 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pengesahan UU ini dilakukan tanpa pertimbangan MRP. Tanpa konsultasi dan partisipasi dari orang asli Papua. Bahkan materi UU ini sangat melemahkan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Kami meminta Komnas HAM mendukung permohonan kami di MK,” kata Wakil Ketua I MRP Yoel Luis Mulait di Jakarta, 11 Maret 2022
Selain Yoel, dalam kunjungan ke Komnas HAM, MRP juga diwakili oleh Ketua Tim Kerja Otsus MRP Benny Sweny, dan didampingi oleh perwakilan DPN Peradi RBA Saor Siagian, Rita Serena Kalibongso, dan Muniar Sitanggang. Selain itu, pertemuan itu juga dihadiri oleh perwakilan Amnesty International Indonesia yang diwakili oleh Usman Hamid, Nurina Savitri, dan Wirya Adiwena, serta Muhammad Haikal dari Public Virtue Research Institute. Mereka menemui Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara pada Jumat, 11 Maret 2022.
Ahmad Taufan Damanik menjelaskan bahwa alam waktu dekat, Komnas HAM berencana untuk memberikan pendapat hukum kepada Mahkamah Konstitusi perihal hak-hak orang asli Papua yang terlanggar oleh proses pengesahan UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU Nomor 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
“Senin, 15 Maret, kami akan bahas dengan tim khusus perihal revisi kedua UU Otsus tersebut dalam rangka menimbang perlunya surat keterangan dari Komnas HAM selaku lembaga negara yang independen untuk memberikan pendapat ahli kepada MK terkait dengan tidak adanya partisipasi orang asli Papua dalam pembuatan UU tersebut dan materi yang diduga melanggar hak-hak orang asli Papua dalam kerangka Otonomi Khusus,” kata Ahmad.
“Jadi kami mendukung kunjungan MRP ke Komnas HAM. Kami juga meminta Komnas HAM agar ikut mengkaji kebijakan pemerintah pusat yang menjadi akar penyebab terlanggarnya hak-orang asli Papua, termasuk melalui perubahan kedua UU Otsus yang menegasikan peran MRP, menghapuskan hak partisipasi politik melalui partai lokal, dan masih mementingkan kepastian hukum bagi pengusaha daripada orang asli Papua. Itu diskriminatif, inkonstitusional, dan melanggar kesepakatan politik yang tertuang di mukadimah UU Otsus,” kata Usman.
Komnas HAM diminta bukan cuma menyelidiki pelanggaran HAM secara konvensional, tapi juga mencari akar masalah dari berulangnya kekerasan. Salah satunya adalah inkonsistensi Otonomi Khusus. Banyak yang belum ditepati. Komisi HAM, KKR dan Pengadilan HAM di Papua tidak pernah dibentuk. Sekarang pasal-pasal penting dalam UU Otsus itu diubah.(nesta)