Kerusakan hutan mangrove di kawasan Pantai Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua. Foto Musa Abubar
Kerusakan hutan mangrove di kawasan Pantai Holtekamp, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua. Foto Musa Abubar

Kawasan hutan mangrove Papua, merupakan yang terluas di dunia. Ironis, dalam beberapa dekade, luasannya terus tergerus.

Kerusakan mangrove terjadi di beberapa tempat, seperti di Pantai Holtekamp, Jayapura. Seluas 200 hektar dirusak eksavator milik PT. Bintang Mas pada 2001. Masih di Jayapura, masyarakat adat di Entrop, Hamadi, dan Kampung Enggros mengeluhkan hutan mangrove seluas 500 hektar dibabat pengusaha dan pemerintah demi pembangunan.

Kerusakan sama terjadi di Kabupaten Kepualuan Yapen. Sejak, 1999, Dinas Perikanan dan Kelautan, membabat habis 1.000 hektar lebih mangrove di Kampung Ansus, Distrik Yapen Barat.

Dinas Kehutanan Papua, hanya memegang data lahan mangrove seluas 1.053.843 hektar, itupun diperoleh dari Bali. Lahan itu tersebar di Kabupaten Asmat 283.774,77 hektar, Biak Numfor 6.185,55, Jayapura 58,99, Kepulauan Yapen 3.567,93, Kota Jayapura 362,37, Kabupaten Mappi 49.902,78, Merauke 259.595,53, Mimika 245.713,87, dan Nabire 155.444,49 hektar.

Mantan Kepala Dishut Papua, Marthen Kayoi mengatakan, sampai saat ini penanganan mangrove masih di bawah pengawasan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Bali. Balai ini terbentuk sejak 2007 berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.4/Menhut-II/2007 sebagai unit pelaksana teknis yang mengelola mangrove dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal BPDAS-PS.

Balai tersebut menjalankan lima fungsi antara lain, program rehabilitasi, perlindungan, pengawetan dan pemantauan lestari hutan mangrove. “Kalau kami mau mengetahui tentang kerusakan atau penanganan, harus minta data ke Bali. Tapi, cukup sulit.”

Meski demikian, Kehutanan Papua tak tinggal diam. Marthen mengatakan, pemerintan terus berupaya menyelamatkan mangrove dengan penanaman dan pengelolaan. “Sudah ada dua daerah yang pernah kami tentukan untuk jadi fokus. Masing-masing Asmat dan Waropen.”

Sekretaris Kadin Kehutanan Provinsi Papua, Karsudi menjelaskan hingga kini pihaknya masih kesulitan mengawasi kerusakan mangrove (bakau). Ia juga mengaku, Papua penuh mangrove, namun susah dikontrol. “Karena, Kehutanan Provinsi Papua, sampai saat ini belum bertanggung jawab penuh untuk mengawasi bakau,” katanya.

Menurutnya, pengawasan mangrove di Papua masih di bawah Pengawasan Balai Pengelolaan Hutan Mangrove di Bali. Karsudi menyarankan, seharusnya dibentuk badan khusus di wilayah paling timur Indonesia ini untuk mengawasi dan melestarikan bakau.

Deputy Chief of Party USAID  Indonesia Forest and Climate Suport (IFACS), Nevile Kemp mengungkapkan, kawasan mangrove Papua merupakan yang terbesar setelah Sundarbans. “Sehingga ini perlu dijaga karena sudah mulai ada investor yang masuk,” ujarnya.

Dikatakannya, untuk dapat melestarikan SDA yang dimiliki, diperlukan adanya hubungan kerjasama yang baik antara semua pihak, baik swasta maupun pemerintah daerah. “Semua stakeholder diharapkan dapat berperan penting menjaga kelestarian mangrove demi masa depan,” ungkapnya.

Nevile mengatakan, USAID IFACH sudah melakukan berbagai kegiatan sesuai program untuk melindungi bakau.

Hutan bakau atau disebut juga mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.

Kawasan Bakau di Merauke

Kawasan hutan bakau di Merauke terdapat misalnya di pesisir pantai Kampung Nasem, Distrik Merauke dengan Dusun Ndalir, Distrik Noukenjerai. Kala, musim panas, di kawasan pesisir ini banyak burung dari penjuru dunia berkumpul. Mereka mencari makan di pantai. Namun, sejak 1990-an, penambang pasir, di Kali Ndalir, Kampung Nasem, mulai merusak pantai.  Akibat penambangan ilegal itu, bukan saja pantainya menyusut, namun juga menghilangkan bakau.

Ia meminta pemerintah memberikan pencerahan kepada warga agar dapat menjaga pantai dan hutan bakau. “Masyarakat disini sangat terganggu dan terancam dengan penggalian pasir ini.”

Secara adat, katanya, penggali pasir ilegal telah merusak ‘kandungan ibu’. “Pemerintah Merauke harus tegas memberi sanksi. Merasa anak asli Marind, jangan jual atau gali pasir karena merusak adat.”

Hasan Matdoan, Kepala Distrik Merauke mengungkapkan, penggalian telah dilarang tetapi selalu dilanggar. Titik rawan penggalian itu di Kampung Buti hingga Kampung Nasem dan Dusun Ndalir.  “Masih berjalan di malam hari, atau siang saat petugas tidak ada.”

Dia membenarkan, jika penggalian pasir dibiarkan, air laut bakal masuk ke Rawa Dogamit dan ke Danau Rawa Biru. Padahal, Danau Rawa Biru merupakan pusat air bersih satu-satunya di Merauke.

Sebaliknya dari Merauke, di Jayapura, sekelompok pemuda melestarikan hutan bakau dan menjaga pantai. Komunitas pecinta lingkungan dari Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG) terus menggelar berbagai kegiatan peduli lingkungan, termasuk menanam bakau di Hamadi.

Aksi itu dilakukan mengingat keberadaan mangrove di Kota Jayapura mulai terancam akibat pembangunan besar besaran.

Ketua Forum Peduli Port Numbay Green, Fredy Wanda mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk menyelamatkan lingkungan serta melindungi Teluk Youtefa juga Teluk Humboldt. “Kita sejak tahun 2009 fokus untuk penyelamatan Teluk Youtefa, karena beberapa titik telah mengalami abrasi, termasuk mangrove yang semakin terancam karena ulah manusia serta pembangunan yang tidak melihat kondisi lingkungan,” ungkapnya.

Menurut Wanda, kesadaran warga menjaga lingkungan sangat kurang.  “Kita tanam, tetapi kalau tidak dijaga, juga sama saja. Penanaman dilakukan di Teluk Youtefa.”

Lanjut Wanda, kegiatan tersebut selain diikuti oleh Forum Peduli Port Numbay Green juga oleh Club Pecinta Alam (CPA) Mangrove, Komunitas Trakos, Komunitas Mancing Dinas Kehutanan Provinsi Papua dan mahasiswa.

Staf Ahli Wali Kota, Leonard Lahallo, SE menambahkan, kegiatan penanaman sejalan dengan program penghijauan yang digalakkan Pemkot Jayapura. “Wali Kota bersama SKPD ingin menjadikan kota ini menjadi rimbun dengan pepohonan, lingkungan harus terjaga seperti dulu.”

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *