Wartawan Prancis, Valentine Bourrat dan Thomas Dandois. Foto majalahselangkah.com
Wartawan Prancis, Valentine Bourrat dan Thomas Dandois. Foto majalahselangkah.com

Tertangkapnya dua wartawan Prancis, Valentine Bourrat dan Thomas Dandois, sekali lagi memberi alasan, Papua masih tertutup bagi jurnalis asing. Kecaman atas ditahannya dua pekerja pers tersebut terus saja mengalir.

Salah satunya datang dari lembaga pegiat hak-hak jurnalis yang memonitor kebebasan media; Reporters Without Borders. Menurut mereka, kasus ini telah mencoreng wajah Indonesia sebagai negara demokrasi modern. Reporters Without Borders bahkan meminta agar masyarakat mengisi petisi yang menuntut pembebasan Bourrat dan Dandois.

Di Indonesia, kasus wartawan asing yang ditahan karena pelanggaran visa jarang terjadi. Kalaupun ada, wartawan yang melanggar umumnya dideportasi. “Wartawan asing yang meliput di Papua memang harus mendapat izin khusus karena kebijakan keamanan di Papua sebagai wilayah otonomi,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan.

Kekhawatiran pemerintah terhadap keamanan di Papua, tak terelakan. Hal ini diakui oleh pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti. “Ya karena Indonesia khawatir, bahwa kemudian persoalan Papua itu dapat menjadi persoalan internasional seperti dalam kasus Timor-Timur,” ungkap Ikrar.

Di tempat lain, Ketua Dewan Pers Bagir Manan meminta dua jurnalis Prancis yang diduga terlibat dengan kelompok separatis di Papua untuk dideportasi. “Memang ada ketentuan untuk visa, penyalahgunaan visa ditindak wilayah hukum administrasi saja. Dewan Pers membatasi ini hanya permasalahan keimigrasian,” katanya.

Menurut Bagir, keduanya perlu dibebaskan karena kepolisian tidak memiliki cukup bukti atas keterlibatan mereka dengan kelompok kriminal bersenjata. Setelah dibebaskan, langkah yang perlu diambil pemerintah adalah mendeportasi mereka lantaran tidak menggunakan visa semestinya. “Bagi kami, setiap wartawan berhak mendapatkan perlakuan sebagai jurnalis sesuai perundang-undangan di Indonesia.”

Sebelumnya, dua jurnalis media televisi ArteTV asal Prancis, Thomas Charles Dandois dan Marie Valentine Bourrat, ditangkap atas dugaan memiliki keterlibatan dengan kelompok bersenjata di Papua pada 6 Agustus 2014. Thomas dan Valentine diduga memiliki keterkaitan dengan penembakan di Lanny Jaya, Papua, karena sempat menemui masyarakat lokal sebelum peristiwa terjadi. Polisi juga mendapatkan fakta bahwa keduanya hanya berbekal visa turis dalam menjalankan tugas peliputan di Papua.

Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) turut mengecam penahanan Dandois dan Bourrat. Ketua AJI Eko Maryadi dalam konferensi pers di Kantor Dewan Pers di Jakarta mengatakan penahanan kedua jurnalis itu tidak sesuai dengan iklim kebebasan pers yang didengungkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“AJI menilai aktivitas jurnalistik yang dilakukan Thomas dan Valentine tidak salah karena Indonesia adalah wilayah bebas, dan Papua tidak pernah dideklarasikan oleh pemerintah Indonesia sebagai wilayah dengan kondisi tertentu,” kata Eko.

Menurut Eko, terdapat inkonsistensi penanganan oleh otoritas Indonesia terkait kasus Thomas dan Valentine. Karena sepanjang 2012-2013, ada tujuh jurnalis asing yang ditangkap di Papua, namun mereka segera dibebaskan dan dideportasi.

Thomas dan Valentine ditangkap atas dasar Pasal 122 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Imigrasi. “AJI menggarisbawahi bahwa satu-satunya hal yang bisa dianggap kesalahan adalah mereka masuk ke Papua dengan visa turis, bukan visa jurnalis.”

AJI juga menuntut pemerintah Indonesia agar memperjelas proses pemberian izin peliputan jurnalistik secara bebas di wilayah Indonesia, khususnya Papua. “Ini penting karena peran media adalah untuk mendapatkan cerita yang tidak `one-sided story` (cerita dari satu pihak),” kata Eko.

Kuasa hukum Thomas dan Valentine, Aristo Pangaribuan dari Firma Hukum Lubis, Santosa dan Maramis, mengatakan, tempat kedua jurnalis itu bekerja telah memberikan jaminan tidak akan memproduksi dan mendistribusikan materi-materi yang sekiranya dapat mendiskreditkan reputasi Indonesia di dunia internasional.

Kedutaan Besar Prancis di Indonesia juga telah memberikan jaminan bahwa Thomas dan Valentine adalah jurnalis dan tidak terlibat organisasi makar manapun, serta akan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Wartawan Prancis, Valentine Bourrat dan Thomas Dandois. Foto www.bbc.co.uk
Wartawan Prancis, Valentine Bourrat dan Thomas Dandois. Foto www.bbc.co.uk

Dandois dan Valentine sebelum ditangkap, disebut sedang melakukan tugas liputan yang diberikan rumah produksi Memento dan kantor berita Arte TV, Perancis. Keduanya sedang membuat film dokumenter berjudul ‘Papua New Guinea’ yang terkait dengan pengambilan kondisi sosial dan budaya di Papua.

“Liputan ini akan menceritakan tentang keadaan soasial dan kebudayaan masyarakat Papua secara umum. Film dokumenter ini direncanakan akan ditayangkan dalam program mingguan Arte Tv,” kata Aristo.

Untuk tujuannya tersebut, keduanya meliput situasi dan pemandangan Kota Raja Ampat, Papua Barat. Kemudian, melanjutkan peliputan mengenai situasi dan pemandangan di Kota Jayapura.

Mereka, lanjut Aristo, seharusnya melakukan peliputan di wilayah Wamena dan sekitarnya. Termasuk mengenai kejadian baku tembak yang melibatkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Pirime. Namun, mereka justru ditangkap oleh Kepolisian tidak lama setelah menemui masyarakat lokal atas dugaan keterlibatan dengan kegiatan kelompok kriminal bersenjata.

“Kita sudah kirimkan bukti-bukti yang menyatakan dia adalah jurnalis kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM,” ujarnya. Walau demikian, kedua wartawan asing tersebut dikenakan dugaan penyalahgunaan fungsi visa.   

 

Dilimpahkan ke Kejaksaan

Meskipun dikecam oleh berbagai pihak, pihak berwenang Indonesia tetap memproses berkas perkara Thomas dan Valentine. Berkasnya, kini sudah P21 alias dinyatakan lengkap. Keduanya tinggal menunggu jadwal sidang.

Kepala Imigrasi Kelas 1 Jayapura, Gardu D. Tampubolon,  mengatakan setelah dinyatakan lengkap atau P21 oleh pihak kejaksaan, selanjutnya tinggal menunggu persidangan. “Barang bukti sudah lengkap,” kata Gardu.

Namun, sambil menunggu jadwal sidang, untuk sementara kedua jurnalis Prancis tersebut akan dibawa kembali ke Kantor Imigrasi dengan status sebagai tahanan titipan jaksa.   

Dalam berkas tersebut, Thomas dan Valentine didakwa melanggar Undang-Undang Imigrasi dengan ancaman kurungan lima tahun dan denda Rp500 juta. Barang bukti yang telah diserahkan ke JPU antara lain rekaman audio, video, laptop,  dan telepon genggam.

Juru Bicara Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Pudjo Sulistyo, mengatakan kedua jurnalis asing itu telah melanggar ketentuan dan perundang-undangan di Indonesia. “Warga asing tidak boleh melakukan kegiatan tanpa izin di Indonesia, karena setiap negara memiliki aturan sendiri. Apalagi ini berhubungan dengan pemberontak yang mengancam kedaulatan negara, tentu salah.”

Mengenai desakan deportasi, Pudjo mengaku tidak setuju. Menurut dia, deportasi hanya berlaku kepada warga wasing yang habis izin tinggal. “Nah, ini kesalahannya bukan seperti itu, tapi berhubungan dengan pemberontak. Jelas diproses hukum sesuai yang berlaku di Indonesia,” katanya.

 

Minta Maaf

Thomas dan Valentine akhirnya meminta maaf secara tertulis pada pemerintah Indonesia. Permintaan maaf tersebut disampaikan melalui kuasa hukumnya Aristo Pangaribuan. “Mereka berjanji untuk tidak menggunakan informasi apapun yang mereka peroleh di Papua dan tidak akan melakukan liputan yang berbau propaganda,” kata Aristo.

Dikatakan Aristo, liputan Thomas dan Valentine, intinya seputar keindahan di Raja Ampat, Papua Barat dan Festival Lembah Baliem di Wamena. Selanjutnya, mereka juga meliput baku tembak di Distrik Pirime yang melibatkan kelompok separatis. “Dalam kasus ini, masih ada sanksi administratif, yakni memulangkan kedua jurnalis tersebut,” kata Aristo.

 

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *