Ia salah satu pemikir Papua yang disegani. Pernah diteror, bahkan masuk dalam daftar hitam militer.
Benny Giay, lahir di Onago, sebuah desa di dekat Danau Tigi pada 12 Januari 1955. Onago, Distrik Wakeitei, sekarang merupakan bagian dari Kabupaten Paniai. Onago merupakan kampung besar, dengan tujuh submarga. Orangtuanya merupakan kelompok masyarakat pertama yang masuk Kristen.
Benny seorang teolog, antropolog sosial, dan aktivis, yang dikenal karena perjuangannya mendorong rekonsiliasi melindungi hak-hak orang Papua.
Ia menjalani hidup yang pelik. Giay pernah bersekolah SMP di Tiom. Pada 1971, ia melanjutkan pendidikan pelatihan guru, juga di Tiom, dan belajar beberapa tahun disana. Pada tahun 1974, Benny melanjutkan kuliah di Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura. Dari tahun 1980 sampai 1983, ia belajar lagi untuk meraih gelar Master of Divinity di Theological Seminary Asia, di Manila, Filipina. Setelahnya, dia ditahbiskan sebagai pendeta di Gereja Kemah Injil (Kingmi), yang didirikan oleh Christian and Missionary Alliance.
Pada tahun 1983, Benny lalu diangkat sebagai dosen di Jaffray Theological College di Makassar, Sulawesi Selatan. Dan selama tiga tahun, ia pernah pula mengajar mata kuliah bagi para pendeta di Kalimantan. Pada tahun 1987, Giay kembali ke Papua untuk bekerja sebagai pendeta. Dia ikut menggagas pembentukan Walter Pos Theological College di Jayapura.
Benny yang dikenal kritis, menempuh studi doktornya di bidang antropologi sosial di Universitas di Amsterdam, pada 1990. Dalam masa itu, ia pernah ke Papua pada Juni 1991 sampai Maret 1992 untuk penelitian lapangan. Penelitian Benny difokuskan pada peran agama dan iman Kristen di masyarakat Papua. Ia juga meneliti gerakan-gerakan keagamaan baru, khususnya pada kultus kargo dalam konteks Papua. Istilah ini sebelumnya dianggap menghina, karena menyudutkan orang Papua sebagai manusia primitif.
Di Belanda, Rev. Jasper Slob dan Peter Kloos sangat membantu dirinya. Kloos pernah menjadi professor di University of Leiden, namun kemudian diangkat menjadi professor di Free University.
Benny lulus pada tahun 1995 dengan berhasil menyusun disertasi mengenai gerakan keagamaan baru yang dipimpin oleh Zakheus Pakage. Beberapa kerabat Giay bergabung dengan gerakan ini. Giay melihat usaha itu sebagai cara yang sah untuk mendamaikan budaya tradisional dan Kristen, meskipun sebagai anggota Gereja Kingmi Papua, ia juga mengkritisi hal itu. Giay meminta pengikut Pakage tidak menutup diri dari diskusi tentang kebenaran Kristen terhadap gereja-gereja lain.
Hasil penelitiannya tersebut, dirilis sejumlah surat kabar di Belanda. “Ada sekitar tiga surat kabar. Saya merasa menjadi bagian dari masyarakat Belanda, khususnya Zendinghuis (tempat dimana saya dan keluarga tinggal waktu saya belajar di Universitas),” kata Benny.
Dimasa pelayanannya, Benny terlibat dibanyak kegiatan. Ia mendukung penuh gereja agar aktif mendukung hak asasi manusia. Ia juga sempat menjadi juru bicara Papua, yang menjadi korban penindasan oleh pasukan keamanan Indonesia. Dia menganjurkan teologi yang terinspirasi oleh para teolog pembebasan.
Pada tahun 1995 setelah studinya di Belanda, Giay menjadi dosen di Walter Pos dan mendirikan Program Pascasarjana. Pada Juli 1998, ia mengambil langkah membangun Forum Rekonsiliasi Irian Jaya (FORERI). Pada tahun 2000, Benny terpilih oleh Kongres Papua II di Jayapura menjadi anggota Presidium Dewan Papua. Kongres ini, dengan perwakilan dari seluruh Papua, diperdebatkan oleh pemerintah Indonesia. Benny salah seorang yang mensupport perubahan misi Papua menjadi perjuangan tanpa kekerasan.
Pada konferensi Sinode Gereja Kemah Injil, pada tahun 2010, Benny terpilih sebagai ketua Sinode.
Bekerja tanpa lelah
Benny bekerja tanpa lelah mendamaikan konflik di wilayah yang telah menewaskan puluhan ribu jiwa. Kisahnya penuh keberanian, dan visi cerdas.
Ia juga seorang penulis produktif. Di beberapa kesempatan, ia menghasilkan berbagai buku dan artikel tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belakangan, tulisan-tulisannya itu dilarang beredar. Pemerintah Indonesia bahkan memasukkan dirinya dalam daftar hitam yang patut dicurigai di tahun 2000. Selain Benny, yang juga di black list adalah Octo Mote, Willy Mandowen, Tom Beanal, dan Herman Awom. “Ada sepucuk surat dari militer Indonesia di Jakarta, dan intelejen, yang menyatakan bahwa lima orang pemimpin rakyat Papua dilarang untuk meninggalkan Papua. Semuanya masuk dalam daftar hitam,” ujarnya.
Benny bahkan dicekal setahun lebih. “Sampai kemudian saya mendengar Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, melakukan intervensi pada bulan Juni 2000. Saya mengetahuinya dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Gilbert.”
Benny mempunyai seorang istri bernama Mari. Istri pertamanya, Rukiah, meninggal tahun 1999. Bukanlah hal yang mudah bagi Mari untuk bersatu bersama Benny sebagai sebuah keluarga. “Ia seorang perempuan kuat. Anak perempuan saya, Libby dan Ligia – mereka juga sangat kuat,” tuturnya.
“Kami berdoa hampir setiap waktu agar Tuhan memberi pertolongan, agar kami makan berkecukupan dan tidak kelaparan. Sesudah berdoa. Kami bekerja, dan, itulah intinya.”
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)