Leo menambahkan, populasi penduduk asli kian menyusut, sementara di sisi lain, pendatang terus membanjiri Papua. “Hari ini jumlah penduduk asli Papua dibanding pendatang sangat jauh. Tak ada data pasti soal itu, tapi kami menduga ada suatu kebijakan sistematis dan didorong untuk marjinalisasi serta pemusnahan masyarakat Papua,” kata Leo.
Leo berharap Komisi I bisa turut berperan dalam mencari solusi untuk memastikan orang Papua akan punya masa depan bersama Indonesia. “Rekomendasi sudah disampaikan. DPR pun telah banyak mendapat masukan. Semoga saja memberi harapan,” kata Leo.
Dialog dengan masyarakat Papua mesti dilakukan untuk mengetahui masalah yang dirasakan sekaligus menjadi dasar kebijakan menuntaskan problem. Namun sebagian besar persoalan yang mengganjal itu adalah soal status politik Papua terhadap Indonesia dan kekerasan serta pelanggaran HAM. “Saya ingin tekankan, masalah status politik dan kemanusiaan harus disoroti, sehingga komunikasi politik ke depan menggunakan pertimbangan hati nurani. Komisi I saya harap dapat segera ambil langkah konkret,” kata Leo.
Selain itu untuk mendukung proses dialog, diharapkan dilakukan dengan menghentikan kekerasan yang terjadi. “Saya mau garis bawahi soal usulan dialog, orang tidak akan duduk dialog kalau masih ada yang mati,” kata Leo.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socratez Yoman, menyatakan pemekaran kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat, terkesan liar dan miskin prosedur administrasi. “Sehingga disini perlu ada sensus untuk mengetahui jumlah penduduk asli Papua. Tujuannya untuk membuktikan berapa jumlah yang sebenarnya,” kata dia.
Pemekaran juga, lanjut dia, yang tidak melalui mekanisme dan syarat-syarat pemerintahan seperti luas wilayah, jumlah penduduk, sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya alam (SDA), sangat merugikan orang Papua. “Pemekaran itu merupakan bagian dari operasi militer, operasi transmigrasi, politik pecah belah orang asli,” katanya.
Ditandaskannya, total jumlah penduduk Papua saat ini sebanyak 3.600.000 jiwa, terbagi menjadi Orang Asli Papua 1.700.000 jiwa, dan pendatang 1.980.000 jiwa.
Termarginalisasi
Banyaknya daerah yang dimekarkan di Papua, dituding menjadi fator pemicu membludaknya jumlah migran yang masuk ke bumi cenderawasih.
Politisi Papua Yulius Miagoni, meminta Gubernur Papua untuk melakukan pembatasan terhadap jumlah pendatang.
Yulius mengakui, bila semakin banyak pendatang ke Papua, tentu akan mengancam jumlah populasi Orang Asli Papua. Karena itu, sebelum terjadi, ia meminta gubernur mensahkan peraturan pembatasan angka pendatang. “Bila BPS mengatakan jumlah penduduk Papua mencapai 4 juta jiwa, itu juga perlu dirinci secara detail, khususnya berapa jumlah orang asli dari tahun ke tahun, sehingga dengan demikian diketahui berapa jumlah penduduk asli Papua saat ini,” terangnya.
Memang tidak dipungkiri, kata Yulius, pertambahan kelahiran Orang Asli Papua dibandingkan non Papua, tidak seimbang. Bila dalam 1 tahun orang Papua bisa melahirkan 1 atau 2 anak dalam sebuah keluarga, berbeda halnya dengan pendatang yang mampu melahirkan lebih dari 1 atau 3 anak dalam satu keluarga.
Ia menambahkan, pertambahan jumlah non Papua dapat melalui jalur laut, udara dan angka kelahiran. Bila tidak dibatasi, maka orang Papua akan tersisih suatu saat.
Merauke
Daerah yang memiliki jumlah penduduk non Papua terbesar, salah satunya yakni Merauke. Wilayah transmigrasi tersebut dijuluki sebagai ‘Indonesia Mini’.
Tokoh Merauke, Soter Kami Awi mengatakan, populasi Orang Asli Papua di Kabupaten Merauke pada 1980-1990 masih cukup tinggi. Namun di atas tahun 1990, kata Soter, semakin berkurang akibat angka kelahiran dan kematian tak lagi seimbang. “Rata-rata Orang Asli Papua di Merauke mati bukan karena lanjut usia, tetapi karena mengonsumsi miras. Sebagian besar berusia muda,” ujar Soter.
Dikatakan, minuman keras yang sangat mematikan adalah sopi, sejenis miras lokal. Menurut dia, harus ada ketegasan mengatasi produksi dan peredaran minuman sopi di Merauke.
Sementara itu, Bupati Kabupaten Merauke, Romanus Mbaraka menilai, jumlah penduduk asli Papua di Merauke perlahan-lahan menurun drastis. “Orang Asli Papua di Merauke tinggal 38,5 persen, selebihnya adalah pendatang sebagaimana data jumlah penduduk kurang lebih 203.000 jiwa,” jelasnya.
Ia mengatakan kondisi ini adalah tantangan besar yang harus diperhatikan agar Orang Papua tidak menjadi minoritas. “Untuk itu, mulai dari sekarang, harus siap-siap dan memasang kuda-kuda bagaimana bisa menjadi pelaku pembangunan dan memimpin negeri ini dengan baik,” papar Romanus.
Tanggapan Beda
Mantan Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), Bambang Darmono, mengaku masuknya pendatang di Papua jangan menjadi ancaman bagi penduduk lokal. Meskipun demikian, ia membenarkan penambahan jumlah pendatang tidak hanya di kawasan-kawasan tertentu, tetapi nyaris di sebagian besar kabupaten/kota di Papua.
“Di sebagian besar Provinsi di Papua, memang jumlah pendatang lebih besar, tetapi mari kita tidak melihat perbedaan-perbedaan itu. Yang penting buat saya adalah bagaimana kualitas pembangunan itu bisa kita wujudkan,” ujarnya.
Dengan porsi anggaran otonomi khusus hingga trilyunan rupiah; masing-masing untuk Papua dan Papua Barat, pemerintah sangat mengharapkan wilayah di ujung Timur Indonesia ini akan berkembang secara ekonomis, termasuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, kata Bambang Darmono.
Sebelumnya, Tokoh Papua, Pater John Djonga dalam sebuah diskusi mengatakan, salah satu daerah yang juga dibanjiri pendatang adalah Kabupaten Keerom. “Daerah Keerom dari segi pendidikan, kesejahteraan, ekonomi dan kesejahteraan sangat terlantar. Sebagian besar orang Arso Keerom itu sudah tidak punya tanah. (Perkebunan) kelapa sawit PTPN II melakukan penipuan dari (pengambilalihan) 5.000 hektar menjadi 50 ribu hektar,” ucapnya.
Berdasarkan hasil penelitian John Djonga dan Cypri J. P. Dale tahun lalu, dari 48.536 jiwa penduduk Keerom, nyaris 60 persen dihuni oleh penduduk non-Papua. Persentasi Orang Asli Papua turun drastis dari hampir 100 persen pada tahun 1963, menjadi 40 persen pada tahun 2010.
Komposisi penduduk ini merupakan hasil dari program transmigrasi resmi Pemerintah, pembukaan lahan kelapa sawit, migrasi spontan terkait dengan kegiatan ekonomi dan pemekaran, serta migrasi para pegawai dan pejabat pemerintahan setelah Keerom menjadi kabupaten. Namun, situasi ini mengakibatkan banyak masyarakat asli lari ke Papua Nugini, karena merasa tidak lagi memiliki tanah adat.
(JERAT PAPUA/dari berbagai sumber)