Logo Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), foto : AMAN/jeratpapua.orgLogo Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), foto : AMAN/jeratpapua.org

JERATPAPUA.ORG, JAYAPURA – Tanggal 9 Agustus, merupakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang ditetapkan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1994.  Setiap tahun, tanggal 9 Agustus diperingati dan dirayakan sebagai Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, oleh PBB dan Masyarakat Adat di berbagai negara termasuk Indonesia.

Tahun 2022, Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) mengambil tema: “Peran Perempuan Adat dalam Merawat dan Mentransmisikan Pengetahuan Tradisional”. Tema ini merupakan penegasan pengakuan dunia internasional terhadap peran Perempuan Adat dalam menjaga Ibu Bumi sekaligus merefleksikan posisi sentral Perempuan Adat dalam memastikan eksistensi dan keberlanjutan pengetahuan tradisional lintas generasi. Karena penting dan sentralnya posisi dan peran perempuan adat, dalam diskurus dan kebijakan perubahan iklim-pun, dunia internasional bahkan menegaskan pentingnya kesetaraan pelibatan perempuan dan laki-laki dalam kebijakan iklim yang berkeadilan dan responsif gender.

Peran Perempuan Adat sangat esensial. Perempuan adat tidak saja dibekali tetapi juga mempraktikkan secara teguh pengetahuan tradisional secara turun-temurun dalam pengelolaan sumber daya alam, merawat lingkungan, hutan, pertanian dan mata pencaharian untuk menjaga ketahanan hidup Masyarakat Adat di atas wilayah adatnya.  Sayangnya peran Perempuan Adat di Indonesia hingga saat ini masih dipandang sebelah mata bahkan cenderung diabaikan dan didiskriminasi.

Data PEREMPUAN AMAN (2022) menyebut bahwa 70 persen aktivitas Perempuan Adat adalah berladang tradisional. Perempuan Adat telah menyediakan pangan bagi 31 juta jiwa rakyat Indonesia.  Jumlah ini bukanlah jumlah yang sepele, apalagi jika dipandang dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa dimana 70 juta jiwa adalah masyarakat adat. Akan tetapi, fakta menunjukkan peran perempuan adat tidak direkognisi secara adil.  Terbukti, tidak hanya ketidakadilan dalam kebijakan, namun juga tidak diikutsertakannya perempuan adat dalam agenda-agenda pembangun mulai dari Desa sampai tingkat nasional dan bahkan di tingkat global. Sebagai contoh, perempuan adat masih belum mendapatkan tempat di dalam agenda-agenda G20. Ini menunjukkan ketidaksadaran akan relasi penting perempuan adat yang memiliki peran penting dan strategis di dalam perang melawan perubahan iklim, yang mana ini merupakan agenda penting G20.

Akar persoalan struktural yang dihadapi oleh Masyarakat Adat adalah lahirnya kebijakan pembangunan negara yang mengeksklusi hak-hak Masyarakat Adat khususnya hak Perempuan Adat atas tanah, hutan, dan sumberdaya alam yang lain di dalam wilayah adat. Berbagai instrumen hukum yang lahir justru digunakan untuk melegitimasi penghancuran Masyarakat Adat atas ruang hidupnya. Salah-satu bentuk kebijakan terkini yang sangat diskriminatif bagi Masyarakat Adat tercermin dalam UU Cipta Kerja (Baca: UU CILAKA) yang secara nyata memandang bahwa lapangan pekerjaan hanya dapat diciptakan oleh korporasi. Faktanya hanya beberapa waktu setelah Covid-19 menyerang Indonesia, Korporasi telah melakukan PHK sebanyak 3,5 Juta Jiwa warga negara Indonesia sebagai dampak Pandemi Covid-19.  Situasi berbeda ditunjukkan oleh berbagai Komunitas Adat di Nusantara yang masih berdaulat atas wilayah adatnya, dimana Masyarakat Adat menunjukkan kemampuan untuk bertahan dan bahkan menjadi penopang sumber-sumber pangan bagi masyarakat perkotaan khususnya buruh di Perkotaan yang terkena PHK.

Hanya tinggal 8 hari lagi kita merayakan 77 tahun Indonesia merdeka, Undang-Undang Masyarakat Adat yang diamanatkan konstitusi belum juga ada. Negara belum hadir di tengah-tengah Masyarakat Adat. Banyak sekali masalah yang dialami oleh Masyarakat Adat sebagai akibat dari 77 tahun masa pengabaian atas hak-hak konstitusional seperti pemiskinan, pembunuhan, konflik, kriminalisasi, krisis identitas yang terus meluas dan kualitas lingkungan hidup yang terus menurun yang berdampak pada semakin memburuknya situasi dan kondisi Masyarakat adat di seluruh pelosok Nusantara.

Peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat (HIMAS) 2022 seharusnya menjadi momentum refleksi bagi pengurus negara untuk melakukan langkah-langkah yang tepat termasuk melakukan perubahan hukum dan kebijakan yang telah menjadi sebab dari pelanggaran hak Masyarakat Adat. Langkah nyata yang seharusnya sejak lama dilakukan  Pemerintah dan DPR adalah mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU. UU ini adalah jalan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat, khususnya penghormatan dan perlindungan Perempuan Adat yang telah terbukti mampu merawat dan mewariskan pengetahuan tradisional untuk ketahanan, ketersediaan dan keberlanjutan sumber-sumber pangan nasional. Masyarakat Adat Kuat, Negara Tangguh!

Sebagai penutup, dalam rangka menyongsong penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara Ke-Enam (KMAN VI) pada 24-30 Oktober 2022 mendatang, AMAN menyerukan kepada seluruh Masyarakat Adat Nusantara di manapun berada, secara khusus kepada Anggota, Pengurus, Organisasi Sayap dan Badan-Badan untuk segera menyiapkan dan merapatkan barisan menyambut KMAN VI dengan penuh sukacita dan gegap gempita. Perjuangan masih panjang, kita masih jauh dari cita-cita kita bersama, namun kita tidak menyerah. AMAN juga mengajak kepada seluruh jaringan Masyarakat Sipil untuk terlibat dan berpartisipasi pada KMAN VI mendatang sebagai momentum untuk melakukan konsolidasi Gerakan Masyarakat Adat Nusantara dalam mewujudkan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia yang Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi dan Bermartabat secara Budaya!(AMAN)

 

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *