Polisi dianggap sebagai musuh pers. Apa sebabnya?
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menetapkan Kepolisian Republik Indonesia sebagai musuh kebebasan Pers 2015. Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono di tengah acara peringatan hari kebebasan pers sedunia di Taman Menteng Jakarta, Minggu kemarin menjelaskan, kepolisian cenderung tidak serius dalam menangani kasus kekerasan terhadap wartawan yang berujung pada kematian saat melakukan peliputan di lapangan. “Ada kecenderungan impunitas dilakukan kepolisian atau aparat penegak hukum kita. Nah ini yang akan kita terus dorong agar kepolisian serius menangani kasus-kasus ini.”
Suwarjono menjelaskan, dari catatan AJI Indonesia, dari 1996, ada 8 kasus kematian wartawan yang belum terungkap. Hal ini tambah pula dengan 37 kasus kekerasan mulai Mei 2014 – Mei 2015. Sebelas dari 37 kasus kekerasan itu dilakukan oleh polisi, 6 oleh orang tak dikenal, 4 oleh satuan pengamanan (satpam), dan 4 lainnya oleh massa. Untuk kekerasan yang dilakukan polisi, menurut Suwarjono, tidak pernah diselesaikan sampai ke pengadilan.
Suwarjono menambahkan kepolisian juga mengabaikan Undang-Undang Pokok Pers dalam penyelesaian kasus-kasus menyangkut masalah pemberitaan. “Polisi sampai sekarang justru tidak aware terhadap isu-isu pers dan penyelesaiannya,” ujar dia.
Suwarjono berpandangan, ada ketidakpatuhan dari polisi dan aparatur negara lainnya atas instruksi yang pernah dikeluarkan Presiden Joko Widodo agar menghormati kebebasan pers dan mematuhi undang-undang pers.
Secara khusus, AJI Indonesia juga mencatat sampai 2015, kebebasan pers di Papua masih terus dikekang. Mekanisme perijinan ketat bagi media asing yang ingin meliput Papua melalui kementerian luar negeri dan aparat keamanan atau biasa dikenal dengan clearing house, telah digunakan untuk menutup akses informasi yang sebenarnya mengenai kondisi di Papua.
Terkait hal ini, Anggota Dewan Pers Sabam Leo Batubara berharap Presiden Joko Widodo yang menginginkan Papua sebagai Daerah Terbuka, bisa segera terealisasi dengan membuka akses informasi di Tanah Papua bagi para wartawan.
“Keterbukaan itu artinya menjanjikan tersedianya informasi yang faktual dan benar serta berimbang. Itu hanya bisa kalau ada kebebasan pers. Jadi solusi mengenai Papua, hanya mungkin kalau ada keterbukaan,” kata Leo.
Hari Pers sedunia (World Press Freedom Day/WPFD) diperingati setiap 3 Mei. Peringatan hari pers, juga untuk menghormati wartawan yang telah kehilangan nyawa saat menjalankan profesinya.
WPFD diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993 menyusul adanya rekomendasi soal ini yang diadopsi dalam Sidang ke-26 Konferensi Umum UNESCO pada tahun 1991. Sidang ini juga sebagai respon atas seruan wartawan Afrika yang pada tahun 1991 menghasilkan Deklarasi Windhoek, memuat soal prinsip-prinsip pluralisme dan kemandirian media.
Badan dunia UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) memimpin peringatan ini di seluruh dunia, dan menetapkan tema secara spesifik setiap tahunnya. Untuk WPFD tahun ini dipusatkan di Riga, Latvia, 2-4 Mei 2015, bertemakan: Let Journalism Thrive! Towards Better Reporting, Gender Equality, & Media Safety in the Digital Age.
“Ini kali keempat polisi menjadi musuh kebebasan pers sejak pertama kali muncul Anugerah Musuh Kebebasan Pers tahun 2007,” kata Ketua AJI Malang Eko Widianto. Kebebasan pers, menurut Eko, pun belum merata di seluruh daerah di Indonesia. Di Papua misalnya, pers masih dibungkam.
Sebelumnya, di penghujung tahun 2014, AJI juga merilis, sejak 1969, jurnalis asing tidak bisa bebas meliput di Papua. “Kebebasan pers di Papua buruk, sehingga berita terkadang tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan,” tulis AJI.
Dalam catatan AJI, dua jurnalis Prancis, Dandois dan Bourrat, bahkan sempat ditahan karena melakukan aktivitas jurnalisme di Papua. Tekanan berat juga dialami jurnalis lokal. Sepanjang 2014, ada dua peristiwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Jayapura.
Selain itu, AJI juga menyoroti kasus kekerasan yang dialami wartawan Indonesia. Sepanjang 2014, ada 40 kasus terjadi.
Walaupun dari sisi jumlah tidak terlalu berbeda, dari sisi kualitas, kekerasan semakin meningkat. Antara lain dalam bentuk intimidasi, ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor, hingga perampasan kamera. Selain kasus wartawan, AJI juga mencatat, masih banyak media mengumbar berita kekerasan terhadap anak dan perempuan dan mengabaikan etika jurnalistik atau pedoman-pedoman pemberitaan.
Harus diakui, sejumlah kekerasan terjadi karena produk jurnalistiknya tidak memenuhi standar. Karena itu, AJI mendorong media untuk menerapkan pemberitaan yang berimbang, independen, dan memenuhi kode etik. Otokritik ini harus diakui agar pemberitaan ke depan makin maju.
Sementara itu, peneliti hak asasi manusia Human Rights Watch, Andreas Harsono, meminta Presiden Joko Widodo mengakhiri tindakan isolasi peliputan media di Papua. “Jokowi wajib menunjukkan komitmennya terhadap kebebasan pers dengan membuka akses ke Papua bagi jurnalis asing dan organisasi internasional,” katanya.
Menurut dia, pembatasan peliputan media di Papua berlebihan. Pelarangan kerja jurnalistik di Papua yang pernah diterbitkan Mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tak berdasar. Lebih-lebih, pemerintah kerap menghubungkan kerja jurnalistik dengan liputan Organisasi Papua Merdeka. Meskipun media lokal boleh meliput di Papua, keandalan informasi patut diragukan. “Ada campur tangan militer dalam proses kerja jurnalistik media lokal yang meliput di Papua,” kata Andreas.
Kebebasan pers, kata dia, sangat penting untuk mengawasi penyalahgunaan kekuasaan pada provinsi paling timur di Indonesia itu. Penyalahgunaan, Andreas menambahkan, bisa memicu pelanggaran hak asasi. Maka, pers wajib diberi ruang untuk menginformasikan kepada publik bila terjadi penyalahgunaan kekuasaan. “Ekses peliputan oleh media bisa pula mendesak pelanggaran hak asasi dihentikan, penjahat diadili, dan korban dapat menuntut ganti rugi.”
Kemajuan kebebasan pers di Papua, lanjut Andreas, sangat ironis. Sebab, ujar dia, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak memberi kontribusi berarti pada perwujudan kebebasan pers di Bumi Cenderawasih. Human Rights Watch pernah berkorespondensi dengan Wakil Presiden Boediono yang memimpin rekonsiliasi pemerintah di provinsi ini. HRW, kata Andreas, meminta Wapres untuk mengakhiri isolasi media di Papua, tapi tak ada jawaban yang diterima.
Menurut dia, realita isolasi peliputan di Papua adalah paradoks. Sebab, kata dia, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pada 2005. Terlebih, konstitusi Indonesia menjamin kebebasan untuk mengekspresikan pendapat secara lisan dan tertulis.
Kewajiban Negara
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli mengatakan, kebebasan dan kemerdekaan jurnalistik adalah kewajiban yang harus dijalankan negara. “Kemerdekaan pers adalah hak rakyat Indonesia,” kata Arif.
Menurut Arif, Hari Kebebasan Pers Sedunia adalah momentum yang tepat untuk mengingatkan semua pihak atas hak publik memperoleh informasi. Ia mengatakan, sejumlah kasus bisa diungkapkan ke publik berkat peran media. “Kasus Munir bisa diketahui karena media,” ujar dia.
Arif mengatakan, tak adanya kebebasan pers membuat sejumlah informasi penting menyangkut sebuah peristiwa menjadi tak diketahui publik. Ia mencontohkan insiden kecelakaan Malaysia Airlines MH370 beberapa waktu lalu yang belum bisa terungkap hingga saat ini. “Itu terjadi karena tak ada kebebasan pers.”
Arif juga menyoroti sejumlah kasus yang menimpa insan media, baik berupa kekerasan fisik atau kriminalisasi. Misalnya, kasus yang dituduhkan kepada Pemimpin Redaksi The Jakarta Post. “Polanya, semakin jauh dari pusat kekuasaan, semakin keras kekerasan terhadap pers yang dilakukan kelompok radikal atau militan,” kata dia. “Ini adalah tantangan untuk kita semua.” (dari berbagai sumber)