Mereka bekerja tanpa kenal lelah. Diberikan janji, disepelekan, ditinggalkan.
Sudah tiga jam, Maria duduk bersila menatap jualannya. Belum ada satupun sayuran lokal dibeli orang. Disebelah kanan payung besar yang melindunginya, drainase penuh sampah, berbau, mengalirkan limbah pedagang Pasar Youtefa, Jayapura. Akibat sampah, pasar tradisional ini pernah dilanda banjir besar tahun kemarin. Pemerintah Kota Jayapura sempat dibuat panik.
Pasar Youtefa merupakan pusat perbelanjaan terbesar di wilayah Abepura. Kawasan ini juga dipenuhi rumah toko dan sejumlah kantor milik swasta. Pedagang Papua mengisi beberapa bagian dalam pasar. Puluhan diantaranya menawarkan ikan di tepi jalan masuk pasar.
“Belum ada yang beli, begini sudah nasib kita orang kecil,” kata Maria lesu.
Pedagang Papua, puluhan tahun, jauh dari perhatian pemerintah. Banyak dari mereka, menjajakan dagangan di jalan berpasir. Lainnya, dengan memikul noken (tas tradisional), berjalan kaki dari rumah untuk memasarkan umbi umbian.
“Yang dibutuhkan pedagang asli Papua, bukan hanya pembangunan infrastruktur pasar dan pemberian bantuan modal, tetapi harus pula ada pembinaan untuk mereka. Misalnya saja bagaimana cara mengatur keuangan setiap hari, agar bisa bersaing dengan lainnya,” kata Ketua Kamar Dagang dan Industri Kabupaten Jayapura, Hengky Jokhu.
Sekretaris Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap), Robert Jitmau menuturkan, pembinaan terhadap pedagang asli begitu dibutuhkan. “Mulai dari pembinaan organisasi, manajemen pedagang, termasuk cara mengemas promosi barang dagangan,” katanya.
Pedagang Papua sejatinya tidak mendapat ‘kebebasan’ dari waktu ke waktu. Banyak dari mereka hanya berdagang demi memenuhi kebutuhan hidup. Tak banyak yang berhasil dan memiliki rumah mewah.
Di Manokwari, Papua Barat, kondisi pedagang asli juga tidak berbeda. Kondisi tempat jualan bagi para pedagang di dua pasar di Kota Manokwari yaitu Pasar Sanggeng dan Wosi sangatlah memprihatinkan.
Tempat yang dipakai untuk mama-mama Papua tidak layak. Mereka berdagang sayur-sayuran dan ubi-ubian. Saat ini pedagang yang berjualan, sebagian besar di atas tanah beralaskan plastik, karung atau kertas koran. Padahal saat ini sering hujan, maka dapat dipastikan hampir seluruh jualan bisa terendam atau terkena kotoran tanah.
“Inikan sudah tidak betul, masa kondisi pedagang dari tahun ke tahun masih tetap sama. Padahal kita memiliki dana otsus untuk mensejahterakan Orang Papua. Kenapa otsus tersebut belum bisa mensejahterakan pedagang Papua,” ujar salah satu warga yang dimintai pendapatnya.
Sangatlah wajar apa yang diungkapkan oleh warga tersebut. Sebab belum lama ini Pemprov Papua Barat baru saja mendapatkan kucuran dana yang sangat besar dari pemerintah pusat bersumber dari APBN untuk menunjang pembangunan di Papua Barat. Dimana di dalamnya terdapat juga dana otonomi khusus Papua yang antara lain diperuntukan bagi pemberdayaan masyarakat dan penguatan ekonomi lokal.
Pemerintah saat ini seharusnya bisa membuka hati untuk melihat problema ini. Sadar atau tidak, setiap hari para pejabat atau keluarganya sering pergi berbelanja ke pasar. Bahkan hampir setiap saat melewati para pedagang yang berjualan di atas tanah. “Kami mama-mama Papua yang berjualan di pasar ini tidak meminta uang berlebih, kami hanya menginginkan pemerintah dapat memperhatikan kondisi tempat berjualan,” ujar mereka.
Pembangunan Pasar di Jayapura
Di Jayapura, kondisi tempat berjualan Mama-mama Papua, juga jauh dari sempurna. Selama lebih dari sepuluh tahun, sekelompok pedagang asli Papua berjuang untuk mendapatkan pasar permanen di tengah Kota Jayapura. Pada tahun 2002, setelah pasar Ampera yang berada di tengah kota ditutup dan dihancurkan diganti dengan taman kota, mereka digusur oleh petugas pemadam kebakaran yang menyemprot dengan air. Proses pengusiran diawasi oleh polisi dan tentara.
Pada akhirnya mereka dipindahkan ke pasar Yotefa, sekitar 30 menit dengan menggunakan kendaraan umum dari pusat kota. Tujuan penggusuran oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan keindahan kota, membuat kota menjadi lebih “bersih, rapi dan teratur” sehingga menarik “bisnis besar” yang dalam jangka panjang akan membawa keuntungan finansial bagi seluruh kota.
Tidak nyaman, tidak menguntungkan dan adanya persaingan ketat di Yofeta memaksa mama-mama kembali ke Jayapura untuk berjualan ditepi jalan raya di luar sebuah supermarket. Selama lima tahun sejak saat itu, mereka menolak pindah dari lokasi di “jantung” kota. Peristiwa penggusuran pedagang Papua menarik perhatian dan dukungan para aktivis, ornop dan media setempat. Mereka bergabung dalam sebuah wadah bernama SOLPAP, Solidaritas Mama-mama Pedagang Asli Papua. Setelah berjuang beberapa lama, pada bulan Desember 2010, mereka mendapat tempat sementara di pasar beratap, yang sayangnya tidak memadai kelengkapannya.
Tim lobi Solpap, Frederika Korain mengatakan mama-mama Papua sangat berharap dalam kunjungan Presiden Jokowi pada Desember ini, bisa menancapkan tiang penanda dimulainya pembangunan pasar Papua di lokasi Perum Damri di jalan Percetakan Jayapura. “Kami juga berharap Presiden Jokowi meresmikan strategi pengembangan ekonomi Mama-Mama Pasar Papua dengan badan pelaksana resmi yang berkantor di Jayapura,” katanya
Di tempat terpisah, DPR Papua mendesak Dinas Pekerjaan Umum (PU) Papua agar segera merealisasikan pembangunan pasar permanen bagi pedagang asli Papua.
“Kami minta dinas terkait segera merealisasikannya. Jangan lagi tertunda bertahun-tahun dengan berbagai alasan. Kita selalu teriak atas nama rakyat Papua, sementara rakyat tidak pernah diperhatikan,” kata Yan Mandenas, anggota DPR Papua.
Di Tolikara, untuk membantu pedagang Papua, Pemerintah Kabupaten Tolikara, menyiapkan 12 unit kendaraan bagi masyarakat lokal dari kampung dan distrik yang akan menjual hasil pertaniannya ke pasar.
Bupati Tolikara, Usman G Wanimbo mengatakan, sudah ada dua unit mobil yang kini dioperasikan. Sementara 10 lainnya sedang dalam pengiriman. “Kasihan mereka kalau penghasilannya Rp 50 ribu lalu naik ojek ke pasar bayar Rp 200 ribu. Berarti rakyat tidak bisa hidup. Untuk sementara kendaraan itu akan dikelolah Dinas Perhubungan. Kedepan akan diberikan kepada masyarakat,” kata Usman.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di Tolikara belakangan ini mengalami perkembangan yang cukup baik. Kini pemerintah setempat juga fokus membangun sejumlah sarana infrastruktur. Salah satu yang jadi prioritas adalah pembangunan jalan.
“Waktu dua tahun masa kepemimpinan saya dan wakil bupati, kami gunakan menyelesaikan konflik yang pernah terjadi. Kini memasukan tahun ketiga, pembangunan fasilitas mulai dilakukan.”
Dikatakan, sejumlah perencanaan telah disiapkan. Antar lain Rancangan Pembangunan Jangkah Menengah Daerah (RPJMD), Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan lainnya. “Pembangunan fisik kami fokus ke jalan penghubung antar kampung dengan distrik, distrik dengan distrik dan kampung dengan kampung. Sebagian sedang berjalan, dan ada yang sudah selesai,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua DPRD Tolikara, Ketua DPRD Kabupten Tolikara, Nicodemus Kogoya menyatakan, hingga kini pembangunan infrastuktur di wilayah itu belum maksimal. Padahal salah satu yang kini dibutuhkan masyarakat setempat adalah pasar, guna menjual hasil pertanian mereka.
“Di sana memang sudah ada pasar, tapi belum memadai. Masyarakat masih berjualan di atas tanah. Visi-misi bupati dan wakil bupati memang baik, hanya realisasinya belum maksimal,” kata Nicodemus. (JO/dari berbagai sumber)