Polemik Revisi UU OTSUS Papua 5-5-2014

Aksi Penolakan oleh Mahasiswa [ foto : Markus Imbiri]

Revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang sedang dibahas oleh pemerintah pusat masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

“Itulah otonomi khusus ‘plus’ Papua,” kata Masud Said, asisten staf khusus Presiden bidang Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah, seperti ditulis BBC Indonesia, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, RUU Otonomi Khusus Papua “diperluas” itu akan memberi “ruang yang lebih luas kepada pemerintah dan rakyat Papua”.

Akhir Januari 2014 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerima laporan hasil pembahasan RUU tersebut dari gubernur Papua, Papua Barat, Majelis Rakyat Papua, serta jajaran pemerintahan di bawahnya.

Perbaikan UU Otonomi Khusus Papua dilakukan setelah penerapannya selama 12 tahun terakhir dianggap tidak sesuai harapan atau dianggap gagal oleh para penentangnya.

Pro dan Kontra

Tokoh masyarakat Papua, Franz Albert Joku dan Nicholas Messet adalah pihak yang mendukung upaya revisi UU Otonomi Khusus Papua.

Keduanya menyatakan baru kembali dari kunjungan ke Fiji atas undangan pemerintah negara tersebut, sekitar sebulan, setelah para menteri luar negeri dari Melanesian Spearhead Group, berkunjung ke Indonesia, pertengahan Januari 2014 lalu.Menurut Franz Albert, dia menerima kehadiran UU Otonomi khusus karena merupakan kompromi politik antara pemerintah dan Papua, walaupun ada kelemahan di dalamnya. “Walaupun tidaksempurna dan tidak lengkap, untuk kami itulah opsi yang ada di depan mata,” kata Franz.

Walaupun masih berupa rancangan, sebagian masyarakat Papua, terutama kelompok yang mendukung ide pemisahan Papua dari Indonesia, menyatakan menolak revisi UU Otonomi Khusus.

Penyebab Pembentukan DOB

Sementara itu, adanya otonomi khusus (otsus) plus Papua dinilai menjadi penyebab maraknya pembentukan daerah otonomi baru (DOB). Persoalan politik yang berkembang di Papua tidak seharusnya diselesaikan dengan pembangunan.

“Pemekaran ini sudah sampai tingkat kampung. Buat apa dibentuk birokrasi kepemerintahan, namun tidak ada masyarakat dan pembangunan yang bisa dikelola,” kata Ketua Tim Kajian Papua LIPI, Adriana Elisabeth seperti dirilis Republika.

Dalam RUU Pemerintahan nanti, memang kepala daerah diberikan kewenangan yang luas dalam melakukan pembangunan. Akibatnya semua pihak berkeinginan mencicipi kue dari kebijakan tersebut.

Padahal memberdayakan Papua itu tidak rumit. Dengan kondisi wilayah yang luas, dan populasinya tidak terlalu banyak, pemekaran jelas bukan suatu gagasan yang menjawab persoalan di sana.

Dengan adanya UU No.21 Tahun 2001 saja, indeks pembangunan manusia (IPM) Papua masih rendah. Dia mendukung, Pemerintah pusat seharusnya mengkaji dulu otsus tersebut, apa yang kurang dan bagaimana menyempurnakannya.

“Sebab, persoalan di sana itu bukan hanya pembanguan melainkan juga politik. Mereka yang kalah pemilu bahkan kepala dinas kepemerintahan ikut dalam pelaksanaan pemilukada. Akibatnya pembangunan tidak berjalan,” ujarnya.

Adriana mengatakan, Pemerintah pusat memang cukup jengah dengan usulan Papua yang terkait usaha memerdekakan diri. Dengan adanya pemekaran, bisa jadi itu menjadi langkah pusat untuk membagi otoritas kekuasaaan, agar tidak fokus pada hal tersebut.

“Satu hal belum selesai, sudah ada usulan baru lainnya, sekarang ini masalah di Papua menjadi tumpang tindih, sulit diurai,” ujar dia.

Dilain kesempatan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya akan selektif dalam mengkaji daerah yang hendak membentuk otonomi baru. Kalau memang tidak memenuhi syarat, maka akan ditolak. (JERAT/dari berbagai sumber)

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *