Yusak Pakage lahir pada 36 tahun silam. Ia adalah aktivis Papua yang dikenal setelah ditahan pada 2005–2010 karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Bersama Filep Karma, Yusak ketika itu baru berusia 26 tahun. Keduanya mengibarkan Bintang Kejora pada Desember 2004 dalam aksi demonstrasi 200 orang di Kota Abepura. Menurut Amnesty International, polisi menembaki kerumunan dan memukuli sebagian dari mereka dengan tongkat. Petugas juga menangkap Karma. Pakage kemudian memprotes penangkapan Karma di kantor polisi namun malah ditangkap.
Pada Januari 2005, Pakage dan Karma diadili atas tuduhan pengkhianatan di Pengadilan Jayapura. Jaksa menuduh Pakage “mengganggu kedaulatan Indonesia”. Empat bulan setelahnya, para pendukung kemerdekaan Papua terlibat rusuh dengan polisi di luar pengadilan, melempar botol dan batu ke arah polisi yang menyerang balik dengan tongkat. Komandan polisi dalam operasi ini dinyatakan bersalah atas pelanggaran hak asasi manusia dan diganti beberapa hari pasca insiden.
Di penghujung sidang, Pakage divonis penjara selama 10 tahun, sedangkan Karma 15 tahun. Pada tanggal 24 Agustus 2005, Pakage sempat kabur dari pengawalan dalam perjalanan untuk mengambil buku dari rumahnya. Ia ditangkap kembali beberapa jam kemudian di kantor LSM Elsham Papua. Sejumlah organisasi HAM internasional melayangkan protes atas nama Pakage dan Karma, termasuk Amnesty International yang getol membela Pakage. Human Rights Watch ketika itu bahkan menuntut pembebasan Karma dan Pakage secepat mungkin.
Pada bulan Agustus 2008, 40 anggota Kongres Amerika Serikat mengirim surat kepada pemerintah Indonesia yang isinya meminta Pakage dan Karma dibebaskan. Menyusul desakan Amerika, 100 orang menggelar unjuk rasa di depan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Pemerintah Indonesia menolak permintaan tersebut.
Demianus Rumbiak dari Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa Kongres AS tidak berhak mencampuri masalah dalam negeri Indonesia. Ia juga menegaskan bahwa penangkapan Pakage bukan karena masalah HAM, tetapi akibat melanggar hukum positif Indonesia. Pakage adalah satu dari 457 tahanan Papua yang diberikan pengurangan masa tahanan selama tiga bulan.
Penangkapan Pakage dan Karma juga menjadi topik unjuk rasa di depan kedubes Indonesia di Washington, D.C., tahun 2009. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengampuni Pakage pada pertengahan 2010 dan ia dibebaskan 8 Juli usai ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, Doyo, Kabupaten Jayapura. Pembebasan Yusak setelah terbit grasi Keputusan Presiden Nomor 5/G tahun 2010 tertanggal 24 Juni 2010.
Human Rights Watch merilis pernyataan yang memuji pembebasan ini tetapi juga meminta agar tahanan politik Indonesia lainnya dibebaskan.
Pasca penahanan, Pakage melanjutkan aktivitas perjuangannya. Ia menjadi koordinator Parlemen Jalanan yang mewakili para tahanan Papua. Pada Mei 2012, Pakage dan Organisasi Papua Merdeka mengumumkan akan kembali menyelenggarakan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora.
23 Juli 2012, Pakage ditangkap lagi karena membawa pisau lipat di tasnya saat menghadiri sidang pengadilan sesama aktivis Buchtar Tabuni lantaran dituduh memulai unjuk rasa yang berakhir ricuh.
Tabuni ditahan berhubungan dengan kerusuhan di Lembaga permasyarakatan 18 bulan sebelumnya, tetapi penangkapan tersebut dipercayai bermotivasi untuk mengintimidasi organisasi Buchtar Tabuni, dan Komite Nasional Papua Barat, KNPB
Harian setempat Tabloid Jubi melaporkan dari persidangan; Marah karena melihat apa yang sedang berlangsung, Pakage menendang sebuah tong sampah. Ludah pinang dari tong sampah tersebut secara tidak sengaja mengenai seorang PNS, Yosias Fanataba. Polisi lalu datang dan menahan Pakage, dan saat memeriksa barang bawaannya, ditemukan bahwa dirinya memiliki sebuah pisau lipat.
Pakage ditahan beberapa minggu di kantor polisi Jayapura. Prihatin akan keselamatannya, Amnesty International mengeluarkan sebuah surat keprihatinan tanggal 24 Agustus 2012. Beberapa diantaranya keprihatinan bakal terjadi penyiksaan oleh petugas (di Papua, keberadaan kantor polisi dipercayai jauh lebih bahaya daripada di lembaga permasyarakatan). Dan walaupun menderita sakit di perut dan tidak dapat makan, Pakage tetap tidak diperkenankan mendapat perhatian kesehatan.
Sebulan setelah penangkapannya, Pakage masih tidak diberikan kesempatan untuk memiliki kuasa hukum. Interogasi yang diterimanya bahkan hanya terfokus pada kegiatan aktivis politiknya daripada dakwaan dimana dirinya sebenarnya ditangkap, yaitu melanggar UU Darurat 12/1951 mengenai senjata tajam. Amnesti juga melaporkan bahwa Pakage telah di tahan tiga hari sebelum persidangan karena menjadi bagian dari 20 orang yang mengumpulkan amal di jalanan untuk para tahanan politik yang sedang sakit.
Ruang Penuh Kotoran
Dalam masa dipenjara di 2010, Pakage mengalami sejumlah tekanan. Ia pernah dikurung di ruang ukuran 3×4 meter yang penuh kotoran manusia. “Saya pernah dipukul. Kepala saya pecah. Saya disiksa dalam ruangan penuh kotoran manusia. Di sana kurang lebih empat hari. Ini yang paling saya kenang,” ujarnya.
“Kami tertekan. Ada banyak penyiksaan. Salah satu korban adalah Ferdinand Pakage yang matanya buta karena dipukul petugas LP. Dalam keadaan pingsan Ferdinand dimasukkan ke sel isolasi. Dia sempat dirawat di rumah sakit,” ujar Pakage.
Dari 34 napol Papua yang dipenjara saat itu, hanya Yusak Pakage dan Cosmol Yual yang mendapat grasi. Lainnya tetap dibui karena menolak mengaku bersalah.
Yusak Pakage asal Paniai. Dia menyelesaikan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Manokwari, Papua Barat. Pada tahun 2003 Pakage berangkat ke Jayapura melanjutkan magister di bidang gereja dan masyarakat.
Demokrasi Dibungkam
Yusak Pakage masih belum menerima pembungkaman demokrasi di Papua. Kata dia, demokrasi di Papua saat ini benar-benar memprihatinkan, sama seperti zaman Soeharto.
Yusak juga menilai kinerja SBY – Presiden sebelum Jokowi – juga gagal di Papua. “SBY bingung dalam mengambil kebijakan tentang Papua. Maka, kami beri tawaran untuk membuka ruang dialog yang dimediasi oleh pihak ketiga,” tuturnya.
Ia juga meminta dukungan AS dan dunia internasional untuk Papua. “Kami berpikir soal media yang makin canggih. Jadi, kami meminta Amerika jangan kuasai SDA saja, tapi harus pula menyelesaikan masalah Papua,” pintanya.
(dari berbagai sumber)