Miniatur Lokasi Bandara Antariksa yang di Rencanakan LAPAN akan di Bangun di Biak . Ist .Miniatur Lokasi Bandara Antariksa yang di Rencanakan LAPAN akan di Bangun di Biak . Ist .

JAYAPURA, JERAT PAPUA – Ancaman serius kepada Masyarakat Adat Byak di  Sup Mnuk Sarwom, Bar Napa   jika tanah atau lokasi 100 hektar yang akan dijadikan Landasan Antariksa oleh LAPAN yang merupakan ruang kelola tradisional dan sumber kehidupan masyarakat adat. Dimana mereka telah berinteraksi untuk kelangsungan kehidupannya secara turun temurun seperti berkebun, berburu, meramu dan mencari ikan. Jika proyek besar ini benar-benar diwujudkan oleh Pemerintah Indonesia sudah bisa dipastikan semua hak-hak masyarakat adat atas tanah akan hilang dan tidak dapat lagi diakses kedepan;

Tanah Masyarakat Adat Biak Bar Napa, Sup Mnuk Sarwom  yang akan di jadikan sebagai stasion Bandara Antariksa hanya dihargai sebesar 15 juta rupiah oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak tahun 1982. Saat dilepas, tanah ulayat tersebut masyarakat adat pemilik hak ulayat tidak mengetahui secara pasti diperuntukan untuk apa dan juga saat yang sama sedang terjadi operasi militer, sehingga masyarakat adat melepaskan tanah ulayat tersebut dibawah tekanan.

Koordinator Forum Peduli Masyarakat Biak, Michael Awom mengungkapkan ternyata dari pertemuan yang pernah dilakukan oleh Masyarakat adat dengan Pihak Pemerintah, LAPAN dan beberapa tokoh adat, ada pembayaran ganti rugi yang di maksudkan oleh LAPAN kepada Masyarakat adat, sebesar 15 Juta rupiah “ini mengundang perhatian kami terutama masyarakat adat, jangan gara-gara uang ini,  hak ini kami masyarakat adat di hilangkan “ ungkapnya  saat melakukan diskusi di Kantor Jaringan Kerja Rakyat Papua jumat, 23 April 2021.

15 juta yang diberikan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Nasional itu untuk mencaplok tanah Masyarakat adat seluas 100 hektar. Itu artinya satu hektar LAPAN menghargai dengan Rp.150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah). Hal ini, tidak sebanding dengan tanah dan hutan diwilayah Warbon sebagai sumber kehidupan masyarakat adat secara turun menurun dengan tidak ada habisnya dan memiliki nilai religi.

Mikhael Awom mengungkapkan pada tahun 1980, LAPAN mengadakan survey di biak , tanpa meminta ijin kepada masyarakat adat sebagai pemilik sah ulayat tersebut. Dimana rapat-rapat terkait persetujuan pelepasan tanah adat dilakukan dipos-pos militer, yang dimungkinkan terjadi tekanan-tekanan secara paksa kepada masyarakat adat dalam proses perampasan hak ulayat mereka “itu terjadi sejak tahun 1962 sampai  tahun 1980-an  karena  saat yang sama terjadi Operasi Militer di wilayah Biak. Sementara, sasaran survei LAPAN adalah Biak  Utara dan Biak Barat  yang dilakukan ketika itu. Survei-survei ini, masyarakat tidak mengetahui persis untuk apa, lalu ketika ada pertemuan masyarakat disuruh tandatangan absen ” Kata Awom.

Namun pada sidang Pleno Khusus I Kain-kain Karkara Byak tahun 2021  yang dilakukan pada 7 April 2021, sidang ini untuk membahas tanah masyarakat adat sup Mnuk Sarwom di Warbon, kampung Saukobye yang menjadi pembangunan Pusat Peluncuran Roket LAPAN. Mananwir-mananwir dari BAR Napa, Sup Mnuk Sarwom mengungkap persoalan yang dialami oleh mereka berkaitan dengan persoalan tanah ulayat ini. “ Pada saat pelepasan tanah ulayat tersebut tidak dijelaskan untuk pengunaan tanah ini untuk apa dan saat yang sama ada operasi militer, sehingga membuat posisi masyarakat lemah dalam melakukan negosiasi. Kita ketahui, pada saat itu, semua orang Papua tidak berdaya dalam pengambilan keputusan. LAPAN sudah melakukan survei, barulah hasil survei itu dipakai untuk membuat rapat-rapat yang sifatnya formalitas di bawah tekanan dan ancaman TNI (Koramil Biak Utara), ungkap Manfun Kawasa Byak, Apolos Sroyer.

Lanjut Sroyer menyatakan bahwa Surat Keputusan Sekretaris Eksekutif Nomor 002/A/Z/KKB/IV/2021, Kainkain Karkara Byak telah memutuskan menolak pembangunan bandar antariksa di Biak. Sroyer, menyatakan bahwa akan berjuang dan upaya untuk menghentikan proyek Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) itu akan dilakukan dengan advokasi litigasi dan non litigasi. Tim advokasinya telah dibentuk untuk melakukan pendampingan bagi masyarakat korban dan juga persiapan proses-proses hukumnya.

Sementara Koordinator Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Sinode GKI di Tanah Papua Pdt. Dora Balubun mengungkapkan, dari hasil penilitian yang di lakukanya bahwa rancangan pencaplokan tanah adat untuk Pusat Peluncuran Roket LAPAN di wilayah Warbon di Bar Napa Biak utara tersebut, sudah dilepas sejak tahun 1982, dengan mencaplok hampir sebagian besar tanah adat  atau kurang lebihnya sekitar 100 hektar, ”Saya pernah mengikuti pertemuan yang difasilitasi oleh LAPAN dan Petinggi TNI, mereka mengyatakan bahwa tanah ulayat ini,  sudah dilepas sejak tahun 1982 oleh masyarakat adat dan saya punya bukti-bukti tersebut” terang Pdt. Dora balubun

Dari hasil penelitian tersebut dirinya bahkan mengungkap lebih dalam bahwa yang terjadi di Byak dimana terjadi perdebatan soal bandara Antariksa yang direncanakan oleh LAPAN, dikuatirkan adalah akan menghilangkan akses terhadap tanah yang secara turun temurun dioleh untuk kehidupan masyarakat adat tersebut dan bahkan sumber penghidupan, sosial budaya, culture akan hilang dengan sendirinya “ pada posisi ini masyarakat adat sangat di rugikan dari proyek besar-besaran yang pastinya terjadi, dan jelas siapa yang bertanggung jawab jika sebagia besar masyarakat sekitar akan di pindahkan, dan kemungkinan bukan saja 100 hektar bisa jadi 1000 hektar yang di maksudkan”katanya.

Direktur Elsham Papua Pdt.Matheus Adadikam menyatakan rencana pembangunan Landasan Antariksa di Byak merupakan perang antara Amerika dan Rusia meski yang maksudkan tidak kelihatan tetapi isu itu sangat kuat, ketika adanya intervensi pihak-pihak lain. Sehingga pertanyaan yang sebenarnya harus dijawab oleh pemerintah  adalah dalam rencana ini berapa kali mereka telah melakukan sosialisasi dan menjelaskan dampak buruk dan baiknya bagi masyarakat lokal terhadap proyek ini “apa yang dipikirkan oleh semua orang ketika masyarakat  adat kehilangan tanah adat, lalu mereka kemana?, karena  semua tempat sudah ada pemiliknya karena sudah ada batasan “tandasnya.

Secara garis besar yang menjadi persoalan pokok dari ancaman kepada Masyarakat bahwa tanah atau lokasi 100 hektar yang akan di jadikan Landasan Anatariksa oleh LAPAN merupakan, ruang kelola tradisional masyarakat adat. Dimana mereka melakukan interaksi sosial seperti berkebun, berburu, meramu dan mencari ikan. Jika proyek besar ini benar-benar diwujudkan oleh Pemerintah Indonesia sudah dipastikan semua hak-hak tradisional masyarakat adat akan hilang dan merupakan peminggiran secara sistematik oleh pemerintah. (nesta)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *