Ia mencontohkan, bangunan RS Abepura yang bila dilihat dari luar tampak bagus, namun saat ke dalam, terlihat sebaliknya. Ruang yang tersedia luasnya terbatas, sementara masyarakat membutuhkan pelayanan terbaik.
Bahkan, kata Roberth, rumah sakit yang awalnya dari puskemas itu, walaupun baru selesai dibangun namun ruang rawatnya sempit dan tidak memiliki pendingin udara.
Menurut dia, selain Abepura, RS Biak juga mengkhawatirkan karena keterbatasan ruang pelayanan dan fasilitas yang tidak memadai. Karena itu, selaku wakil dari Papua di DPR RI, ia mengungkapkan akan memperjuangkan agar fasilitas di rumah sakit itu dapat dipenuhi. “Pemerintah di daerah juga diharapkan segera membantu dengan menyiapkan lahan dan berbagai fasilitas penunjang, sehingga masyarakat benar-benar terlayani secara maksimal,” harap Anggota Komisi VII DPR RI itu.
Direktur Eksekutif Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP) Alousius Giay mengatakan, pada 2013 lalu, telah dibangun sejumlah ruang perawatan di RSUD Biak. Hanya saja, saat itu, ada empat ruangan yang belum dimanfaatkan lantaran kurang fasilitas. Yaitu, ruangan ICCU, tropical disease, instalasi gizi, dan ruang perinatalogi. “(Waktu itu) belum juga tersedia formularium obat yang bisa memberikan informasi/jaminan ketersediaan obat di rumah sakit tersebut untuk pelayanan perawatan masyarakat,” ujar Alosius.
RSUD Biak memiliki 242 ruangan perawatan. Ada pula beberapa tenaga dokter dan perawat. Tiap hari, ratusan pasien dilayani. Selain minim fasilitas, pihak RSUD juga kerap mengeluhkan persediaan air bersih dan listrik.
Masalah yang sama juga dihadapi manajemen RSUD Serui di Waina Kawini, Serui. Rumah sakit yang selesai dibangun tahun 2006 itu, tak kunjung difungsikan dengan baik. “Lantai keramik di rumah sakit tersebut, sebagian sudah mulai ditumbuhi lumut,” kata Kepala Bidang Advokasi Hukum UP2KP, Amos Langer.
Problem paling memprihatinkan, kata Amos, pernah terjadi kerusakan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) senilai Rp 13 miliar di RSUD Serui.
Salah satu petugas, Sity May mengatakan, pihaknya bahkan kebingungan menerapkan prosedur layanan terhadap pasien pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Masyarakat Papua (Jamkespa) serta Jampersal. Demikian juga tentang formularium yang diadakan ke rumah sakit untuk tiga bulan sekali, hanya terpaku pada daftar obat dari Kementrian Kesehatan (Kemkes). “Para pasien diberi resep mengambil obat di rumah sakit, tetapi tidak mendapat obat. Terpaksa, mereka harus membeli obat di apotik umum dengan harga sangat mahal,” ujar Sity, seperti diungkap Amos Lenger.
Bekas Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengungkapkan infrastruktur kesehatan di Papua dan Papua Barat memang masih butuh perbaikan. Salah satunya Rumah Sakit pemerintah. Menurut Agung, seluruh rumah sakit yang beroperasi saat ini, belum ada yang memiliki klasifikasi tipe A. Seluruhnya masih tipe D, C dan B.
Bahkan ada beberapa rumah sakit tidak memiliki fasilitas peralatan X Ray atau Rontgen. Agung juga menilai keberadaan rumah sakit di Merauke perlu segera direlokasi karena sudah begitu sempit.
Ia menegaskan, sangat diperlukan adanya dukungan infrastruktur kesehatan di daerah-daerah seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Pustu, Pos Kesehatan, Pos Kesehatan Keliling, tenaga medis yang memadai mulai dari dokter umum, dokter spesialis hingga super spesialis serta tenaga para medis dan operator peralatan.
Sementara itu, politisi senior Dede Yusuf mengatakan, pelayanan kesehatan, khususnya di wilayah Pegunungan Papua, perlu diperhatikan serius. Khususnya prasarana rumah sakit maupun puskesmas, obat-obatan dan tenaga medis. “Kami sudah lihat langsung ke Jayawijaya, sebagai pintu gerbang masuk ke sebelas kabupaten di Pegunungan Papua. Kondisi pelayanan kesehatannya sangat jauh dari standar. Jangankan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan), obat-obatan saja terbatas,” katanya.
Bahkan, dia menambahkan, di Jayawijaya belum ada rumah sakit maupun dokter yang memadai sesuai kebutuhan masyarakat. “Tentu, kondisi itu sangat membuat miris.”
Hal yang harus menjadi perhatian dalam jangka pendek, kata dia, adalah pengadaan obat-obatan. “Kami minta lembaga pendidikan kesehatan, terutama untuk bidan, lebih banyak lagi, dan disebar merata di seluruh wilayah Papua,” ujarnya.
Tenaga Medis
Selain miris kondisi rumah sakit, hal yang tak dapat disepelekan adalah ketersediaan tenaga medis. Sampai dengan 2012, tenaga bidan yang dibutuhkan yakni sebanyak 2.565 orang.
Mantan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Yosef Rinta mengungkapkan, tenaga bidan tersebut dibutuhkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu-ibu melahirkan guna menurunkan angka kematian ibu dan anak. “Papua kini sedang gencar-gencarnya berupaya menurunkan angka kematian ibu dan anak yang begitu tinggi.”
Selain minim bidan, menurut Rinta, sarana kesehatan di Papua juga terbatas. Saat ini di seluruh Papua, baru ada 27 rumah sakit, 686 puskesmas, dan 462 polindes.
Selain itu, Papua kata Rinta, masih butuh sekitar 16 ribu tenaga kesehatan. Dari empat ribuan kampung di Papua, hanya 1.100 kampung yang memiliki sarana dan petugas medis.
Gubernur Papua, Lukas Enembe berpendapat, wajah kesehatan di Bumi Cenderawasih terkesan buruk. Ia prihatin, banyak rumah sakit tak memberikan pelayanan maksimal yang berujung pada datangnya protes dari publik.
Salah satu yang dianggap nyata adalah RSUD Dok II Jayapura. Dari penilaiannya, RSUD Dok II merupakan rumah sakit rujukan baik dari Papua maupun Papua Barat. Namun sayang, pelayanan dari rumah sakit peninggalan Belanda ini masih jauh dari harapan.
Dengan apa yang dimiliki Papua, bagi Lukas, sebenarnya persoalan kesehatan tak perlu lagi dipergunjingkan. “Saya melihat Papua memiliki potensi yang luar biasa, kita memiliki hutan dan tanah, tapi kondisi RSUD Dok II saya anggap tak layak,” bebernya.
Bukan hanya Papua, di Papua Barat, kondisi rumah sakitnya juga sebelas dua belas. Di Wasior, Teluk Wondama, misalnya. Markus Bokway, pengunjung rumah sakit, menilai, kondisi RS Wondama tak layak digunakan. Pasalnya, selain dinding ruang rawat inap yang kotor, sejumlah fasilitas dalam RS tersebut sudah rusak. “Ini tidak pantas untuk dijadikan tempat perawatan,” tandasnya.
Selain itu, fasilitas penerangan disejumlah ruangan hanya memakai satu bolam lampu. “Dalam ruangan ada sekitar 4 sampai 6 lampu. Tapi yang menyala hanya 1 saja,” katanya. Menurut dia, pihak rumah sakit mesti menyediakan petugas untuk membersihkan rumah sakit, termasuk menyiapkan security, dengan tujuan menjamin keamanan dan fasilitas di rumah sakit.
Dana Otsus
Untuk memajukan bidang kesehatan di Papua, pemerintah provinsi mengucurkan dana otonomi khusus hingga Rp185 miliar.
Kepala Dinas Kesehatan Papua drg Aloysius Giyai di Jayapura, menjelaskan, anggaran itu dibagi-bagi lagi untuk membiayai program dan balai, laboratorium kesehatan Daerah (Laksda), bidang serta sekolah yang berada dibawah naungan Dinas Kesehatan Papua.
Dana tersebut juga diperuntukkan untuk pengembangan Balai Pelatihan Kesehatan (Balatkes), Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda), bidang pelayanan kesehatan kesehatan (Yankes), sarana dan prasarana, serta untuk Sekolah Analisis Kesehatan Jayapura. “Anggaran itu dipergunakan pula membiayai penggunaan Kartu Papua Sehat (KPS),” ucapnya.
Meski demikian, Aloysius yang pernah menjabat Direktur Rumah Sakit Daerah Abepura itu meyakini penerapan anggaran sesuai peruntukannya. “Karena kami sudah pernah menunjukkan itu,” pungkasnya. (Dari Berbagai Sumber)