Hutan sagu di Papua, membentang luas dan selalu dibanggakan terbesar di dunia, kian hari makin menipis. Pembangunan kota dianggap sebagai biang rusaknya lahan sagu.
Pohon sagu terus ditebang, diganti perumahan serta pertokoan. Di Kabupaten Jayapura misalnya, hutan sagu di sekitar jalan Abepura-Sentani, kini tinggal sejarah. Sagu dimaanfatkan sebagai bahan makanan pokok pengganti beras. Biasa diolah pula menjadi Papeda atau Sep (makanan khas orang Marind Anim di Merauke).
Data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Jayapura menyebutkan, luas lahan sagu daerah itu mencapai 38.670 hektar. Terdiri dari 14.000 hektar areal budidaya, sisanya hutan sagu alam. Dari areal ini diperoleh tepung sagu 6.546 ton. 62,98 persen diantaranya dijadikan stok pangan penduduk Kabupaten Jayapura. Sisanya, bahan makanan penduduk Kota Jayapura.
Papua memiliki luas lahan sagu 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional. Wilayah sebarannya di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum terinventarisasi. Jika ditambah Papua dan Papua Nugini, luas hutan sagu seluruhnya sekira 4,5 juta hektar.
Meski potensi sagu begitu besar, namun permintaan domestik tepung sagu belum dapat dipenuhi hingga 5 juta ton. Ini bahkan diluar dari permintaan pasar manca negara yang juga tak kalah besar.
Indonesia, yang kaya akan potensi sagu, justru terancam Malaysia yang sudah jauh lebih dulu mengembangkan industri sagu di Kuching sejak 1969. “Masalahnya tidak mudah. Infrastruktur di Papua ini sangat terbatas. Kalau swasta mau bangun pabrik, saya yakin tidak mau. Kebutuhan energi di pabrik sagu saja 1,5 megawatt, dan PLN mengaku tidak mampu,” kata Direktur Utama PT Perhutani (Persero) Bambang.
Dalam kunjungannya menengok pembangunan pabrik sagu di Kais, Bambang menuturkan, pihaknya sangat kesulitan dengan ketersediaan listrik, jalan, dan pelabuhan.
Bambang menuturkan, industri sagu sebenarnya juga menghasilkan produk samping yakni residu sagu yang bisa diolah menjadi biomassa. Namun tentunya pada tahun-tahun pertama pabrik berproduksi, residu sagu tidak akan banyak, sehingga belum memungkinkan untuk dijadikan energi alternatif.
Atas dasar itu, pada tahap awal, Perhutani menggandeng PT PLN Engineering untuk ketersediaan energi. Jual beli listrik dari PT PLN Engineering belum disepakati. Yang pasti, saat comissioning pada Maret 2015 mendatang, listrik sudah mengalir. “Kelebihan listrik, nanti bisa dimanfaatkan oleh warga setempat,” kata dia.
Selain listrik, tidak adanya infrastruktur jalan diakui Bambang menjadi tantangan tersendiri baik bagi investor maupun masyarakat setempat untuk mengembangkan perekonomian. Padahal, ini adalah tanggungjawab pemerintah untuk memberikan pemerataan.
Pabrik sagu Perhutani di Kais, bisa diakses melalui dua jalur, darat dan air. Perjalanan melalui air memakan waktu sekitar tiga hingga empat jam. Sementara dari darat, bisa memakan waktu 2,5 jam hingga 3 jam, dari Teminabuan.
Teminabuan sendiri bisa dicapai dari kota Sorong setelah menempuh perjalanan darat sekitar enam jam. Jalanan licin, sebagian besar tak beraspal, dan berkelok-kelok dengan tebing dan jurang di kanan-kirinya. Total perjalanan kota Sorong sampai Kais bisa mengabiskan waktu 12 jam.
Tidak tersedianya jalan yang layak di Kais juga menyulitkan warga untuk memasok sagu-sagu mereka ke pabrik sagu Perhutani. “Mengambil sagu dari rakyat itu teknis, tapi sebenarnya masalahnya adalah transportasi,” aku Bambang.
Solusinya, lanjut dia, Perhutani juga akan menormalisasi sungai-sungai kecil, sehingga mempermudah pengiriman sagu rakyat ke pabrik. Nantinya, sagu-sagu itu bisa diantar ke pabrik dengan menggunakan rakit.
“Untuk pelabuhan kita harapkan segera dibangun, guna mempermudah distribusi produksi tepung sagu. Sementara ini memang ada kapal kecil-kecil. Tapi tidak efisien transportasinya kalau ngirimnya kecil-kecil (volumenya),” kata Bambang.
Perum Perhutani sebelumnya mendirikan pabrik sagu di Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan dengan nilai investasi mencapai Rp 120 miliar. Hal ini seiring dengan meningkatkan nilai tambah sagu bagi masyarakat Papua.
Menteri BUMN Dahlan Iskan menyatakan, tanpa persetujuan dari masyarakat adat, pabrik tentunya tidak dapat berdiri. “Pabrik ini belum tentu untung. Pabrik (juga) nggak boleh jual mahal-mahal, beli batang mahal nanti sagu mahal, pabrik tutup. Semua jadi mahal,” kata Dahlan.
Per tahun, pabrik ini mampu memproduksi hingga 30.000 ton tepung sagu. Perhutani sendiri memperoleh konsesi lahan pohon sagu mencapai 16.000 hektar di sekitar pabrik. “Ini dapat ijin areal dinas kabupaten sekitas 16.000 hektar. Mungkin yang efektif untuk potensi sagu 10.000 hektar – 11.000 hektar,” jelasnya.
Untuk pembangunan pabrik ini, Perhutani menggandeng BUMN seperti PT PLN (Persero) dan PT Barata (Persero). PLN membangun power plant atau pembangkit listrik untuk memasok listrik sedangkan Barata membangun pabrik sagu. “Ini proyek merah putih. BUMN turun tangan. Karena sangat mahal. Perusahaan nggak boleh rugi,” jelasnya.
Nantinya listrik dari PLN juga dijual secara komersial. Bahan baku pembangkit listrik diambil dari kulit pohon sagu. Pabrik direncanakan mulai beroperasi pada Maret 2015 mendatang.
Sebagai informasi, sagu dengan nama latin Metroxylon Sp ini adalah tanaman asli Indonesia yang menjadi sumber karbohidrat utama yang dapat digunakan untuk makanan sehat, bioethanol, gula untuk industri makanan dan minuman, pakan ternak, industri kertas dan farmasi dan lainnya.
“Kami siap bermitra dengan masyarakat tempat pabrik sagu berlokasi untuk mengembangkan perekonomian di wilayah itu. Selain mengolah, Perhutani juga memberikan pengetahuan soal pengembangan tanaman sagu yang produksi,” ungkapnya.
Kualitas pohon asal Papua cukup terkenal dengan Sagu Raja, yang bisa menghasilkan sagu hingga 900 kilogram per batang. Berbeda dengan pohon sagu asal Malaysia yang rata-rata menghasilkan tepung sagu maksimal 250 kg per batang. “Selama ini petani sagu seperti di Papua, hanya sanggup mengolah satu batang sagu selama dua minggu, namun dengan kemitraan ini hasil tanaman sagu penduduk bisa langsung diolah dengan waktu singkat,” tutup dia.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)