Para Saksi dari Masyarakat Adat dan Pemda Kabupaten Sorong saat memberikan kesaksian Kasus Pencabutan Ijin oleh Bupati Sorong terhadap 3 Perusahaan Sawit di Sorong , Foto : jerat Harun /Jeratpapua.orgPara Saksi dari Masyarakat Adat dan Pemda Kabupaten Sorong saat memberikan kesaksian Kasus Pencabutan Ijin oleh Bupati Sorong terhadap 3 Perusahaan Sawit di Sorong , Foto : jerat Harun /Jeratpapua.org

JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA Hasil pemantauan sidang lanjutan gugatan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Inti Kebun Lestari  pada perkara Nomor 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR,  PT Sorong Agro Sawitindo pada perkara 31/G/2021/PTUN.JPR, PT Papua Lestari Abadi pada perkara  32/G/2021/PTUN.JPR di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada tanggal  9 dan 11 November 2021 telah memasuki agenda pembuktian.

Pada perkara PT Inti Kebun Lestari pihak penggugat dan tergugat menyampaikan alat bukti tertulis kepada majelis hakim. Untuk perkara PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) dan PT Papua Lestari Abadi (PT. PLA) pihak kuasa hukum Bupati Sorong menghadirkan 7 orang saksi untuk didengar keterangannya.  Sementara pihak PT SAS dan PT PLA belum mampu menghadirkan saksi setelah diberi kesempatan oleh majelis hakim, namun majelis memberikan kesempatan terakhir kepada PT SAS dan PT PLA dipersidangan berikutnya menghadirkan saksi.

Kuasa hukum Bupati menghadirkan Benediktus Heri Wijayanto, Kabid Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat dan Ketua Tim Evaluasi Perijinan Sawit di Provinsi Papua Barat sebagai saksi. Dalam salah satu keterangannya saksi menjelaskan  “dalam Ijin Usaha Perkebunan (IUP) yang kami evaluasi, ada 9 kewajiban yang harusnya dipenuhi perusahaan. Sembilan kewajiban itu ada dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Keputusan Bupati tentang Ijin Usaha Perkebunan.  Sembilan kewajiban ini tidak dipenuhi semuanya oleh PT. Sorong Agro Sawitindo dan PT. Papua Lestari Abadi.”

Selain menghadirkan Benediktus Heri Wijayanto, pada sidang yang sama, Kuasa Hukum Bupati Sorong juga menghadirkan Subur, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong dan Anggota Tim Evaluasi Ijin Sawit di Kabupaten Sorong sebagai saksi, yang dalam kesaksiannya menerangkan  “Setelah mendapat ijin lokasi, pemegang ijin lokasi harus membuat laporan pertiga bulan terkait perkembangan perolehan hak tanah. Setelah kami periksa,  PT. Sorong Agro Sawitindo dan PT. Papua Lestari Abadi tidak pernah melaporkan perkembangan perolehan tanah di lokasi ijin.”

Pada sidang sebelumnya yang berlangsung Selasa 9 November 2021 di PTUN Jayapura, Kuasa Hukum Bupati Sorong menghadirkan masyarakat adat pemilik ulayat tempat ijin lokasi kedua perusahan itu. Saksi Sem Klafiu, Gideon Kilme, Calvin Sede, dan Seljun Kayaru untuk perkara gugatan  PT. SAS dan saksi Hendrik Malalu untuk perkara gugatan PT. PLA.

Sem Klafiu salah satu saksi dari Kampung Gisim Distrik Segun menyatakan sejak awal tahun 2000-an perusahaan datang ke kampung meminta hak ulayat, marga Klafiu menolak memberikan tanah.  “Kalau untuk kami marga Klafiu sepakat kami tolak. Kami sudah sumpah adat kami tolak. Kami tidak terima kelapa sawit dari tahun 2000 sampai sekarang. Kami tidak pernah terima, sedikit pun kami tidak pernah terima uang dari perusahaan.” Ucap Sem Klafiu.

Sementara itu Hendrik Malalu, perwakilan marga Malalu dari Kampug Waimon Distrik Segun mengatakan perwakilan PT. PLA baru datang melakukan kerjasama pada Juni 2021 setelah Bupati mencabut ijin perusahaan itu. “Setelah kami dan perusahaan bekerjasama, setelah itu baru kami tahu bahwa ijinnya sudah dicabut. Bagi kami masyarakat ini adalah tipuan. Ijinnya sudah dicabut, mengapa dia masih mau masuk.” Ucap Hendrik Malalu.

Susana Persidangan Pencabtan Ijin Kelapa Sawit di Kabupaten Sorong di PTUN Jayapura, Foto : harun/ jeratpapua.org.
Susana Persidangan Pencabtan Ijin Kelapa Sawit di Kabupaten Sorong di PTUN Jayapura, Foto : harun/ jeratpapua.org.

 Koalisi masyarakat sipil yang melakukan pemantauan persidangan berpendapat keterangan para saksi yang dihadirkan kuasa hukum bupati memperlihatkan PT SAS dan PT PLA tidak memiliki itikad baik melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Kedua perusahaan juga tidak menghormati hak-hak masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan adat, Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus menyatakan : Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.  Dalam penjelasan  Musyarawarah antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan mendahului penerbitan surat izin perolahan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan keputusan pemberian hak yang bersangkutan “

Penerbitan izin-izin PT SAS dan PT PLA tidak melalui proses yang diatur oleh pasal  43 ayat (4) UU Otsus, perusahaan juga mengabaikan prinsip FPIC (“Free, Prior and Informed Consent) atau Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan  dari masyarakat adat. Pengabaian atas aturan dan prinsip ini merupakan pelanggaran hak masyarakat adat.  Ucap harun salah satu pemantau gugatan

 Tindakan bupati Sorong melakukan pencabutan izin-izin perusahaan telah tepat untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat dan penyelematan lingkungan hidup. Sidang berikutnya akan dilakukan tanggal 16 dan 18 November 2021 dengan agenda pemeriksaan saksi atau ahli untuk empat perkara. (nesta/ Jerat Papua / Siaran Pers)

 

 

 

 

 

 

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *