Kehadiran investasi di Kabupaten Keerom yang secara resmi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat Walsa dan Fermanggam, ternyata ikut berdampak buruk pada semua sisi kehidupan. Mulai dari hilangnya hutan tempat warga adat mencari makan, berkurangnya binatang buruan, rusaknya tempat sakral, hingga terkikisnya nilai-nilai adat kekeluargaan dan gotong royong.
Hutan dilepas bukan hutan yang ditinggalkan, tetapi hutan produktif berisi pohon kayu besi, rotan, dan tempat dimana perempuan asli mengambil segala kebutuhan hidup keluarganya.
Hutan itu kini dipenuhi kelapa sawit membentang luas. Pelaku penanaman; PT Tandan Sawita Papua, milik Rajawali Group, yang mulai beroperasi sejak tahun 2008.
PT Tandan Sawita Papua bergerak di wilayah Distrik Arso Timur berbatasan langsung dengan Arso Kota dan Papua Nugini. Perusahaan sawit pertama di Arso Kota adalah PTPN II yang melakukan penanaman sejak tahun 1983. Arso Timur adalah wilayah baru untuk perusahaan sawit, hutannya masih produktif. Setelah PT Tandan Sawita Papua masuk, kemudian dimulailah semua penebangan kayu besi dan lain-lain.
Perempuan menjadi Buruh
Pekerja di perusahaan sawit itu sebagian besar adalah perempuan. Mereka tidak mengetahui proses jual-beli tanah dari kepala-kepala suku kepada pihak investor. Jual-beli tanah dilakukan oleh pria.
Dari segi ekonomis, perempuan tidak terlalu diuntungkan. Mereka kehilangan hutan dan sekarang sangat bergantung pada perusahaan. Mereka juga harus bekerja sebagai buruh di perusahaan untuk bisa memperoleh uang biaya hidup hari-hari.
Perempuan berada pada posisi tertekan dan tak berdaya. Mereka tidak ingin menjadi buruh. Tapi pilihan itu sulit diambil. Belum lagi dengan adanya konflik yang muncul di tempat kerja antara buruh dengan buruh, buruh dengan mandor/asisten manajer, atau dengan pihak perusahaan.
Setelah PT TSP memulai membuka lahan, hampir semua masyarakat Arso bekerja di perusahaan. Beberapa pria menjadi mandor, petugas keamanan dan buruh harian lepas. Perempuan di kampung Suskun ikut pula sebagai buruh harian lepas.
Mereka bekerja tanpa kontrak jelas. Hanya sebagian pria yang punya kedudukan dalam adat yang diberikan kontrak tertulis untuk menjadi tenaga keamanan menjaga areal perusahaan. Tidak ada jaminan kesehatan dan tunjangan hidup untuk para wanita pekerja ini. Setelah bekerja bertahun tahun, beberapa wanita tersebut mulai diberhentikan. Menurut perusahaan, pengurangan tenaga kerja dilakukan mengingat biaya upah begitu besar, sedangkan pemasukan minim.
Saat membersihkan areal tanam, para wanita kerap membawa bayi mereka. Di waktu luang setelah pulang bekerja, para wanita ini harus pula mengurus keluarga dan suami. Mencuci pakaian dan memasak. Padahal, perempuan saat bekerja, menerima beban yang lebih berat, mulai dari jam 07.00 pagi, sampai sekitar jam 04.00 sore.
Dulu, sebelum menjadi buruh di perusahaan, perempuan Arso lebih banyak menghabiskan waktu di kebun. Membersihkan rumput pengganggu dan mencabut umbi. Namun, sejak lahan mereka menjadi milik perusahaan, mereka tidak lagi mengurus kebun. “Kalau ada pinang dari dusun (kebun) mama bawa jual di kota, tapi uangnya habis hanya untuk ongkos transport saja,” kata Mama Kasmira, buruh harian lepas di PT Tandan Sawita Papua. Ia punya sebidang tanah kecil yang ditanami pohon pinang.
Nasib buruh wanita Arso tidak sepadan dengan perempuan Papua yang menjadi pegawai pemerintah. Saat pagi tiba, mereka akan bersiap ke kebun sawit. Transport satu satunya adalah truk pengangkut pekerja. Para wanita berdiri seperti pria sambil berpegangan ketika truk melaju. Tanpa menggunakan pelindung wajah ataupun alat pengaman penumpang. Beberapa wanita di hari-hari terakhir, bahkan dilaporkan mendapat pelecehan seksual selama perjalanan menggunakan truk dan ketika tiba di perkebunan.
Walau harus bekerja keras, sejumlah wanita buruh tidak mendapat dukungan penuh suami. Suami lebih banyak menghabiskan waktu dengan mabuk mabukan. Akibat miras dan mabuk, kekerasan seringkali dialami para wanita. “Buruh Pria kadang juga memakai uang hasil kerja mereka dengan membeli minuman keras dan pergi dengan pelacur,” ungkap sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya.
Walau mengalami kekerasan, para wanita Arso kurang mendapat perlindungan hukum. Mereka juga tidak memilih untuk ke polisi karena tidak banyak membantu.
Keprihatinan mengenai tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan ini diakui oleh Komnas Perempuan. Dibagian lain, ada pula perempuan yang mengalami kekerasan oleh petugas keamanan di wilayah yang sangat dikuasai militer ini.
Kompensasi yang rendah
Tanah perkebunan PT Tandan Sawita Papua, awalnya adalah tanah adat milik marga Bugovkir dengan luas 1.104 ha dan marga Konondroy, 1.231 ha. Di Kampung Suskun Arso, dua marga ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Kampung Suskun dihuni oleh hampir 152 kepala keluarga. Masyarakat di kampung ini tersebar di tiga tempat: Wambes, Kampung Tua dan Kampung Suskun.
Setelah tanah dilepas kepada perusahaan, pihak marga selanjutnya memperoleh kompensasi. Sayang, kompensasi yang diterima itu nilainya sangat kecil: tanah seluas satu meter persegi dibayar hanya sebesar 38 rupiah. Tak pelak, untuk membeli sepotong pisang goreng saja, tidak cukup. Padahal dalam kawasan tanah itu, terdapat pepohonan yang memiliki harga jual hingga jutaan rupiah.
Secara keseluruhan, tanah yang diambil oleh PT Tandan Sawita Papua dari beberapa kampung di Distrik Arso Timur seluas 18.337,90 hektar. Delapan marga yang menyerahkan tanahnya untuk perkebunan sawit adalah marga Putuy, Kera, Jombori dan Itunggir dari kampung Yetti, marga Bugovkir dan Konondroy dari kampung Suskun, serta marga Bewangkir dan Enef dari kampung Kriku. Nilai kompensasi yang mereka terima seluruhnya adalah sebesar Rp7.040.000.000.
Proses ganti rugi tersebut tidak dibayarkan langsung, melainkan selama 4 tahap dalam 4 tahun. Masyarakat adat dan perusahaan menyebutnya “Tali Asih”. Pembayaran “tali asih” tahap pertama dilakukan pada bulan Februari tahun 2010, tahap kedua pada 25 Maret 2011, ketiga 15 Juli 2012 dan terakhir sudah diterimakan pada 27 Maret 2013. Jumlah uang yang diterima masing-masing marga berbeda-beda tergantung luas lahan yang dilepas ke pihak perusahaan. Uang yang diterima itu lalu dibagi-bagikan lagi kepada setiap kepala keluarga dari masing-masing marga pemilik hak ulayat. Rata-rata kepala keluarga menerima kompensasi paling banyak 2-5 juta rupiah.
Ketika hak guna usaha PT Tandan Sawita Papua berakhir, tanah tidak akan dikembalikan kepada pemilik ulayat, melainkan kepada pemerintah. (JO/DTE)