Mengabdi tidak hanya untuk Tuhan, Dia yakin Gereja bukan hanya batu dan kayu.

Sore itu seperti biasa Pastor Yohanes Jonga membersihkan rak buku. Sejumlah laporan penting, termasuk arsip perjalanannya ke wilayah pedalaman Papua, diatur rapi. Tangannya cekatan memilah buku yang akan disimpan dan yang akan dibaca.

Beberapa menit berlalu. Diraihnya telepon genggam, menjawab panggilan. Penelepon di seberang, Andreas Harsono, periset Human Rights Wacth menanyakan kabar. “Saya masih melakukan pendampingan korban HAM,” kata Pastor Jhon.

Pria kelahiran Nunur, Flores, Nusa Tenggara Timur, 4 November 1958, ini dikenal sebagai pencinta rakyat kecil. Pastor Jhon adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Kedua orang tuanya, Arnoldus Lete dan Yuliana Malon, sudah tiada.

Jhon kecil menyelesaikan sekolah dasar di Waekekik, Manggarai Timur, tahun 1975. Di tahun yang sama, Jhon masuk SMPK Rosamistika Waerana. Antara tahun 1979 hingga 1981 dia melanjutkan sekolah menengah atas di Ende, Nusa Tenggara Timur.

Dia kemudian melanjutkan sekolah ke Seminari Menengah St Dominggo Hokeng, Flores Timur, dari 1981 sampai 1982. Pertengahan 1982 dia mendaftar di Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret, Maumere, namun tak lama kemudian dikeluarkan karena sering sakit. Jhon lalu melanjutkan sekolah gereja di Akademi Pendidikan Kateketik St Paulus, Ruteng, Manggarai, tahun 1983 hingga lulus tahun 1986.

Sejarah hidupnya dimulai 1 Juli 1986 ketika ditugaskan di Paroki St Stefanus Kimbim, Lembah Baliem, Wamena. “Saya tertarik bidang HAM mulai dari Wamena. Waktu itu saat gejolak, banyak orang dibunuh dan dibuang,” tuturnya.

John menemukan demikian banyak tindakan kekerasan oleh TNI dan polisi di daerah tersebut. “Ini sangat berpengaruh, sehingga saya sangat reaktif,” ujarnya.

Sekembali dari Wamena tahun 1990, Jhon melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologia (STFT), Fajar Timur Abepura. Di tahun yang sama, menjadi relawan lembaga bantuan bukum untuk kasus bisnis militer di wilayah Arso dan melayani umat di Koya. “Saya melihat tentara begitu banyak terlibat dalam bisnis.”

Menurut dia, personel militer di wilayah ini memiliki karakter keras. Mereka mudah mengintimidasi warga dan tidak segan menganiaya. Bahkan militer secara sewenang-wenang merampas landasan pesawat terbang milik gereja untuk dijadikan pos penjagaan. “Warga Waris sampai saat ini, jika militer minta tanah, mereka akan berikan,” ujar Pastor Jhon. “Militer jadi pemicu konflik masalah tanah.”

Setelah tamat sekolah teologi, Jhon ditugaskan di Kokonau (kini Keuskupan Timika). Di sana dia bertemu Mama Yosepha dan Tom Beanal, yang sedang berjuang menentang kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia. Tiga serangkai ini kemudian membentuk Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (Yahamak).

Yahamak mulanya berbentuk kelompok Ibu Peduli HAM. Mereka mengemban misi memberikan informasi hak asasi manusia kepada mitra jaringan. Kini Yahamak bergerak di bidang pendampingan untuk berbagai suku di Timika. “Di Timika tingkat konflik sangat tinggi,” kata Pastor Jhon.

Di wilayah kekuasaan PT Freeport ini Pastor Jhon pernah ditangkap polisi karena membawa baju bergambar lambang Partai Demokrasi Indonesia. Dia menjalani diinterogasi panjang dan akhirnya dibebaskan.

Dalam perjuangannya, Pastor Jhon sempat dicap sebagai “Pastor OPM”. Pastor Jhon dinilai mendukung perjuangan Organisasi Papua Merdeka karena peduli terhadap perjuangan orang tertindas.

Pada tahun 2007 Pastor Jhon melaporkan praktik kekerasan dan intimidasi militer terhadap warga di Papua kepada Gubernur Barnabas Suebu. Aduannya ini mengusik militer dan dia diancam dikubur hidup-hidup.

Namun Pastor Jhon tidak gentar. Dia percaya Tuhan menyertai setiap langkahnya. “Tiap orang pasti mati. Hanya waktu dan caranya yang berbeda. Jangan pernah takut terhadap militer,” ujarnya.

pastor-john-djonga

Pastor Jhon memandang masalah di Papua muncul karena ketidakadilan. Konflik ini dapat reda jika terjadi dialog antara warga Papua dan pemerintah pusat di Jakarta. Dialog penting untuk menjawab kebuntuan selama ini. Dalam dialog, masalah pelanggaran HAM di Papua harus dibicarakan. Pelaksanaannya harus murni dan tidak dicemari kepentingan politik. “Dialog memungkinkan orang Papua puas dan tidak lagi menentang.”

Ketika mengetahui akan mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award 2009, Pastor Johanes Jonga justru khawatir. Dia khawatir penghargaan ini mencemari ketulusan perjuangannya.

“Penghargaan ini bukan untuk saya, tapi untuk semua korban pelanggaran HAM. Saya hanya berjuang dan akan mati untuk mereka,” kata Pastor Jhon. “Saya tetap masih takut. Saya takut pekerjaan saya sia-sia.”

(JERAT/Jerry Omona/VHR)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *