Rukka Samboligi (Sekjen AMAN)Rukka Samboligi (Sekjen AMAN)

JERAT PAPUA.ORG, JAYAPURA – Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyatakan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh DPR RI dapat menjadi ancaman yang membahayakan Masyarakat Adat.

Rukka juga menyebut KUHP ini jauh lebih berbahaya dari Undang-Undang No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

“Saya membayangkan, akan terjadi kekacauan ke depan ketika Undang-Undang (KUHP) itu berlaku,” kata Rukka dalam sambutannya pada acara diskusi publik: “Living Law dan Ancaman Terhadap Masyarakat Adat dan Keberagaman Pasca Pengesahan UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP” di Joglo Keadilan Bogor pada Rabu, (6/9).

Diskusi publik dilaksanakan atas kerjasama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFOS) Indonesia.

Sejumlah narasumber hadir dalam diskusi ini seperti Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi,  Ketua Umum Peradi Pergerakan/Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso, Ketua Inclusive Legal Center Sri Agustini, Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian,  akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yance Arizona, Direktur Advokasi PB AMAN Muhammad Arman. Diskusi yang dilaksanakan secara luring dan daring ini diikuti sekitar 150 peserta dari PKPA PPMAN angkatan ke-II, akademisi, jurnalis dan organisasi masyarakat sipil.

Hukum Adat Sangat Kompleks

DPR RI baru-baru ini mengesahkan RUU KUHP menjadi Undang-Undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI pada 6 Desember 2022. Namun, KUHP yang baru ini akan diimplementasikan pada 2026.

Rukka mengatakan  KUHP yang baru disahkan ini akan menjadi senjata pamungkas untuk menghancurkan Masyarakat Adat. Pasalnya, hukum adat mengatur lebih kompleks dari sekadar tentang pidana. Sementara, pidana hanyalah sebagian kecil dari hukum adat. Dikatakannya, pelanggaran dalam hukum adat pun sebenarnya tidak terbatas hanya pada apa yang dapat dilihat saat ini. Lebih dari itu, pelanggaran dalam hukum adat dapat terjadi bahkan kepada leluhur dan sang pencipta.

“Hukum adat itu sangat kompleks. Bukan hanya urusan tingkah laku manusia, tetapi juga tingkah laku manusia terhadap sesamanya, tingkah laku manusia terhadap alam sekitarnya, bahkan juga tingkah laku manusia terhadap leluhur dan pencipta,” ungkapnya.

Dengan demikian, Rukka menilai pengaturan Living Law dalam KUHP baru justru mencomot dan melepaskan satu bagian penting dari hukum adat itu sendiri karena meletakkannya sebagai perbuatan pidana.

“Kita juga harus sadar bahwa keberadaan hukum adat, peradilan adat, dan pemerintahan adat itu justru memastikan bahwa Masyarakat Adat bisa dekat dengan keadilan. Karena kalau kita harus pergi ke pengadilan, biasanya biayanya mahal. Kita juga akan diadili sesuai dengan hukum yang tidak kita pahami,” katanya.

Diperlukan Pembela yang Cakap dan Tangguh

Rukka menyatakan saat ini, kita memerlukan  pembela yang cakap dan tangguh,  yang tahu tentang hak-hak Masyarakat Adat, paham tentang hukum indonesia, paham tentang tata cara peradilan dan kemudian bisa menggunakan semua kecakapannya itu untuk membela Masyarakat Adat. Namun disisi lain, juga cakep dengan haknya supaya tahu menuntut apa yang pantas kita dapatkan.

“Jadi ada dua peran dari pengacara Masyarakat Adat. Jadi perisai, sekaligus menjadi mata, telinga dan tangannya Masyarakat Adat. Selama ini, kita paling banyak menjadi pemadam kebakaran,” ujarnya.

Akademsi UGM, Yance Arizona memaparkan tentang relevansi antara pengaturan Living Law dalam KUHP dengan pengakuan Masyarakat Adat. Menurutnya, KUHP baru menjadikan hukum adat yang tadinya dimiliki oleh Masyarakat Adat dan juga pengadilan adat, kini berubah menjadi ranah dari aparat penegak hukum.

“Ketika hukum adat dibawa ke dalam KUHP, maka itu memperluas kewenangan penegak hukum: polisi, jaksa, dan hakim terhadap norma hukum yang berlaku di masyarakat,” tuturnya.

Sementara, Direktur Advokasi PB AMAN Muhammad Arman menyampaikan seputar persoalan yang menjadi akar permasalahan dalam KUHP dan kaitannya dengan Masyarakat Adat. Menurutnya, terdapat beberapa frasa dalam Pasal 2 KUHP baru yang menjadi permasalahan, sehingga perlu didiskusikan.

“Di penjelasan pasal dua itu, sebenarnya baru kita menemukan bahwa yang disebut dengan hukum yang hidup dalam masyarakat itu adalah hukum adat. Yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana,” ujarnya.

Bukan hanya itu, Arman juga mengungkapkan bahwa menjadi tantangan karena KUHP baru dibangun di atas asas legalitas yang diformalisasikan melalui Peraturan Daerah. Sementara, peraturan daerah masih memiliki banyak permasalahan tersendiri.

“Sekarang ini, sedang proses penyusunan rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan pasal living law ini. Dan itu akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam penyusunan peraturan daerah tentang hukum pidana adat. Jadi, dia ini spesifik sebetulnya, pengakuan dan persyaratannya menjadi semakin panjang dan macam-macam,” pungkas Arman. (AMAN)

 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *