Sebuah kisah lama tentang kepedulian seorang wanita. Ia berbagi senyum bersama mereka yang menderita.

Seorang pria berpipi ceruk baru bangun dari tidur. Kuyu setelah berbaring seharian di ranjang. Pukul 13.00, sudah waktunya minum obat. Cahaya menyelinap masuk dari pintu kamar yang terbuka. Yuliana Supatmiati jalan mendekat, hati-hati dia duduk di tepi ranjang. “Minum obat ini harus rutin. Tidak boleh lewat jam,” katanya setengah berbisik. Nama tempat itu: Rumah Surya Kasih. Penampungan pasien HIV-AIDS yang sedang berobat jalan di RS Dian Harapan.

Berada di Kompleks SMA Katolik Teruna Bakti, Espege, Waena, Jayapura, Rumah Surya Kasih dikelilingi pohon-pohon besar. Tempat ini sunyi, tidak seramai sekolah yang berdiri seratus meter jauhnya. Di halaman, terparkir sepeda motor berpelat merah nomor DS 6128 SM seperti mengasingkan diri. Bagi warga sekitar Waena, Rumah Surya Kasih ”angker”. Embel-embel panti pengidap HIV-AIDS, menambah kesan seram rumah asri tersebut.

“Saya betah disini. Ada berkat yang melimpah ketika melayani orang dengan HIV-AIDS,” kata Yuliana yang menjadi perawat di Rumah Sakit Dian Harapan sejak tahun 2007.

Setelah lulus Sekolah Perawat Kesehatan Rangkas Bitung di Banten tahun 2007, Yuliana Supatmiati merantau ke Papua. Tak terbayangkan akan bekerja merawat pasien AIDS. Sebutan ODHA atau Orang Dengan HIV-AIDS pertama kali didengarnya di Papua. “Waktu itu saya bertemu Bruder Agus Adil di RS Dian Harapan. Setelah sharing dengan beliau, saya memutuskan untuk mengabdi di sini,” ujarnya.

Bruder Agus adalah pimpinan Rumah Surya Kasih. Dia mengusulkan didirikan penampungan para pengidap HIV-AIDS di Jayapura setelah menemukan banyak pasien tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga. Pimpinan Ordo Fransiskan di Papua menyambut baik usul Bruder Agus. ”Tapi waktu itu hanya ide. Tidak ada dana untuk membangunnya,” kata Bruder Agus.

Sejak tahun 2007, panti ini menampung sedikitnya 90 pasien terinfeksi HIV. Rata-rata usia mereka 15 hingga 50 tahun. “Kami menampung pasien yang nyaris mati. Sekitar 98 persen berasal dari wilayah Pegunungan Papua. Kebanyakan (tertular HIV) karena seks bebas.”

Dinas Kesehatan Provinsi Papua menyebutkan, lebih dari 4000 orang mengidap HIV-AIDS di Provinsi Papua sejak lima tahun lalu.  

Rumah Surya Kasih diresmikan 19 Agustus 2009 oleh Soejarwo, Wakil Wali Kota Jayapura sekaligus Ketua KPA Jayapura saat itu. Dua tahun sebelumnya, panti ini berdiri di samping RS Dian Harapan, Abepura. Saat itu hanya tersedia 2 kamar perawatan. Seiring bertambahnya pasien, dibangun panti yang lebih besar dengan kapasitas 4 kamar perawatan, 1 kantor, 2 ruang perawat, 1 ruang doa, 1 ruang makan, 1 kamar cuci, dan 6 kamar mandi. Semula hanya ada 3 perawat di panti Rumah Surya Kasih.

Yuliana dan dua perawat lainnya ikut bergabung tahun 2010. Kedua perawat yang masuk belakangan, bekerja paro waktu. Sementara Yuliana bekerja seharian penuh, dari pagi hingga malam.

Pagi hingga malam dia berjaga jika pasien membutuhkan bantuan. Jika ada pasien rewel, Yuliana menegurnya halus. “Saya tidak mau mereka merasa tertekan. Bila ada yang ingin sesuatu saya membantunya. Saya ingin mereka terus tertawa,” kata bungsu 8 bersaudara ini. Menurut Yuliana, ilmu konseling harus dikuasai. Di panti Rumah Surya Kasih, perawat menghadapi pasien yang emosinya labil.

“Di RS sini belum ada tenaga konselor untuk mendampingi ODHA. Mereka tidak hanya sakit secara fisik. Tapi juga psikologis.”

Sebelum bekerja di panti Rumah Surya Kasih, Yuliana dapat kesempatan melanjutkan pendidikan perawat di Politeknik Kesehatan Padang Bulan, Jayapura. Dia mengaku sempat kesulitan membagi waktu sekolah dan bekerja. Setelah lulus tahun 2009, Yuliana dapat lebih konsentrasi mengurus pasien HIV-AIDS. ”Ya, sulit juga. Tapi saya enjoy karena tidak mengganggu satu dengan lainnya. Setelah mengurus mereka, saya melanjutkan aktivitas studi di kampus.” ***

Tidak banyak kegiatan di panti. Waktu dihabiskan dengan menonton TV atau bercengkerama dengan sesama penghuni. Jadwal rutin yang tak boleh dilewatkan adalah minum obat dan makan. Puluhan butir tablet antiretroviral virus dan vitamin ditenggak pasien tiap hari. “Mereka hidup bersama obat. Saya yakin jika mereka bisa rutin minum obat, umurnya bisa lebih panjang,” kata Yuliana. Jadwal minum obat dan makan ditempel di dinding ruang perawat. Di ruang lainnya, ada jam yang akan menjerit jika waktu memberi obat tiba. “Jika saya telat memberi obat itu bisa bahaya. Jadi saya harus selalu standby.”

Rumah Surya Kasih mirip penampungan pasien HIV-AIDS di Yayasan Santo Antonius (Yasanto), Kabupaten Merauke. Kebanyakan penghuninya sudah tinggal bertahun-tahun jauh dari keluarga. Beberapa diantaranya meninggal di panti. “Tempat ini bertujuan mengangkat kembali semangat hidup pasien. Kami memberikan yang terbaik untuk mereka,” kata bekas Direktur Yasanto, Leo Mahuze. Yayasan Santo Antonius didirikan tahun 1979.

Berkantor pusat di Merauke, wilayah kerja Yasanto mencakup Kabupaten Boven Digoel dan Mappi. Yayasan ini sementara menjalankan 4 kegiatan utama, menyelenggarakan pendidikan teknik melalui sekolah menengah kejuruan, Politeknik Pertanian, pengembangan sosial ekonomi, dan pengembangan kesehatan masyarakat.

“Rumah Surya Kasih dibuat seperti tempat penampungan ODHA lainnya. Kami bekerja demi semangat hidup orang lain. Mereka harus tetap bugar dan tersenyum, itu saja kami sudah bersyukur,” kata Yuliana. Yuliana bukan siapa-siapa. Hanya wanita biasa yang ingin membahagiakan orang lain. Tak berharap penghargaan. “Sekarang waktunya memberi obat. Saya takut telat,” ujarnya tertawa renyah mengakhiri obrolan.

(Jerry Omona/VHRmedia/JERAT)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *