Pemerintah terus berusaha menuntaskan buta aksara di Indonesia. Termasuk merintis program keaksaraan keluarga.
Dukungan keluarga dinilai sangat besar dalam pemberantasan buta aksara. Di Papua, lewat program ini, diharapkan di dalam keluarga terjadi proses pembelajaran. Anggota keluarga dapat menjadi tutor untuk mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan keberaksaraan.
Wartanto, Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Kementerian Pendidikan mengatakan, angka rata-rata warga buta aksara di Papua dan Papua Barat sangat tinggi. “Bahkan di daerah tertentu, mencapai hingga 80%. Permasalahan ini terkait dengan kemiskinan. Sehingga diperlukan percepatan program keaksaraan fungsional di daerah-daerah sulit,” katanya.
Selain dari pemerintah pusat, kata dia, Pemerintah Papua dan Papua Barat mesti pula mendukung anggaran yang cukup untuk pemberantasan buta aksara dalam 4-5 tahun mendatang
Dalam skala nasional, Papua berada diperingkat pertama penyandang buta aksara, yakni sebesar 30,93 persen atau setara dengan 615.977 jiwa. Kemdikbud secara khusus telah merumuskan Program Afirmasi Pendidikan Keaksaraan (APIK) untuk pengentasan buta aksara di Papua. Pendekatan ini, juga memerhatikan kearifan lokal.
Implementasi APIK dilakukan dengan mengembangkan strategi yang utuh dan menyeluruh melibatkan semua satuan pendidikan baik formal maupun nonformal, diantaranya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus dan pelatihan (LKP), sekolah perguruan tinggi dan organisasi sosial/ keagamaan. Untuk Perguruan Tinggi, bahkan dikembangkan program Kuliah kerja Nyata Tematik yang dikhususkan bagi pemberantasan buta aksara di Papua dan Papua Barat.
Sementara itu, Sergius Womsiwor, Kepala Sekolah SMP-SMA Satu Atap Wasur, Merauke mengatakan, buta aksara tidak hanya dialami orang dewasa, tetapi juga anak usia sekolah. Sergius diketahui menggagas integrasi pendidikan formal dan nonformal agar anak-anak putus sekolah mendapatkan layanan pendidikan. Mereka yang sulit membaca, menulis, dan menghitung memperoleh panduan keaksaraan oleh guru-guru di SMP-SMA Satu Atap Wasur.
Di lokasi lain, Aksamina Kambuaya, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Papua Barat mengungkapkan, tantangan berat problem ini justru ada di kalangan orang dewasa suku asli Papua. Mereka merasa belum menemukan manfaat pentingnya melek huruf.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (Paudni) Kementerian Pendidikan Lydia Freyani Hawadie menjelaskan, di sejumlah kabupaten di Papua, jumlah populasi penderita tuna aksara berada di usia antara 15 – 59 tahun. “Jumlah ini jauh dari rata-rata nasional,” katanya.
Lydia mengatakan, pada 2013 lalu pemerintah telah mengembangkan program layanan khusus percepatan pengentasan tuna aksara di Papua dan Papua Barat. Program ini diklaim berhasil menurunkan masalah keaksaraan menjadi 34,38 %. Kantong tuna aksara yang menjadi prioritas program layanan khusus adalah di Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Yahukimo, Puncak Jaya, Tolikara, Paniai, Nduga, Pegunungan Bintang, Deiyai, Yalimo, Asmat, Dogiyai, Intan Jaya, dan Memberamo Tengah. Sementara di Papua Barat, diantaranya Manokwari, Teluk Bintuni, Kabupaten Sorong, Sorong Selatan dan Kota Sorong.
Jangan Hanya Beretorika
Pengentasan buta aksara mestinya bukan sekedar retorika. “Jangan teori, tapi kita perlu aksi,” kata anggota DPR Papua, Natan Pahabol.
Ia mengungkapkan, jikalau kemiskinan dan kebodohan terus meningkat di Papua, maka orang Papua hanya akan jadi objek. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah tidak perlu banyak berpidato, tapi bertindak nyata. “Di wilayah Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Yalimo, hampir 80 persen tidak bisa baca tulis. Saya berani bilang begitu karena saya punya data selama delapan tahun jadi pengajar sukarela di kampung,” ucapnya.
Lebih lanjut disampaikan Natan, bahwa tingginya buta aksara di Papua menjadi tanggungjawab semua pihak. “Termasuk Gereja,” tandasnya.
Selain Papua, berdasarkan data yang dihimpun Dinas Pendidikan Pemprov Papua Barat, sampai 2013, sedikitnya ada 32 ribu lebih penduduk yang belum bisa membaca dan menulis. Kabupaten Manokwari dan Tambrauw merupakan daerah yang paling tinggi angka tuna aksara. “Meskipun kemudian, angka ini dikomplain karena sesungguhnya masih jauh lebih tinggi. Bisa dua kali lipat dari itu,“ papar Kabid PLS Dinas Pendidikan Papua Barat, Agus Sroyer.
Ketua Forum Komunikasi Tutor Pendidikan Keaksaraan Papua Barat Nur Wulan Tri Cahyani membenarkan hal tersebut. Forum ini telah melakukan upaya pemberantasan dengan cara membentuk kelompok-kelompok belajar untuk para buta aksara. Namun, karena minimnya perhatian Pemda serta keterbatasan anggaran, sejauh ini pelayanan mereka baru meliputi wilayah Manokwari.
Di kabupaten Manokwari, forum ini mengasuh 20 kelompok belajar yang tersebar di dalam kota dan di wilayah Prafi. “Kita sebenarnya sudah jalan dari 2009, tapi sempat vakum karena minimnya perhatian dan kurang dana,” ungkap Wulan.
Kabupaten Manokwari disebut menduduki peringkat ke-3 se-Papua Barat pada kasus buta aksara. Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah dan TK Kabupaten Manokwari, Suprianto menegaskan, sesuai hasil survei yang dilakukan, presentase buta aksara untuk usia 15-59 tahun mencapai 4.089 warga.
“Tidak semua angka ini mengalami buta aksara, karena yang dimaksud buta aksara bukan hanya mereka yang tak bisa membaca dan menulis, melainkan ada yang disebut dengan buta aksara literi, yang tidak bisa berbahasa dengan baik dan beberapa kategori lainnya,” jelasnya.
Ia menambahkan, di Manokwari, Distrik Manokwari Barat mendominasi dengan jumlah 1.244 kasus, terjadi pada warga usia 45 tahun.
Solusi
Yermias Degei, Sekretaris Lembaga Pendidikan Papua, Education of Papuans Spirit mengatakan, persoalan buta aksara selalu terkait dengan soal kemiskinan, keterisolasian, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. “Pemberantasan buta aksara tidak harus berhenti pada bisa menulis dan membaca, tetapi (perlu pula) rangsangan dari pemerintah,” tulis Degei dengan judul: Tinggi Buta Aksara di Papua Gagalnya Pemetaan dan Pemberdayaan SDM Kampung, pada 2009.
Menurut dia, pemberantasan buta aksara -termasuk buta huruf dan lainnya – mesti dilakukan dengan mendahulukan pemetaan yang baik.
Pertama, pemetaan wilayah sasaran. “Dengan melihat medan atau geografisnya. Wilayah-wilayah yang sangat terpencil, terpencil, pinggiran kota dan kota. Batasan-batasannya harus jelas, sehingga penuntasan buta aksara menjadi lebih jelas dan tidak tumpang tindih,” sebutnya.
Baginya, jika pemetaan dilakukan dengan baik maka akan sekaligus membantu mengatasi soal mobilisasi yang menjadi kendala selama ini.
Hal kedua yang penting adalah pemberdayaan SDM kampung. “Dinas terkait di kabupaten dapat melakukan pemberdayaan kepada mereka sehingga menjadi tenaga siap, tidak hanya mengajari tetapi juga menghidupkan kampung dengan berbagai kegiatan,” ujarnya.
Ia berpendapat, dalam pelaksanaan penuntasan buta aksara, dinas terkait atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah mesti membangun kerja sama dengan BPPNFI Regional VIII Maluku Papua yang berkantor di Buper Jayapura. “Hal ini dilakukan supaya peran-peran BPPNFI terlaksana di Papua—supaya BPPNFI tidak terkesan lamban dan miskin data seperti selama ini,” katanya.
Pemberantasan buta aksara, lagi-lagi butuh komitmen. Jika tidak ada komitmen, cinta, dan kasih untuk membuat rakyat Papua lebih baik, maka sia-sialah semuanya. “Merdeka atau Otonomi, masalah buta aksara adalah soal. Soal kita semua, pendidik, aktivis, pemerintah dan lainnya. Ini adalah hal-hal kecil yang sangat berat—butuh dana dan waktu—yang berakibat besar di kelak,” pungkasnya. (dari berbagai sumber) / (Foto bukuntukpapua.org)